Kamis, 20 Maret 2014

Jadilah Gula

Jadilah Gula

Moh Ilham A Hamudy  ;   Bekerja di BPP Kementerian Dalam Negeri
REPUBLIKA,  20 Maret 2014
                          
                                                                                         
                                                      
Ada gula, ada semut. Demikian ungkapan yang biasa kita dengar untuk menggambarkan perilaku kita yang kerap menjalin hubungan sosial berasaskan kepentingan. Ketika ada sesuatu yang bernilai lebih (baca: gula), kita berbondong-bondong (baca: sebagai semut) mendekatinya. Tetapi, ketika gula itu sudah tidak "manis" lagi, kita pun dengan acuh serempak meninggalkannya seraya mencari gula yang lain untuk beramai-ramai merubunginya.

Perilaku seperti itu senyatanya juga berlaku dalam dunia politik, terlebih di musim-musim politik seperti sekarang ini. Partai yang sedang naik daun, pasti dirubungi partai-partai yang merasa redup (baca: mulai mengecil menjadi partai gurem). Partai yang sedang besar menjadi gula bagi partai-partai yang peluang menjadi besarnya sangat kecil. Pada praktiknya kini, fenomena seperti itu pula yang terjadi pada PDIP.

Sebagai partai yang digadang-gadang bakal menjuarai Pemilu 2014, terlebih setelah mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden, PDIP mulai didekati beberapa partai sebagai gula yang sedang manis-manisnya. Seperti diwartakan, tempo hari petinggi PKB sudah mulai menjalin komunikasi yang intens dengan para petinggi PDIP. Mereka membicarakan kemungkinan koalisi dalam pemerintahan pasca-Pemilu 2014 ini.

Sebelumnya, kepala Badan Nasional Penanggulangan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Jumhur Hidayat (sebelum dipecat SBY) juga merapat ke PDIP. Belakangan, santer terdengar PPP dan PAN pun mengikuti jejak PKB dalam mendekati PDIP. Mereka pasti berpikir, dengan merapat ke PDIP, mereka akan mendapatkan gula yang teramat manis.

Mencari gula baru 

Partai-partai yang sedang berkoalisi dengan partai penguasa, seperti PKB, PPP, PAN, dan mungkin yang lainnya akan menyusul, tampaknya memang sedang bergerilya mencari gula baru.

Gula yang selama ini mereka nikmati bersama partai penguasa mungkin sudah terasa hambar. Partai penguasa pun secara perlahan mulai ditinggalkan. Terlebih, peluang partai penguasa untuk berjaya pada pemilu kali ini sangat kecil, kalau tidak mau dikatakan tertutup sama sekali.

Gambaran di atas menunjukkan, kebanyakan partai menengah dan gurem di Indonesia tidak ada yang memiliki kepercayaan diri untuk menjadi partai besar.
Mereka hanya ngintildi belakang partai besar. Kebanyakan di antara mereka cuma mengincar kursi menteri ketimbang memimpin bangsa. Terkesan, mereka terjebak pragmatisme, sekadar mengejar kuasa dan fulus semata. Mereka tidak pernah berpikir menjadi gula, tetapi sudah puas sekadar menjadi semut.

Mestinya, mereka belajar dari pengalaman PDIP. Sudah dua kali pemilu PDIP berada di luar pemerintahan. Mereka menjadi oposisi, penyeimbang pemerintah di parlemen. Mereka tidak tergiur menjadi semut yang merubungi gula kekuasaan. Dalam kurun waktu 10 tahun itulah mereka menempa diri menjadi partai oposisi yang proporsional dan profesional. Hasilnya, pada pemilu kali ini PDIP berubah menjadi gula bagi partai-partai lainnya.

Celakanya, partai-partai yang selama ini sudah keenakan mereguk manisnya gula kekuasaan bersama partai penguasa, enggan mengikuti jejak PDIP. Mereka ogah menjadi partai oposisi di parlemen.

Ini sangat berbeda dengan partai politik di negara yang sudah maju demokrasinya. Di Eropa, misalnya, partai yang kalah suara dalam pemilu pasti akan memilih beroposisi terhadap partai yang menang. Sehingga, ada dinamika politik yang sehat dalam demokrasi. Ada penyeimbang kekuasaan di parlemen.

Padahal, dengan mengikuti jejak PDIP, minimal ada dua faedah yang bisa diperoleh. Pertama, bagi partai yang teguh pendirian menjadi oposisi yang profesional dan proporsional dalam melihat permasalahan bangsa, tentu akan menjadi lawan bertanding yang andal bagi partai penguasa dalam menyuguhkan pesta demokrasi yang lebih aspirasional.

Berkoalisi dengan rakyat

Gagasan oposisional, jika menjadi platform partai, pada gilirannya akan mendorong penyerapan aspirasi yang lebih efektif. Penegasan diri sejak awal menjadi partai oposisi bisa menjawab keluhan mandeknya pilar demokrasi lain yang selama ini menjadi penyeimbang penguasa.

Kedua, konsistensi menjadi partai oposisi tidak bakal meredupkan citra partai. Bahkan, sebaliknya, akibat konsisten sebagai oposisi itulah PDIP mampu kembali menjadi partai idola masyarakat. Malahan, tidak hanya PDIP, dua partai lain yang konsisten berada di luar pemerintahan juga menunjukkan pening katan elektabilitas yang signifikan, yaitu Partai Hanura dan Gerindra. Partai-partai yang hanya berharap berkoalisi untuk dapat satu dua kursi menteri pada akhirnya niscaya akan punah dan tinggal kenangan saja.

Oleh karenanya, sebelum terlambat, mendeklarasikan dan mendermakan diri menjadi 
partai oposisi sejatinya adalah pilihan yang tepat. Dengan menjadi oposisi di parlemen, senyatanya partai melakukan tugas mulia, yaitu mempertahankan akal sehat dari konservatisme pemerintah dan partai penguasa yang cenderung hanya mementingkan kebutuhan kelompoknya sendiri.

Di atas semua itu, yang tidak kalah penting, setelah menjadi partai oposisi, partai-partai wajib berkoalisi dengan rakyat. Partai oposisi harus memusatkan perhatian pada keberpihakan kebijakan yang merakyat. Misalnya, bagaimana mengawasi sembako tetap stabil harganya atau menimbang dengan cermat dan bijak opsi menaikkan harga BBM.

Atau, mencari solusi jitu bagaimana pembangunan infrastruktur yang dijanjikan agar tidak menjadi proyek-proyek "Hambalang" jilid dua, tiga, dan seterusnya. Dengan begitu, energi semua partai oposisi lebih efektif dan tidak habis terbuang untuk hal-hal yang membuat rusuh, serta membuat rakyat menengah ke atas tambah ilfeel. Akhirnya, selamat berkampanye buat partai-partai politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar