Rabu, 19 Maret 2014

Dari “Si Buta dari Gua Hantu” hingga ke “Si Pitung”

Dari “Si Buta dari Gua Hantu” hingga ke “Si Pitung”

Maria Pakpahan  ;   Santri di Padepokan University of Edinburgh,
Pencinta Cerita Rakyat Nusantara
SINAR HARAPAN,  18 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                                                                             
Masih lekat dalam ingatan saya sebutan Si Buta dari Gua Hantu (BDGH), tokoh pendekar ciptaan Ganesh TH yang sempat saya kenal ketika kecil lewat cerita bergambar sosok Barda Mandrawata. Tokoh itu  membutakan dirinya guna menguasai ilmu yang bisa mengalahkan pendekar buta Si Mata Malaikat yang membunuh ayahnya (Paksi Sakti).

Nama BDGH kemudian tergiang kembali di awal 2000-an, saat sahabat—almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur—menjadi presiden. Saya ingat ada orang yang kemudian menyebut BDGH saat merujuk beliau.

Apalagi, saat pencalonan presiden pada 2004, Gus Dur tidak diloloskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan alasan tidak memenuhi persyaratan sehat jasmani dan rohani. Pengumuman itu disampaikan Ketua Pokja Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden saat itu, Anas Urbaningrum.

Ketidaklolosan pasangan Gus Dur dan Marwah Daud Ibrahim diambil dengan suara bulat oleh delapan anggota KPU. Sebaiknya, sejarah ini tidak dilupakan karena merupakan pelanggararan hak asasi manusia (HAM) dan bentuk diskriminasi. Para komisioner KPU tersebut tidak pernah mempertanggungjawabkannya sampai hari ini.

Media di Indonesia juga lebih banyak diam, membiarkan diskriminasi terjadi. Gus Dur kemudian mencoba membawa kasus ini ke pengadilan. Itu karena sebagai warga negara, hak konstitusinya dilanggar. Ini juga bagian dari pendidikan politik kepada anak negeri.

Gus Dur yang dicemooh bagai Si BDGH sesungguhnya memang guru bangsa yang tidak diam dalam situasi sepayah apa pun. Orang-orang yang pernah ngece, mengolok-oloknya, mungkin tidak tahu pendekar “Si BDGH” justru mengajarkan banyak nilai mulia.

Barda alias Si Buta melawan ketidakadilan dan kebatilan. Barda berkelana menjelajahi pulau-pulau di Indonesia, suka blusukan. Gus Dur juga suka blusukan. Waktunya banyak dihabiskan mengunjungi berbagai tempat yang tidak mudah dikunjungi.

Sosok Barda sebagai pendekar ini fiktif, suatu karya imajinasi yang luar biasa. Namun, almarhum Gus Dur bukan fiktif, melainkan hidup. Gus Dur juga bagaikan pendekar persilatan yang tidak gentar menghadapi Orde Baru, menghadapi Soeharto, membela kelompok yang termarginalkan, membela kaum minoritas, membuka kantornya untuk siapa pun agar bisa datang.

Banyak yang dibantunya, mulai yang protes, mengeluh, atau sekadar minta ongkos pulang atau sumbangan beasiswa. Rekam jejak almarhum sudah kita kenal. Almarhum juga tahu, terkadang orang mengejeknya sebagai pendekar Si BDGH.

Gus Dur tenang saja. Beliau tahu sosok Badra, Si BDGH ini, sosok yang luar biasa, bukan hanya powerful memiliki ilmu silat tinggi hingga bisa mengalahkan Si Mata Malaikat, bukan saja sekali, bahkan dua kali! Namun, ia juga mengenal wawasan Nusantara dalam penggembaraannya.

Jadi, mereka yang niat awalnya hendak melecehkan Gus Dur dengan menyebutnya bagai Si BDGH itu justru tidak paham betapa heroiknya Si BDGH ini. Hal tersebut memperlihatkan kebanalan intelektual dan menunjukkan seperti apa budi pekerti.

Seingat saya, bagi Gus Dur, mata hati lebih penting dari mata untuk melihat. Kata “mata hati” pula yang dipakai Megawati Soekarnoputri dalam perintah hariannya, 14 Maret 2014, untuk mendukung Joko Widodo (Jokowi ) sebagai calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Perintah harian yang didahului kata merdeka itu menarik dan penting. Itu bukan saja Megawati menunjukkan kepiawaian, melainkan juga memberangus desas-desus bahwa Megawati masih ingin berkuasa, bentuk propaganda yang ingin memecah partai banteng ini. Dokumen ini justru membalikkan propaganda dan menunjukkan, PDIP siap bertanding di Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

Sederhana

Cara Jokowi saat mendeklarasikan dirinya siap menjadi capres juga menarik. Beliau baru saja mengunjungi rumah wisata Si Pitung, tokoh pendekar Betawi dari abad ke-19 yang melawan kompeni Belanda, para tuan tanah, rentenir, dan para tauke dengan centengnya.

Pemerintah kolonial dan tuan tanah menganggap Si Pitung sebagai bandit dan memburunya. Namun, dari kacamata rakyat Betawi saat itu, Si Pitung suka membagikan hasil kerjanya, bagaikan cerita Robinhood dari Hutan Nottingham di Inggris.

Hikayat Si Pitung ini memang muncul dalam berbagai versi, namun ada kesamaan misalnya, dilahirkan di Rawa Belong (dekat Stasiun Palmerah) dan berguru pada Haiji Naipin. Ada pula versi Si Pitung adalah nama panggilan yang berasal dari bahasa Sunda, pinulung alias suka menolong/penolong, dipendekkan menjadi Si Pitung. Nama aslinya adalah Salihun, putra keempat dari Bang Piung dan Mpok Pinah.

Dari media dilaporkan, Jokowi sempat mengunjungi rumah Si Pitung yang menjadi objek wisata di Marunda. Bahkan ia sempat berada dalam salah satu kamar di rumah Si Pitung tersebut sekitar 30 menit, tanpa diikuti wartawan.
Setelah keluar dari rumah si Pitung yang juga dikenal “terang hati” oleh rakyat Betawi, Jokowi menyatakan, ia mendapatkan mandat dan siap melaksanakannya  untuk menjadi capres dari PDIP.

Apakah dalam 30 menit tersebut di rumah Si Pitung Jokowi merasakan saat inilah yang tepat. Apalagi, beliau sudah berpakaian Betawi lengkap dengan peci.
Jangan-jangan, Jokowi melihat ada “kesamaan” dalam dirinya. Di tangannya ada tugas membawa negeri ini menjadi Indonesia raya. Ia sempat mencium Merah Putih, serta mengucapkan bismilah. Jokowi sosok nasionalis religius itu tampak sederhana mendeklarasikan diri.

Jokowi bagai pendekar, seperti Si Pitung dalam medan laga, hanya zaman berbeda. Namun hakikatnya, tetap ada benang merah, membela si kecil, melawan angkara murka, menyejahterakan rakyat.

Si Pitung, jika ia adalah Salikun atau Salihun, bukan sosok fiktif seperti Si BDGH. Namun keduanya menjadi bagian dari cerita rakyat antargenerasi di negeri yang kemudian dikenal sebagai Indonesia kini. Mereka bisa dibilang simbol tokoh yang menegakkan keadilan, termasuk keadilan sosial yang hingga kini belum juga terlaksana.

Baik Gus Dur yang pernah mencoba memenuhi cita-cita proklamasi saat menjadi presiden maupun Jokowi yang saat ini sebagai capres, keduanya bukan lahir dari kecelakaan sejarah. Kedua sosok ini hasil pergulatan dan perjuangan. Mereka adalah anak yang mencoba menjawab tantangan zaman.

Mangkatnya Abdurrahman Wahid meninggalkan lubang besar dalam percaturan politik Indonesia. Namun, kedatangan Jokowi sebagai capres membawa angin segar dan juga harapan baru.

Selamat kepada Ibu Megawati Soekarnoputri yang memberikan contoh pemimpin sesungguhnya, memberikan kader terbaik partainya untuk bertempur dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Animo masyarakat sangat terasa, indeks harga saham gabungan naik, media sosial merespons dengan berbagai cara, banyak yang positif dan ada juga negatif. Itulah wajah politik Indonesia, ada yang santun, ada yang juga sangat vulgar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar