Kamis, 20 Maret 2014

Gelombang Jokowi

Gelombang Jokowi

Koesworo Setiawan  ;   Peneliti Reading Indonesia Project (Ripro)
Universitas Paramadina
REPUBLIKA,  20 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
Keputusan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarno putri menetapkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) berimplikasi pada sejumlah hal. Terhadap konstelasi politik menjelang pemilu, jelas berdampak langsung.

Namun tak kalah penting, Jokowi juga sangat mempengaruhi diskursus tentang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini terungkap dalam hasil riset Reading Indonesia Project (Ripro) Universitas Paramadina berkerja sama dengan lembaga penyedia data Awesometrics, yang dipublikasikan, Ahad (16/3).

Dengan bantuan mesin penangkap pesan milik Awesometrics, Ripro mendapatkan lebih 2,3 juta celoteh di Twitter tentang 21 nama capres yang diteliti selama periode penelitian 1 Januari-15 Februari 2014. Setidaknya ada tiga temuan yang patut dicatat. Pertama, celoteh terkait Jokowi paling banyak, mencapai 1,26 juta celoteh (54,8 persen). Di bawahnya, ada Dahlan Iskan sebanyak 400-an ribu celoteh (17,3 persen). Dua capres berikutnya, Marzuki Alie 5,3 persen dan Gita Wirjawan 5,2 persen (sekitar 120 ribuan percakapan).

Makna temuan ini, Jokowi jadi bahan percakapan paling menarik di kalangan pengguna Twitter. Segala sesuatu yang terkait Jokowi, lebih cepat direspons dan dipergunjingkan pengguna.

Kedua, tidak hanya berlaku pada masyarakat umum, para kompetitor juga gemar membicarakan Jokowi. Marzuki Ali paling getol "bergunjing" tentang Jokowi, yakni sebesar 46,90 persen. Di bawahnya, Anis Matta (19,53 persen) dan Aburizal Bakrie (18,93 persen).

Tiga nama ini, paling menikmati "gelombang" publikasi Jokowi. Dengan merespons percakapan terkait Jokowi, mereka bertiga ikut arus publikasi. Memang, bila menilik isi celotehnya, pembicaraan tidak senantiasa positif atau simpati terhadap Jokowi. 
Banyak juga percakapan yang bernada mengkritik atau bahkan sinis terkait berbagai isu seputar tugas dan tanggung jawab Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Temuan ketiga, mayoritas percakapan seputar capres berkaitan dengan tema elitis, yakni seputar pergantian kekuasaan. Misalnya, soal elektabilitas capres, koalisi, konvensi, kampanye, pemilu, dan isu-isu lain seputar itu. Namun, tidak terekam celoteh yang menyinggung masalah mendasar masyarakat.

Lalu, apa signifikansi temuan ini dengan pembangunan good governance?

Mengutip terminologi Paul Lazarsfeld (1945) relasi Jokowi dengan para kompetitornya dalam percakapan ini membentuk dikotomi opinion leader dengan opinion follower. Sebagai opinion leader, Jokowi memiliki posisi lebih dominan menentukan isu apa yang akan menggelinding di tengah publik. Para opinion follower kemudian merespons pernyataan sang leader.

Pernyataan Jokowi soal penanggulangan banjir akan ditimpali publik dengan isu sama. Begitu pun bila mantan dia mengangkat isu-isu klasik ibu kota lain, publik juga menanggapi hal sama.

Dalam kontestasi capres, kompetitor Jokowi memang dibuat serbarepot. Bila mereka diam, artinya merugi. Sebab "pasar" wacana publik akan terus didominasi pernyataan Jokowi. Pilihannya harus ikut nyeletuk: apakah dalam posisi menguatkan atau mengkritik.

Masa kampanye ini jadi kesempatan emas Jokowi mengubah wacana. Berbekal kemampuan determinasi, Jokowi bisa menggeser wacana yang didominasi pergantian kekuasaan yang berorientasi elite, megah, kepada isu substansial yang bersentuhan langsung de ngan kebutuhan rakyat, yakni tiga indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM): pendidikan, kesehatan, dan pendapatan.
Meski tren naik, IPM kita jauh tertinggal. Pada 2012, skor IPM Indonesia 0,629, berada pada peringkat 121 dari 187 negara. Indonesia sejajar dengan Afrika Selatan dan Kiribati, tapi jauh di bawah Singapura (peringkat 18), Brunei Darussalam (30), Malaysia (64), Thailand (103), dan Filipina (114).

Pada ketiga indikator IPM di atas, kinerja pemerintah sangat memperihatinkan. Untuk pendidikan, ada 2,3 juta anak usia tujuh sampai 15 tahun yang putus sekolah (Unicef, 2012). Di bidang kesehatan, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan, angka kematian ibu (AKI) mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup, melonjak dari survei 2007 yang berada pada angka 228 per 100 kelahiran hidup.

Indikator pendapatan bisa diukur dari Gini Ratio Indonesia yang trennya memburuk, di mana pada 2008 di angka 0,37, pada 2009 di posisi 0,38, dan pada 2011 menjadi 0,41. Artinya, jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar. Ini sekadar potret umum masalah mendasar kita, problem sesungguhnya tentu lebih kompleks.

Dengan gambaran di atas, ke depan, ada setumpuk pekerjaan besar bagi siapa pun capres terpilih. Untuk menjawab tantangan itu, pesta demokrasi mensyaratkan terjaganya kualitas, tidak hanya pada level prosedural dan legal, tetapi juga stakeholder, termasuk capres.

Namun, dengan menilik riset Ripro dan mencocokkannya dengan aktivitas kampanye beberapa hari terakhir, terasa miris. Alih-alih mengurai peta jalan memperbaiki masalah bangsa, diskursus politik malah lebih kental bernuansa rekreatif, ingar-bingar, atau bahkan saling hujat antarkandidat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar