Sabtu, 22 Maret 2014

Jalan Daendels Dandeles Modern

Jalan Daendels Dandeles Modern

Sunaryoko Basuki Ks  ;   Sastrawan, Tinggal di Singaraja, Bali
KOMPAS,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Mendengar mengenai anggaran biaya pemeliharaan jalur pantura tahun 2014 yang mencapai Rp 2 triliun, siapa pun pasti akan mengelus dada. Entah ahli teknologi transportasi mana yang akan tergugah untuk menghitung degan lebih presisi dan memberikan solusinya.

Ketika saya menempuh studi di Universitas Leeds tahun 1975/1976, saya berjumpa dengan seorang mahasiswa tingkat doktoral yang mengambil studi mengenai teknologi transportasi.

Dia saya kenal karena kami sering berjumpa di ruang ngobrol dan dia juga putra dari salah seorang dosen saya. Saat itu dia mengajak saya berbincang mengenai jalan trans Sumatera yang dia pelajari.

Pada tahun 1981 saat saya kembali menempuh studi, kali ini di Lancaster University, saya membaca di media bahwa dia sudah menduduki suatu jabatan penting pada departemen yang mengurusi transportasi.

Mungkin orang seperti dia bisa menyumbangkan gagasan solusi mengenai jalur pantura yang banyak menyedot biaya tersebut.

Jalan warisan

Kalau pada masa lalu Jalan Pos atau Jalan Dandeles dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Dandeles, pada masa modern jabatan itu tidak ada lagi walau jejak pembangunannya masih ada.

Lihat saja jalan-jalan lebar di Asembagus yang dibangun benar-benar menerawang ke masa depan. Sampai sekarang pun jalan tersebut tidak terasa sempit, tetapi tetap terasa lapang.

Pada masa kini ada presiden dan presiden sudah punya bawahan, yakni Menteri PU, yang masih bisa ”memerintah” Direktur Bina Marga.

Usul saya ini adalah sekadar ikut memberikan jalan keluar yang mungkin dianggap tidak masuk akal.

Saya punya khayalan, bagaimana kalau didirikan tiang pancang untuk menopang rel kereta api dua arah, ke timur dan ke barat.

Perlu membangun rel di atas jalan layang untuk menghindari banyaknya kecelakaan lantaran lintasan rel kereta api yang tak ada yang menjaga.

Entah berapa lama dan berapa besar biaya yang akan dikeluarkan, dan berapa tahun diperlukan untuk menyelesaikan proyek raksasa tersebut, tetapi ini menjadi solusi yang baik di tengah kepadatan penduduk dan lalu lintas.

Jalan beton

Tahap kedua adalah pembangunan jalan raya yang sering digerus banjir. Kalau jalan raya dilapisi aspal setebal apa pun, maka dia akan selalu dikalahkan oleh air.
Saya dengar, jalan yang dibikin dari beton jauh lebih kuat, tahan air.

Tentu ada juga kekurangannya, seperti yang dikeluhkan para pengendara, yaitu cepat ”memakan” ban.

Kalau tidak salah, jalan raya antarkota di AS dibangun dengan menggunakan beton.
Biayanya jauh lebih mahal, tetapi daya tahannya lama sehingga biaya sebetulnya menjadi jauh lebih murah dibandingkan setiap tahun harus diperbaiki, seperti jalur pantura yang memerlukan biaya hingga Rp 2 triliun per tahun.

Tentu sekali lagi perlu ditimbang-timbang, mana yang lebih besar: keuntungan atau kerugiannya.

Mau mencoba proyek khayalan saya ini? Silakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar