Kamis, 20 Maret 2014

Tionghoa Malaysia Sukses, Tionghoa Indonesia Menyusul

Tionghoa Malaysia Sukses, Tionghoa Indonesia Menyusul

Is Anwar ;   Wartawan Senior dan Pengusaha
HALUAN,  20 Maret 2014
                      
                                                                                         
                                                      
Pemerintahan Malaysia dari dahulu  sampai saat ini, tidak terlalu memberikan perlakuan ekslusif kepada etnis Tionghoa walaupun secara demografi etnis Tionghoa sudah mencapai jumlah 35% dari total penduduk yang mayoritas berasal dari etnis Melayu. Bahkan pemerintah Malaysia dengan bangga memproklamirkan identitas multikulturalnya, sebagai­mana diuraikan dalam encyclopedia of Melayu.

Lahirnya kebijakan membangun semangat pluralism di Malaysia sebagai jawaban dari upaya mewu­judkan harmonisasi masyarakat yang majemuk. Karena pada tanggal 13 Mei 1969 Malaysia pernah mengalami kerusuhan rasial yang sangat hebat antara etnis Melayu (Bumiputera) dan etnis Tionghoa.

Kerusahan etnis ini terjadi akibat kontroversi kebijakan ekonomi baru yang menginginkan untuk meningkatkan bagian ekonomi yang dimiliki masyarakat lokal yang ditentang oleh group etnik lain dikeluarkan oleh Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Peristiwa inilah yang membe­rikan pelajaran berharga dalam membangun harmonisasi etnik melalui sentuhan kebijakan keseimbangan politik-etnis yang lunak, dan mengembangkan peraturan yang unik menggabungkan pertumbuhan ekonomi dan aturan politik yang menguntungkan Bumi­putera (sebuah group yang terdiri dari etnik Melayu dan kaum Pribumi) dan Islam Moderat.

Belajar dari kepemimpinan Perdana Menteri Tun Abdul Razak, mulai tahun 1980 dominasi infrastruktur perekonomian yang selama ini dikuasai oleh keturunan Tionghoa secara berangsur-angsur diseimbangkan dengan etnis Melayu. Kebija­kan Perdana Menteri Mahathir bin Muhammad selaku Perdana Menteri keempat Malaysia, melakukan peralihan dari ekonomi berdasarkan agrikultur menjadi produksi dan industry dalam bidang komputer dan elektronik konsumen dengan lebih banyak melibatkan etnis Melayu, sehingga perekonomian masyarakat Melayu meningkat secara drastis. Keseimbangan tatanan kehidupan masyarakat di Malaysia telah mampu menghilangi tragedy rasial yang sangat menyakitkan.

Pemerintah Malaysia terus mendorong dan menempatkan Bumiputera/pribumi memperoleh akses lebih besar dan mudah terhadap sumber daya ekonomi. Sementara etnis Tionghoa memperoleh akses yang wajar dalam bidang politik. Gerakan kultural dan struktural dalam kon­teks akulturasi, terbukti memberikan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Malaysia menuju peradaban ekonomi, budaya, politik yang kokoh dan mantap.

Bagaimana Etnis Tionghoa Indonesia?

Namun berbeda yang terjadi di Negara Indonesia, akulturasi etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi masih mengalami kendala yang cukup serius. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia melalui birokrat dan politisi membiarkan penguasaan infrastruktur perekonomian Indonesia dikuasai oleh segelintir etnis Tionghoa yang hanya berkisar antara 5% dari total penduduk Indonesia. Maksum Pinarto, Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Semarang, juga menyadari bahwa konglomerasi yang dilakukan beberapa oknum masyarakat Tionghoa terbukti sebagai koruptor telah merapuhkan, dan menjadi sumber kesenjangan serta merusak fondasi ekonomi bangsa. Kondisi ini tentu menjadi sumber  ketegangan utama antara masyarakat Tionhoa dan masyarakat luas. Padahal, penyimpangan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir orang ketu­runan Tionghoa.

Penyebab rapuhnya harmonisasi kehidupan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi Indonesia saat ini, disebabkan oleh behavior and life style beberapa generasi muda Tionghoa yang tidak mau melakukan akulturasi dengan masyarakat lokal. Generasi muda Tionghoa lebih senang menempatkan diri dalam lingkungan sendiri, sekolah dalam komunitas sendiri, menggunakan bahasa Mandarin di lingkungan kerja yang pluralis.

Ada sikap egosentrisme budaya Tionghoa yang berle­bihan, setelah peme­rintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 serta dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presi­den (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967. Keputusan politik ini membawa eforia kebebasan mengekspresikan diri dari warga Tionghoa dan menyiratkan berkembangnya ketegangan baru baik bagi komunitas Tionghoa sendiri maupun etnis lainnya.

Bagi sebagian masyarakat keturunan Tionghoa, Keppres ini seolah-olah menjadi titik balik hak-hak budaya etnis Tionghoa untuk melakukan intervensi dan asimilasi budaya dengan melakukan perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat China yang dulu dibelenggu lewat Inpres Nomor 14 Tahun 1967, kini bisa dirayakan dimana-mana. Regulasi politik dalam membina harmonisasi etnis juga diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya dan Tahun Imlek sebagai hari libur fakultatif, membolehkan libur bagi pelajar dan pegawai etnis Tionghoa yang sedang merayakan Imlek. Semua produk undang-undang tersebut di atas dikwatirkan, membuka kembali katup-katup kebe­basan yang sangat ekstrim, seperti adanya eksulifisme pemberitaan, baik di televisi Negeri maupun swasta yang menggunakan bahasa Man­darin—padahal etnis lain yang jumlahnya jauh lebih besar dari etnis Tionghoa tidak mendapatkan porsi seperti itu. Sekarang timbul pertanyaan, apakah Keppres Nomor 6 Tahun 2000 ini akan men­dorong ke arah demokratisasi, harmonisasi etnis ataukah sebaliknya mendorong proses “pengtionghoan” kembali warga keturunan Tionghoa di Indonesia? Kalau muncul semangat Tionghoanisme, kapan mereka menjadi masyarakat Indonesia yang pluralis?

Padahal akulturasi etnis Tionghoa di Indonesia sesuatu yang mutlak diperlukan, seiring dengan kemajuan peradaban yang sedang dirancang Indonesia menuju masyarakat pluralis dengan kejujuran, tanpa rekayasa. Disain humanitas yang egaliter menjadi solusi dari akulturasi yang harmonis, baik dalam aspek ekonomi politik dan budaya. Tanpa itu, Indonesia akan tetap menjadi “api yang membara dalam sekam” dan pada saatnya akan memunculkan kerusuhan sosial yang lebih sadis dan tragis seperti yang terjadi di Tahun 1998 yang lalu.

Untuk menanamkan rasa nasionalisme, kebang­saan diantara semua etnis termasuk etnis Tionghoa sebaiknya perlakuan istimewa seperti memberikan “space” berita dengan menggunakan bahasa Tionghoa di televisi negeri maupun swasta ditiadakan saja. Agar tidak terjadi kesombongan sosial, ekonomis dan budaya dalam melihat etnis lain secara berlebihan. Jika ini dibiarkan tentunya etnis Jawa, Minangkabau, Madura, Batak, dan lainnya akan meminta perlakuan yang sama.

Membangun akulturasi etnis Tionghoa secara damai dengan etnis lainnya memerlukan waktu yang panjang, grand design akulturasi etnis yang rapi, regulasi yang berkeadilan, dan nyali yang kuat dari pemerintah. Disamping itu ada upaya konkrit dari semua elemen bangsa, terdiri dari pemerintah, pers, kelompok sosial, LSM, dan komponen masyarakat lainnya berupaya; pertama, menanamkan sikap dan kesadaran dalam masyarakat bahwa pluralitas adalah keniscayaan, keberadaanya tidak dapat dihindarkan, apalagi dihilangkan; kedua, menyolidkan kekuatan yang mendukung harmonisasi sosial di semua etnis. Tanpa itu ancaman kerusuhan, sabotase dan propaganda semu akan menjadi senjata bagi ketidaknyamanan masyarakat dalam berak­tivitas, berusaha, maupun melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara yang baik dan jujur sesuai kata dan perbuatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar