Kamis, 20 Maret 2014

“Nyapres”Kian Mahal

“Nyapres” Kian Mahal

Sumaryono  ;   Dosen Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
KORAN JAKARTA,  21 Maret 2014
                   
                                                                                         
                                                      
Pesta demokrasi tinggal menghitung hari. Negara sedang berkonsentrasi penuh guna menyukseskan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif dan presiden.

Persaingan menuju kursi presiden kian panas setelah penunjukan Jokowi sebagai capres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dari sisi biaya, seorang capres membutuhkan ongkos sangat besar, setidaknya 3 triliun rupiah, karena kandidat sudah harus bergerak sebelum rangkaian kampanye resmi ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kalau dana yang dilaporkan ke KPU 300 miliar–500 miliar rupiah “saja”, itu lantaran dihitung hanya sejak tahapan resmi KPU.

Dana triliunan rupiah umumnya untuk membiayai perjalanan sosialisasi, relawan, logistik partai, pertemuan dengan ormas, survei, dan iklan. Adapun proporsi untuk iklan cukup banyak agar menjangkau seluruh Indonesia. Kalau hanya turun ke lapangan, tidak akan efektif. Karena itu, ongkos capres menjadi mahal seiring dengan iklan di media. Sebagai contoh di Amerika Serikat. Dana kampanye Presiden AS, Obama, sebanyak 54 persen habis untuk membayar iklan.

Di Indonesia, hampir dipastikan setengah dana capres 2014 juga habis untuk iklan kampanye. Di sisi lain, pergeseran politik yang makin personal membuat orang butuh personal branding (pencitraan pribadi) yang juga butuh biaya besar. Biaya capres mahal bukan hanya di negeri ini.

Ongkos yang tinggi untuk menjadi pemimpin bisa jadi berkaitan dengan karakteristik sistem politik demokrasi. Di negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, biaya pencapresan juga sangat mahal. Menurut Center for Responsive Politic, pada pemilu presiden 2012 lalu, di Amerika Serikat, dana yang dibelanjakan tim kampanye Mitt Romney, calon dari Republik, mencapai 1,238 miliar dollar AS atau sekitar 12,38 triliun rupiah dengan kurs 10.000, sementara belanja tim kampanye Obama mencapai 11 triliun rupiah lebih.

Sementara itu, Politico melaporkan bahwa ketua Federal Election Commission, Ellen Weintraub, mengumumkan belanja pemilu di AS tahun 2012 mencapai 7 miliar dollar AS. Ini terdiri dari total belanja kandidat 3,2 miliar dollar AS, partai 2 miliar dollar AS, dan grup luar (organisasi pendukung) 2,1 miliar dollar AS. Obama, pada tahun 2008, membelanjakan 730 juta atau sekitar 7,3 triliun rupiah untuk menjadi presiden AS. Jumlah itu dua kali yang dibelanjakan George Bush pada tahun 2004 dan lebih dari 260 kali yang dibelanjakan Abraham Lincoln pada tahun 1860 (jika dihitung dengan dollar pada tahun 2011).

Biaya besar juga masih dibutuhkan untuk pencapresan di Prancis meski biaya pencapresan negeri ini dianggap sangat murah. Belanja kampanye dibatasi undang-undang, termasuk tidak boleh ada iklan di televisi. Selain itu, setiap kandidat diberi dana kampanye negara sebesar 8 juta euro. Meski demikian, pada tahun 2007, untuk memenangi pemilu dan menjadi presiden, Sarkozy harus membelanjakan 21 juta euro. Sementara lawannya seorang sosialis Segolene Royal membelanjakan 20 juta euro. Melihat besarnya ongkos capres, tentu masyarakat Indonesia perlu berpikir dari mana uang itu.

Sumber dana sebagian bisa dari kantong kandidat. Lainnya sumbangan donor, baik perusahaan maupun individu. Sebuah pepatah Inggris mengatakan there is no such thing as a free lunch, tidak ada makan siang gratis. Semua donasi, terutama dari perusahaan atau individu kapitalis atau pemilik modal, tentu tidak gratis. Bantuan mereka mengandung kompensasi, baik langsung maupun tidak. Dalam hitungan ekonomi kapitalis, donasi merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungan. Kompensasi kepada para pemodal kampanye bisa diberikan secara langsung dalam bentuk proyek-proyek.

Karena itulah, sering terdengar atau terungkap adanya pengaturan proyek untuk pihakpihak tertentu, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Kompensasi juga bisa diberi secara tidak langsung lewat kebijakan-kebijakan, peraturan, dan undangundang yang mengakomodasi kepentingankepentingan kapitalis. Contoh, pemberian berbagai fasilitas fiskal, keringanan pajak, pajak ditanggung negara, dan pembebasan bea.

Atau kebijakan pemberian konsesi pengusahaan tambang, hutan, perkebunan, dan sebagainya. Jika perlu, peraturan diubah untuk mengakomodasinya. Bisa juga dalam bentuk peraturan yang membuka jalan bagi investasi kapitalis secara leluasa, seperti berbagai peraturan dan undang-undang liberal, di antaranya UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Minerba, UU Pengadaan Tanah, UU SJSN, dan UU BPJS.

Korporatokrasi

Akibatnya, negara menjadi korporatokrasi. Pemerintahan dan pengaturan negara dilakukan layaknya perusahaan. Hubungan rakyat dengan pemerintah tidak lagi pelayanan, tetapi menjadi seperti hubungan dagang. Pemerintah bertindak sebagai pedagang dan rakyat diposisikan sebagai konsumen. Akibat lainnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi milik seluruh rakyat akhirnya diserahkan kepada swasta (asing). Keuntungannya lebih banyak untuk kemakmuran para kapitalis.

Di sisi lain, berbagai subsidi untuk rakyat pun dikurangi, dan jika mungkin dihilangkan. Dengan makin besarnya biaya politik, baik untuk capres maupun caleg, corak korporatokrasi itu ke depan makin kental. Kepentingan rakyat makin terpinggirkan. Mahalnya biaya politik menjadi capres dan caleg itu akan melahirkan konsekuensi berupa pengembalian modal yang dikeluarkan kandidat. Jika jalan legal yang ditempuh, akan ada pelegalan agar penguasa dan politisi (anggota legislatif ) memiliki penghasilan legal besar. Setidaknya kecenderungan seperti itu telah berkalikali tampak. Misalnya dalam berbagai usulan agar gaji anggota legislatif atau pejabat, termasuk presiden, dinaikkan.

Jika gaji tidak naik, penghasilan yang bisa dibawa ke rumah seorang pejabat dibuat sebesar mungkin. Saat ini, ternyata penghasilan gubernur dan wakilnya bisa dibilang sangat besar. Semuanya legal. Penghasilan gubernur dan wagub datang dari gaji pokok yang dilipatgandakan sesuai dengan PP Nomor 69 Tahun 2010. Kemudian ada tunjangan operasional berdasarkan Pendapatan Asli Daerah sesuai PP No 109 Tahun 2000. Makin besar PAD, penghasilan gubernur dan wagub makin tinggi. Gubernur DKI Jakarta bergaji 1,759 miliar rupiah.

Wakilnya 1,740 miliar rupiah. Gubernur Jabar 710,026 juta rupiah dan wagubnya 691,546 juta rupiah. Gubernur Jatim 670,843 juta rupiah dan wagubnya 655,723 juta rupiah. Angka itu adalah angka penghasilan berasal dari gaji, tunjangan, dan pendapatan lainnya sesuai peraturan. Konsekuensi biaya politik mahal ke depan bisa disaksikan dengan peraturan dan UU yang memberi gaji, tunjangan, fasilitas, dan penghasilan meninggi bagi penguasa dan anggota legislatif.

Para pemimpin dan politisi akhirnya tidak lagi berperan sebagai pelayan rakyat, tetapi justru menjadi tuan besar. Rakyat jadi pelayan. Konsekuensi lain adalah munculnya korupsi, kolusi, manipulasi, dan sejenisnya untuk mengembalikan modal. Sudah menjadi anekdot bahwa dalam lima tahun menjabat, dua tahun awal untuk mengembalikan modal.

Sisanya untuk mengumpulkan modal bagi proses politik berikutnya. Kondisi itu jelas sangat memprihatinkan dan merusak sistem demokrasi. Ke depan, jangan sampai anekdot tersebut terjadi pada caleg dan capres yang berlaga pada pemilu kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar