Kamis, 20 Maret 2014

Fenomena Cedera Janji

Fenomena Cedera Janji

Firman Noor ;   Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI,
Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  20 Maret 2014
                   
                                                                                         
                                                      
Terdapat beberapa persoalan dalam aktivitas pemilu saat ini yang kerap mendapat sorotan. Salah satunya persoalan janji politik.

Dalam aspek normatif janji adalah sesuatu yang harus dilakukan, apa pun risiko dan tantangannya. Sekali janji diucapkan pantang untuk mencederainya. Ludah yang sudah terbuang jelas tidak bisa ditelan kembali. Untuk itu, tulus dan berhati-hatilah dalam berjanji. Demikianlah sikap yang dihargai secara universal di mana pun setiap manusia berada dan biasanya ada dalam setiap negarawan.

Dalam dunia politik riil, sayangnya, salah satu persoalan yang kerap membuat aktivitas politik dan pelakunya menjadi dihindari dan dilecehkan karena persoalan janji ini. Alih-alih menjadi tegaknya janji, dunia politik kerap malah kerap menjadi sebuah ajang ketika banyak janji hanya tinggal janji. Dalam momen menjelang pemilu janji kerap hanya sebuah kedok agar rakyat dengan sukacita menjatuhkan pilihannya.

Suatu hal yang paling ”menyedihkan” dari persoalan cedera janji itu sikap dan perasaan tidak bersalah para pelakunya untuk meninggalkan atau melupakan janji yang sudah diucapkan. Para pelaku cedera janji tampak tanpa beban terus beraktivitas dan yakin bahwa mereka tetap dapat dipercaya. Tidak terlihat sikap merasa bersalah atau malu, apalagi melontarkan maaf secara kesatria terhadap kegagalan melaksanakan janji.

Hingga kini sulit dipungkiri atmosfer politik di Tanah Air masih demikian pengap dengan berbagai kebohongan dan janji yang tidak terealisasi. Mulai dari terlupakan janji seorang kandidat kepala desa hingga kandidat kepala negara. Mulai janji antara sesama mitra politik hingga janji (dan terutama) kepada rakyat banyak.

Akibat fenomena cedera janji ini yang kontinu dan masif ini tidak mengherankan jika kemudian politisi berikut lembagalembaga politik terpuruk citranya di mata masyarakat. Studi Hay (2011) telah mengisyaratkan bahwa kualitas buruk politisi yang bolak-balik mengecewakan rakyat hanya akan membuat kebencian terhadap politik makin membumbung tinggi. Ini dikonfirmasi dengan sikap kalangan awam terhadap politik.

Tanyalah kepada para supir taksi, pedagang kaki lima, atau siapa saja mengenai politik, akan kita dapati sebuah respons yang kebanyakan sinis. Situasi ini dikonfirmasi dengan beberapa survei mutakhir yang makin menunjukkan semakin melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat baik kepada politisi, lembaga politik, atau momen politik. Alasan penyikapan negatif itu beragam, namun secara umum mencerminkan kejengahan masyarakat kepada sikap politisi. Tidak aneh kemudian angka golongan putih (golput) demikian melambung tinggi.

Dari pemilu ke pemilu jumlahnya semakin membengkak. Pada Pemilu 1999 jumlah golput tercatat hanya sekitar 6,3%, namun pada Pemilu 2009 jumlahnya telah mencapai 29,1%. Ini artinya hanya dalam satu dekade saja jumlah golput telah mencapai sekitar hampir 30%. Meski tidak selamanya golput dimotivasi oleh keengganan memilih karena bisa jadi lantaran tidak terdaftar atau tidak berkesempatan, jumlah sedemikian tetap besar dan sulit untuk menafikan bahwa ini dampak ketidakpercayaan atas proses politik dan politisi pada umumnya. Jumlah itu diprediksikan semakin meningkat pada Pemilu 2014.

Dengan semakin menurunnya kepercayaan tentu saja partisipasi masyarakat menjadi berkurang. Ini pada gilirannya berpotensi menurunkan kadar kualitas demokrasi kita. Tidak itu saja, kebiasaan melakukan cedera janji berpotensi menghancurkan upaya pendidikan politik yang baik. Alih-alih masyarakat dicontohkan dan digugah oleh sikap ksatria politisi, mereka justru dipertontonkan pada aksi jumpalitan politik yang dekil. Masyarakat seolah diajarkan bahwa cedera janji hal yang biasa, bahkan harus ada, jika memang seorang politisi ingin berjaya.

Siang bilang tahu, malam bilang tempe merupakan hal yang wajar. Logika Machiavellian yang tak elok semacam ini pelan, tapi pasti diinternalisasikan baik langsung atau tidak ke pada khalayak. Tidak mengherankan jika kemudian hari bisa jadi masyarakat kebal dan membenarkan sikap cedera janji dan di sisi lain proses politik di negeri ini hanya akan melahirkan petualangpetualang politik oportunis yang sama sekali jauh dari sosok negarawan yang dirindukan.

Selain itu, cedera janji juga mengidap potensi destruktif. Kebohongan politik berpotensi memicu konflik yang bersumber dari tuntutan mereka yang merasa tertipu, tidak puas atau dikerjai, kepada pelaku kebohongan politik. Mereka yang dulu mati-matian mendukung karena berharap akan muncul sebuah kebaikan tiba-tiba saja diabaikan dan terlupakan dapat saja kecewa dan balik melawan. Membaranya Aceh dan kasus lain dalam sejarah bangsa seharusnya menjadi tamsil bagi kita semua akan dampak buruk cedera janji. Namun, uniknya, saat ini mulai beredar logika pembenaran cedera janji.

Salah satunya meninggalkan jabatan lama yang belum selesai dan meraih jabatan baru yang lebih tinggi adalah baik karena demi memenuhi apa yang gagal diraih pada jabatan lama. Kesalahan bukan ada pada Anda, tapi tingkat kekuasaan yang Anda miliki. Logika untuk merebut jabatan baru yang lebih kompleks demi memenuhi kewajiban jabatan lama jelas sungsang, ngawur, dan penuh ambisi politik yang tidak mendidik. Ini sama saja mengajarkan bahwa jika Anda kurang berhasil menjalankan amanat jabatan, salahkan mereka yang di atas Anda dan rebut kekuasaannya agar Anda bisa berhasil mengatasi persoalan yang Anda hadapi.

Dengan kata lain, kalau ada seorang kasubag tidak maksimal kinerjanya, cara penyelesaiannya gampang, jadikan saja dia kabag kalau perlu direktur. Lepas dari itu, cedera janji seorang kandidat dalam jangka pendek berpotensi menurunkan kadar legitimasi pemerintahnya di mata masyarakat. Dalam jangka panjang, situasi ini akhirnya juga berpotensi menghambat kinerja si pelaku cedera janji.

Melihat hakikat buruk dari janji politik dan berbagai dampak yang ditimbulkannya, jelas cedera janji harus ditinggalkan. Sudah saatnya kita memulai sebuah tradisi politik yang lebih elegan beralaskan kejujuran dan konsistensi. Tradisi yang tidak lagi menuruti kepentingan sesaat yang ujung-ujungnya penistaan kepercayaan bagi orang yang sudah telanjur percaya pada janji yang telah diberikan.

Mereka yang berpotensi menjadi panutan harus berani mencontohkan sikap perlawanan terhadap segala bentuk cedera janji. Untuk itu, sudah sepatutnya para caleg dan capres mawas diri. Tanyakan pada diri sendiri apakah sudah semua janji terlaksana hingga Anda layak benar-benar untuk dapat diandalkan untuk memimpin bangsa.

Sementara semua masyarakat sudah sepatutnya memperhatikan dengan seksama track record dan janji para calon pemimpin bangsa itu agar tidak terus-menerus makan janji dan ujung-ujungnya ditinggalkan dan terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar