Kamis, 20 Maret 2014

Githok

Githok

Tulus Wijanarko  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  21 Maret 2014
                             
                                                                                         
                                                      
Githok, ini dari bahasa Jawa, adalah sebutan untuk bagian belakang leher kita. Karena posisinya demikian, tak mungkin setiap orang mampu melihat githok-nya sendiri-juga kotoran atau daki yang menempel di sana.

Dalam kultur Jawa, githok dipakai untuk mengungkapkan perilaku orang yang berlagak selalu benar nan suci. Seraya tak sudi melihat kekurangan diri, orang ini gemar menyalahkan pihak lain. "Uwong kok ora iso ngilo githoke dewe (Orang kok tak mau berkaca pada githok/kekurangannya sendiri)," demikian ungkapan yang kerap terlontar untuk pemilik sifat tak elok itu.

Kazanah pewayangan menyediakan stok banyak untuk menggambarkan karakter macam itu. Selain oleh tokoh antagonis, sifat ini kadang diidap para protagonis. Para kesatria kerap terpeleset untuk berlaku merasa benar sendiri.

Lakon Ekalaya Palastra, misalnya, menggambarkan Raden Arjuna yang tak bisa menerima kenyataan ada kesatria lain (Ekalaya) yang lebih unggul dalam ilmu memanah! Arjuna gagal memahami bahwa ia kalah karena kurang gentur (spartan) berlatih. Ia juga menuding Resi Durna, guru memanahnya, telah berkhianat mengajar kesatria lain. Saat itulah Arjuna berlaku tidak bisa menengok githok-nya sendiri.

Saya kerap teringat lakon itu setiap memergoki kelakuan orang yang menolak bermawas diri. Hari-hari ini saya melihatnya pada para petinggi partai politik yang rajin mengecam dan mengancam para penganut golongan putih (golput). Mereka memandang warga yang tidak menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum itu bagai pengidap sampar yang mesti dienyahkan saja.

Mereka tak sudi menyadari bahwa kebobrokan partai politiklah yang menjadi sumber penolakan para penghayat. Bagaimana mau percaya kepada partai politik kalau banyak kader berlaku lancung nyolong duit rakyat? Faktanya, penjara di kantor KPK saat ini disesaki rombongan para politikus beragam partai.

Serenceng kebobrokan kader partai kian terpampang jelas dari polah mereka di DPR. Panggung parlemen tak ubahnya etalase dari kelakuan memuakkan para politikus. Lihat, gaji anggota parlemen Indonesia adalah yang terbesar keempat di dunia, tapi prestasi mereka sangat menyedihkan. Pendapatan yang lebih dari Rp 1 miliar setahun itu nyatanya tak diimbangi dengan hasil kerja yang dahsyat.

Sebaliknya, hal-hal berikut inilah yang lebih diingat rakyat. Anggota parlemen adalah mereka yang suka pelesir bertopeng studi banding. Mereka yang malas datang ke ruang sidang, dan jika hadir sering terlihat tidur lelap. Dan, adalah mereka yang tak becus menuntaskan pembahasan undang-undang sesuai dengan target. Pada 2013, mereka hanya mampu membahas tujuh undang-undang, dari 70 yang dicanangkan.

Tumpukan daki pada githok partai politik itulah yang tak mau diakui para petinggi partai politik. Dan, asal tahu saja, 90 persen anggota parlemen tersebut kini maju lagi dalam pemilihan legislatif. Sungguh, ora iso ngilo githoke dewe! Itulah alasan utama maraknya golput.

Dalam lakon pewayangan di atas, tokoh Ekalaya memotong ibu jarinya sendiri memenuhi perintah Resi Durna menunjukkan baktinya sebagai kesatria. Dalam dunia nyata, para "golputer"-lah yang memotong kepercayaannya terhadap partai politik karena berbagai kebusukan yang ada di dalamnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar