Rabu, 19 Maret 2014

Jokowi Dikepung Para Raja Media

Jokowi Dikepung Para Raja Media

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SINAR HARAPAN,  19 Maret 2014
                          
                                                                                         
                                                                                                             
Joko Widodo atau yang sangat populer dipanggil Jokowi, telah mendapatkan mandat dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri untuk menjadi calon presiden (capres) periode 2014-2019.

Jokowi pun telah menyatakan kesanggupannya. Berbagai pemberitaan media yang mengulas momentum tersebut muncul ke khalayak. Hal ini menunjukkan Jokowi tetap berkedudukan sebagai magnet yang menyedot perhatian media.
Namun kalau ditelusuri lebih mendalam, pemberitaan media terhadap penerimaan mandat pencalonan presiden oleh Jokowi itu terbagi menjadi tiga pola. Pertama, media yang antusias memberitakan kejadian itu. “Antusiasme media” itu bahkan dapat dibaca sebagai kecenderungan dukungan terbuka kepada figur yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta itu.

Foto Jokowi yang sedang mencium bendera Merah Putih terpampang di halaman depan secara sangat menonjol. Jokowi pun mendapatkan penggambaran sebagai sosok yang heroik dan penganut paham nasionalisme sejati. Terlebih lagi, media pun mendeskripsikan adegan mencium bendera itu berlangsung di kawasan rumah Si Pitung, tokoh legendaris Betawi yang diidentikkan dengan Robin Hood.

Kedua, media yang cenderung moderat memberitakan peristiwa itu. Artinya, media ini menghadirkan Jokowi bukan sebagai tokoh sentral, melainkan sebagai sosok yang setara dengan beberapa capres lainnya. Jokowi dihadirkan sebagai tokoh yang sangat biasa saja, tidak ada pesona politik apa pun yang terpancar darinya.

Bahkan, nada ketus dan sinis hadir dalam pola berita semacam ini. Jokowi dianggap hanya bermodalkan “tampang lugu”. Tentu saja modus ini ditempuh media dengan cara meminjam komentar dari seorang narasumber.

Cara lainnya, tentu saja masih dengan mengutip pernyataan narasumber, menuding Jokowi sebagai sosok yang tidak memiliki komitmen memperbaiki Jakarta. Itu disebabkan masa jabatan Jokowi belumlah genap dua tahun dan aneka program belum dijalankan, tetapi Jokowi sudah lari meninggalkan kewajibannya.

Ketiga, media yang sama sekali tidak memberitakan kejadian Jokowi telah ditetapkan statusnya sebagai capres dari PDIP. Peristiwa politik itu ditenggelamkan penanganan kabut asap di Riau dan pencarian sebuah pesawat Malaysia Airlines yang hilang dan tidak kunjung ditemukan kalangan petugas sejumlah negara.

Memberitakan atau tidak memberitakan adalah kewenangan dan hak setiap organisasi media. Namun kalau peristiwa ini sengaja hilang atau lebih tepat sengaja dihilangkan, berbagai pertanyaan atau kecurigaan pun mudah bergulir, yakni media tersebut memiliki sentimen negatif terhadap Jokowi.

Subjektivitas Awak Media

Ketiga pola pemberitaan tentang Jokowi itu hanya menegaskan Jokowi dan PDIP memang tidak memiliki media yang dapat dikendalikan secara langsung. Kalaupun Jokowi mendapatkan simpati dan dukungan dari media tertentu, pasti peran awak media yang bersangkutanlah yang ternyata dominan.

Harus dinyatakan secara tegas, awak media bukanlah robot yang dapat menjalankan tugas-tugas jurnalisme secara objektif. Mereka adalah manusia yang memiliki subjektivitas untuk memberikan keberpihakan atau sebaliknya, menampilkan ketidaksukaan pada peristiwa-peristiwa dan figur-figur politik tertentu.

Fenomena pola pemberitaan terhadap Jokowi telah membuktikan asumsi subjektivitas awak media tidaklah dapat dihilangkan. Namun, dapat diberi kepastian bahwa media yang bersikap partisan (melakukan pemihakan) karena sang pemilik menjadi petinggi parpol dan mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2014 menunjukkan sikap negatif, sinis, dan nyinyir terhadap Jokowi.

Memberitakan Jokowi secara netral tidaklah mungkin karena Jokowi adalah sang pesaing yang posisinya serbanomor wahid dalam berbagai survei.

Jadi, Jokowi pun harus dimusuhi dan diberi label sebagai figur politik yang tidak berpengalaman dan tidak punya tanggung jawab terhadap warga Jakarta. Cara lain yang lebih “aman” adalah tidak memberitakan Jokowi sama sekali untuk menghindari tudingan yang menempatkan media tersebut bersikap serbasalah.

Persoalan yang jelas saat ini Jokowi dalam kepungan para raja media. Para raja media yang mengepung Jokowi ini tentu saja bukan sembarangan. Mereka adalah petinggi parpol dan figur yang secara terbuka berkehendak menjadi capres dan cawapres. Apabila diuraikan lebih detail, para raja media yang dimaksud pertama, Aburizal Bakrie.

Dia adalah pemilik kelompok Viva yang menaungi portal berita viva.co.id serta dua stasiun televisi (TVOne dan ANTV). Selain itu, dia adalah Ketua Umum Partai Golkar.

Pemberitaan media dan berbagai jenis iklan selalu digulirkannya agar tingkat keterpilihannya sebagai capres diharap beranjak naik dan suara partainya membubung tinggi. Media yang dimilikinyasecara sistematis menayangkan berbagai iklan dan memberitakan sisi baik serta menenggelamkam sisi buruk yang terdapat dalam dirinya.

Kedua, Hary Tanoesoedibjo. Dia adalah pemilik kelompok Media Nusantara Citra (MNC) dan petinggi Partai Hanura. Secara terbuka, dia berkeinginan menjadi wakil presiden mendampingi Wiranto. Slogan yang dipajang pasangan berinisal Win-HT ini adalah bersih, peduli, dan tegas.

Media yang dimilikinya berbagai jenis, dari televisi, online, radio, surat kabar, sampai majalah. Untuk merealisasikan ambisinya sebagai pemimpin politk negeri ini, berbagai program televisi pun dirambahnya, dari iklan, pemberitaan, kuis kebangsaan, reality show, sampai sinetron. Frekuensi kemunculannya di media menegaskan betapa keinginan politiknya memang besar.

Ketiga, Surya Paloh. Sosok ini adalah pemilik Media Group yang membawahi Metro TV dan surat kabar Media Indonesia. Posisinya sebagai Ketua Umum Partai Nasdem menjadikan media yang dimilikinya digunakan sebagai instrumen untuk berkampanye. Mungkin dia tidak berambisi menjadi presiden atau wakil presiden.

Namun, kepentingan yang dimilikinya adalah meloloskan partainya untuk meraih kursi di Senayan. Selain itu, dia bisa memakai medianya untuk menjalin kemitraan strategis ataupun berkolaborasi kritis, suatu oportunisme politik, yang memposisikan dirinya memiliki posisi tawar-menawar kekuasaan yang tinggi.

Keempat, Dahlan Iskan. Dia adalah pemilik kelompok Jawa Pos yang merajai peredaran surat kabar di Jawa sampai luar Jawa. Posisinya saat ini ialah menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Selain itu, dia berambisi menjadi capres yang dapat dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam Konvensi Partai Demokrat untuk mencari sosok kandidat presiden yang dianggap tepat. Kehendaknya direalisasikan dengan menggunakan media yang dimilikinya untuk berpropaganda tentang capaian yang dibuatnya.

Kekuatan Agenda Media

Media dalam arena politik yang normal saja mampu menjadi salah satu aktor politik yang menentukan. Normalitas politik dalam kaitan ini berarti arena kekuasaan sedang tidak menampilkan berbagai kompetisi untuk memperebutkan jabatan publik. Terlebih lagi ketika politik diliputi intensitas kontestasi yang tinggi, media pasti semakin menjulang pula digunakan sebagai perkakas untuk meraih kekuasaan.

Artinya, media tidak hanya berfungsi secara kognitif (pengetahuan) untuk menjalankan diseminasi informasi, tetapi juga berfungsi menjalankan analisis yang memiliki kekuatan menginterpretasikan suatu peristiwa dan menyajikan berbagai komentar. Inilah bukti kekuatan media, seperti yang dikemukakan Brian McNair (2011), sebagai salah satu aktor politik.

Tidak terlalu mengejutkan jika dikatakan ketika pemilik media menjadi pemain dalam perpolitikan, dengan sendirinya politisasi media merupakan hal yang tidak mungkin dihindarkan. Media dalam konteks ini bisa menampilkan agenda sesuai selera dan kepentingan dari para raja media. Mungkin mereka tidak mengintervensi langsung, tetapi dengan menggerakkan “kaki dan tangannya”.

Cara ini dengan mempekerjakan orang-orang kepercayaan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki para raja media. Tujuannya untuk meyakinkan khalayak bahwa apa yang diagendakan media adalah agenda publik. Apa yang ditampilkan media adalah cerminan aspirasi publik. Tentu saja, publik sudah paham semua pengaturan agenda sejenis itu adalah aksi-aksi manipulatif saja.

Pada konteks ini, kehadiran Jokowi sebagai calon presiden di tengah kepungan raja media dapat dikatakan fenomenal. Meski para raja media menghajar atau menyembunyikan popularitas Jokowi, tetap saja publik masih menyukai serta mengidolakan Jokowi. Hal ini dimungkinkan karena masih ada media yang tidak dikendalikan para raja media sehingga memberikan pemihakan kepada Jokowi.

Di sisi lain, kehadiran media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Youtube, jelas-jelas menyuarakan kepentingan publik yang mendukung Jokowi sebagai presiden. Para raja media boleh saja bertitah dan bertingkah. Namun, berbagai jenis media di luar kendali para raja mengembuskan suara publik yang menghendaki Jokowi sebagai presiden memang tidak bisa lagi disanggah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar