Sabtu, 22 Maret 2014

MH370, Pelajaran bagi Malaysia

MH370, Pelajaran bagi Malaysia

Effnu Subiyanto  ;   Kandidat Doktor Ekonomi Universitas Airlangga
SINAR HARAPAN,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Setelah sepekan tidak ada kepastian, pemerintah Malaysia akhirnya merilis informasi resmi (15/3) bahwa ada pihak yang mengambil alih pesawat MH370 yang hilang itu.

Pencarian pesawat armada maskapai Malaysia Airlines jenis Boeing 777-200ER yang hilang sejak 8 Maret 2014 tersebut akhirnya resmi dihentikan. Lebih kurang 57 kapal laut pencari, 48 pesawat udara, dan 10 satelit China dari 14 negara yang tercatat sebagai misi SAR terbesar itu usai sudah.

Keanehan sikap Malaysia sebenarnya sudah mulai dari awal kejadian ini. Informasi pesawat berubah arah disampaikan beberapa hari setelah insiden, padahal tim rescue sudah mengaduk-aduk Laut China Selatan. Belakangan, ternyata Malaysia menyimpan data MH370 ternyata masih terbang empat jam menuju Selat Malaka, baru setelahnya tidak terdeteksi radar.

Malaysia diduga mengetahui “misteri” ini karena beberapa kali dengan sangat percaya diri membantah temuan kapal pencari Vietnam, bahkan menolak tiga objek yang difoto satelit China. Sepertinya, Malaysia mengetahui dengan persis MH370 memang tidak mengarah ke Laut China Selatan, tetapi ke bagian barat teritorial Malaysia arah Selat Malaka.

Inilah yang menyebabkan keluarga korban resah dan gusar. Tidak hanya lamban dalam mencari pesawat yang hilang, informasi di posko darurat juga masih simpang siur. Kendati bantuan internasional mengalir untuk mencari pesawat nahas itu, koordinasi pemerintah Malaysia berjalan tidak profesional. Bahkan, China yang mendedikasikan 10 satelit pengintai–karena 153 penumpang berkebangsaan China—untuk melacak jejak MH 370 sepertinya tidak berguna.

Ratusan keluarga dari 239 korban yang berkebangsaan 14 negara itu, termasuk 12 awak kabin, kini resah menunggu kepastian. Pesawat hilang pada zaman sekarang, yang demikian maju teknologinya. Itu sukar dipercaya. Kondisi ini mencerminkan maskapai Malaysia Airlines tidak memiliki sikap antisipatif memadai dalam skala dan kapasitas internasional.

Kini, hal itu bukan dugaan lagi karena pemerintah Malaysia sudah mengumumkannya secara resmi. Ternyata ada kaitannya saat otoritas bandara Kuala Lumpur tidak mampu mendeteksi dua penumpang dengan identitas palsu. Pemegang paspor atas nama Christian Kozel (Austria) dan Luigi Maraldi (Italia) bukan berwajah Eropa, namun imigrasi Malaysia dapat ditembus dengan mudah. Teori sabotase dan pembajakan itu kini diakui Malaysia.

Belakangan, pemegang paspor tersebut diketahui warga Iran, Pouri Nourmohammadi (19) dan Delavar Seyed Mohammadreza (29). Mereka berangkat dari Doha, menukar paspor di Kuala Lumpur dengan transit di Beijing untuk selanjutnya mencari suaka politik di Frankfurt, Jerman. Pelaku yang lain, Delavar, bertujuan akhir di Kopenhagen, Denmark.

Regulasi Internasional

Karena MH370 terbang dalam skala internasional, regulasi yang berlaku adalah Warsawa Convention 1929 yang diamendemen The Hague Protocol 1955 yang sudah diperkaya Guadalajara Convention 1961. Amendemen terakhir, Montreal Protocol 1975, masih tidak bisa dipakai karena sampai sekarang konvensi Montreal itu belum disepakati mayoritas anggota IATA.

Berbeda dengan konvensi moda transportasi lainnya, untuk moda udara ini, berlaku praduga bersalah atau presumed fault berdasarkan regulasi internasional tersebut.

Asumsi ini gugur jika ditemukan bukti terukur bahwa carrier baik awak pesawat dan juga maskapai, otoritas bandara dan pemerintah Malaysia sudah bertindak maksimal mencegah risiko tersebut. Dalam kasus MH370 yang tiba-tiba lost contact, awak kabin, maskapai, otoritas bandara, sampai pemerintah Malaysia tidak ditemukan bukti adanya tindakan pencegahan terjadinya insiden tersebut.

Jika ditambah dengan masalah penumpang yang tidak berhak menggunakan paspor palsu, pihak otoritas bandara dan pemerintah Malaysia benar-benar terpojok. Maskapai yang terus-menerus rugi pada 2013 senilai 1,17 miliar ringgit Malaysia (US$ 359,12 juta) atau kenaikan rugi 171 persen dibandingkan kinerja 2012 itu benar-benar sangat nahas dari segala arah. Apalagi, adanya ketertutupan informasi selama ini dari Malaysia. Kini, negara tersebut mendapatkan potensi risiko gugatan yang tidak ringan.

Klaim Asuransi

Satu hal yang patut dicermati dalam perjanjian asuransi udara adalah klausul fixed base operator (FBO), yang ternyata masuk dalam term asuransi risiko udara pada umumnya. Nilai klausul ini mencapai minimal US$ 500 juta per insiden yang ditanggung perusahaan asuransi.

Beberapa penyedia asuransi kecelakaan udara, misalnya AIG, USSIC, AVEMCO, dan juga Ingosstrakh (Rusia) yang menjamin Sukhoi pada kasus Sukhoi SSJ100 juga memberikan nilai jaminan yang tidak jauh berbeda.

Apabila terjadi insiden kecelakaan udara, maskapai atau operator udara mengajukan klaim kepada perusahaan asuransinya. Namun, perusahaan asuransi itu akan mengklaim kepada pemerintah Malaysia c.q. imigrasi atau yang populer disebut subrogasi apabila FBO terbukti memberikan kontribusi atas terjadinya insiden tersebut. Dalam insiden MH370 ini, jelas-jelas pemerintah Malaysia lalai karena pemilik paspor palsu dapat lolos masuk pesawat.

Sangat terkonsentrasinya soal keabsahan dokumen penumpang itu karena jika ditemukan bukti aksi terorisme akibat kesalahan imigrasi sebagai sekurit, otoritas Bandara Kuala Lumpur akan menerima klaim subrogasi dari asuransi MH370 itu. Jadi, jika setiap penumpang dari 14 negara berjumlah 227 orang itu menerima minimal US$ 400.000 dari Malaysia Airlines, sebetulnya itu berasal dari kocek pemerintah Malaysia.

Kompensasi bagi keluarga penumpang ini cukup penting dan sensitif. Bagi awak MH370 itu tidak menjadi soal karena asuransi pilot dan awak kabin sangat terjamin. Malaysia Airlines pasti tidak rugi atas musnahnya B777-200ER dengan harga baru sekitar Rp 848,69 miliar. Itu karena sudah dilindungi asuransi yang dipimpin Allianz dari Jerman itu.

Ganti rugi barang-barang bawaan juga harus diklaimkan. Untuk jenis Boeing 777-200ER, kapasitas angkut kargonya mencapai 4 ton. Jika per kilogram nilai asuransi barang hilang atau rusak berdasarkan Warsaw Convention 1929 17 SDR (special drawing rights), total yang harus dibayarkan Allianz sebagai lead insurer Malaysia Airlines adalah 68.000 SDR. Setiap 1 SDR kini bernilai US$ 1,5494 dan terus disesuaikan dengan nilai emas yang kini selalu bergerak.

Bisnis Tetap Bisnis

Pesawat Boeing 777-200ER produksi 2002 itu diasuransikan kepada grup asuransi global dan dipimpin Allianz Jerman dengan broker asuransi, Willis, negara yang sama. Jika belajar dari insiden Lion Air JT960 yang ditching di pantai Bali 13 April 2013, yang akan diterima Malaysia Airlines tentu sangat besar.

Nilai klaim karena pesawat baru B737-800NG Lion tersebut mencapai Rp 50 miliar, yang harus dibayarkan perusahaan asuransi PT Tugu Pratama Indonesia. Ini belum termasuk ganti rugi pesawatnya yang dibanderol Rp 848,69 miliar. Artinya, bisnis tetap bisnis, baik kepada Lion Air atau Malaysia Airlines.

Masih tidak jelas siapa anggota grup asuransi yang dipimpin Allianz itu, demikian pula loss adjuster-nya. Namun, pihak Malaysia Airlines harus menyelesaikan masalah ini kepada keluarga korban secepatnya. Insiden ini menyangkut hubungan internasional yang bersinggungan dengan masalah reputasi sebuah negara.

Insiden ini sudah mulai terkuak penyebabnya. Oleh karena itu, seharusnya hak-hak penumpang diberikan dengan pantas lebih dulu. Insiden ini adalah pelajaran bagi negara tetangga yang baik, Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar