| Kapolda   Baru, Ragam TantanganIwan Sulistyo  ;   Dosen   FISIPol Universitas Ekasakti, Padang;  Alumnus   Kriminologi FISIP-UI | 
HALUAN,  27 Maret 2014
| Tajuk   Haluan (19/3), “Selamat Bertugas   Brigjen Bambang”, penting dan menarik untuk dicermati. Di situ   disinggung sejumlah tantangan yang akan dihadapi Kapolda Sumbar yang baru,   Brigjen Pol Bambang Sri Herwanto (kelahiran 1962; lulusan Akpol 1984; kaya   pengalaman di bidang reserse; sebelumnya menjabat Karosunluhkum, Divkum   Polri). Beberapa   tantangan utama itu, antara lain, penertiban tambang liar di sejumlah   kabupaten (Solok Selatan, Sijunjung, dan Dharmasraya) serta kerusakan   lingkungan yang diakibatkannya. Juga soal bagaimana menekan angka   kriminalitas dan, tentu saja, penyelenggaraan pemilihan umum – baik   legislatif dan presiden 2014 maupun pemilihan kepala daerah – dalam beberapa   waktu mendatang. Brigjen   Bambang menegaskan tiga target pokok: (1) “Tidak ada darah menetes” (artinya   tak ada perkelahian massa dan pembunuhan); (2) “Tidak ada kaca yang pecah” (tak ada perkelahian dan anarkis);   serta (3) “Tidak ada asap di Sumbar   terkait dengan pemilu” (tak ada pembakaran dan perusakan). [Haluan, 20/3] Dari   tiga frase bersayap ini, tampak bahwa ia paham terhadap tantangan besar yang   sudah di depan mata, yakni Pemilu Legislatif 9 April mendatang. Ia juga   menyadari sepenuhnya, penyelenggaraan demokrasi prosedural di Sumbar   membutuhkan perhatian dan penanganan ekstra. Lebih   jauh, sebagai polisi sipil di tengah lalu-lintas kepentingan politik   antarelit, aktor, dan faksi dari tingkat provinsial hingga lokal, ia   berkomitmen untuk tetap di posisi netral dan profesional. Komitmen yang   lebih rinci, misalnya, juga tampak ketika Brigjen Bambang mengunjungi redaksi   sejumlah harian lokal di Sumbar, Senin (24/3) lalu. Tahun   ini adalah tahun politik. Apapun bisa terjadi dan siapapun bisa berbuat out of control. Praktis, makna   terhadap pengertian “siapa mendapat   apa, kapan dan bagaimana; serta seberapa banyak?” sangat terasa kental   dalam tahun ini. Bagaimanapun,   upaya sang Kapolda hanya akan berarti manakala gelanggang pemilu diisi dengan   etika, moral, dan kesantunan berpolitik. Di samping memperkuat konsolidasi   internal tiap partai politik, para elit lokal juga harus mampu mengendalikan   pendukungnya; terutama di tingkat akar rumput. Dengan harapan, tidak ada   gesekan kecil yang dapat memicu benturan dan letupan besar. Kita semua   berharap, kelak, jika terjadi “selisih   perolehan suara yang tipis” ataupun kekecewaan terhadap ‘wasit’, itu   tidak secara signifikan memengaruhi stabilitas keamanan. Setiap   perwira tinggi kepolisian yang ditunjuk menjadi pimpinan puncak pada tingkat   provinsi di Indonesia adalah mereka yang telah berpengalaman, pun dibekali   wawasan kepemimpinan dan manajerial. Karena itu, mereka akan selalu memiliki tantangan   yang variatif dan kontekstual. Ragam tantangan itu sifatnya cair; ia menyatu   dengan dimensi kehidupan yang luas dan dinamis. Tinggal bagaimana memastikan   bahwa panel-panel, sistem, dan komponen yang bergerak di bawah komando mereka   bekerja dengan baik. Dibanding   dengan, misalnya, Metro Jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NAD,   Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan   Papua (semuanya Polda tipe A; dijabat bintang dua), Sumbar relatif memang   bukanlah provinsi yang terlalu besar dan strategis, apalagi secara ekonomi.   Namun, bukan berarti Sumbar adalah pos yang tidak penting. Dengan   total populasi nyaris 5 juta jiwa (mayoritas adalah muslim yang relatif kuat   dengan nilai-nilai adat Minangkabau, termasuk budaya merantaunya), jumlah   penduduk miskin sekitar 380.626 jiwa (September 2013), angka pengangguran   pada Agustus 2013 sebanyak 150,7 ribu orang (bertambah 8,5 ribu orang dari   Agustus 2012; jumlah trend pengangguran laki-laki mengalami kenaikan dan   perempuan mengalami penurunan dalam interval ini), serta pertumbuhan   ekonomi pada 2011 sebesar 6,22% [semua merujuk data BPS Sumbar], dan bahkan   tidak pula memiliki sumber daya alam yang melimpah; Sumbar justru menyimpan   potensi untuk menjadi salah satu contoh pembangunan kemitraan strategis   antara polisi dan masyarakat. Ia juga dapat sebagai laboratorium masalah-masalah   sosial-kemasyarakatan. Dua simpul Bila   mengamati kinerja institusi kepolisian secara umum, ‘dimensi kunci’ yang   layak diungkap adalah trust (kepercayaan). Kepercayaan yang tinggi amat   tergantung pada citra positif yang dibangun. Dari sini kita bisa mengurainya   ke dalam dua simpul penting. Pertama,   ihwal tugas utama kepolisian: “memelihara   keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan   perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka   terpeliharanya keamanan dalam negeri.” (UU No. 2/2002 tentang Polri). Ketersediaan   infrastruktur ruang publik yang semakin baik, tidak menyusutnya jumlah penduduk   miskin, dan kian bertambahnya jumlah kelas-menengah – pada saat yang sama –   niscaya menyimpan persoalan besar. Sebagai provinsi yang berada di tengah   Pulau Sumatera, Sumbar juga sangat rawan akan kejahatan lintas-provinsi dan   bahkan lintas-negara. Sungguhpun   kejahatan, sebagaimana yang dikatakan sosiolog terkemuka dunia – Emil   Durkheim, dipandang sebagai gejala yang normal di dalam masyarakat; tetapi,   upaya menekan crime rate (angka   kejahatan) hingga ke titik terendah membutuhkan kerjasama multi-sektor, tidak   hanya kepolisian. Lagipula, menurunnya fear   of crime (rasa takut akan kejahatan) juga membutuhkan peran media massa   yang profesional. Menanggulangi   kejahatan jalanan bertaut dengan seberapa besar peran pemerintah daerah dalam   menangani angka pengangguran usia produktif. Ketersediaan pelatihan keterampilan,   modal, dan birokrasi yang efektif dan efisien menjadi suatu yang tak   terhindarkan. Alhasil, semua unsur pemerintah daerah harus kompak untuk menekan   angka putus sekolah. Kesempatan   memperoleh kredit lunak, dari bank ataupun pemerintah, untuk modal   berwirausaha bagi masyarakat harus didukung oleh karakter dan mentalitas   manusia yang pekerja keras, gigih, bersemangat, kreatif, dan pantang   menyerah. Hampir   semua pemikir kriminologi sadar, tiada ‘resep jitu’ atau ‘jawaban tunggal’   dalam mencegah kejahatan. Namun, atas dasar kajian yang komprehensif, polisi   yang cerdas akan selalu memiliki strategi untuk membunuh pola tindak kejahatan,   khususnya kejahatan jalanan, sejak dari embrio. Sementara, untuk kejahatan   kerah putih (White-Collar Crime; melibatkan kelas atas), tentu butuh   penanganan dan keberanian tersendiri. Selain   itu, dinamika penegakan hukum dalam spektrum ekonomi-politik (sejumlah titik   yang menyimpan kekayaan alam/mineral) pun membutuhkan kehati-hatian. Dialog   yang intensif dan saling memahami perbedaan cara pandang antarpihak untuk   mencapai kata mufakat penting dilakukan. Bila   kepolisian berkomitmen terhadap upaya untuk semakin melindungi, melayani, dan   mengayomi dalam ‘menggunakan’ serta ‘menegakkan hukum’; wujud itu niscaya   akan terlihat dari kian baiknya citra. Itu akan terbaca dari cepat-tanggap   dan responsifnya mereka terhadap aduan masyarakat. Kedua, soal   community policing (sebagian pakar   di Indonesia menerjemahkannya sebagai ‘pemolisian komuniti’; sebagian lainnya   ‘perpolisian masyarakat’, Polmas). Terlepas dari perdebatan akademik soal   penggunaan istilah serta bagaimana mengukur kegunaan atau bahkan keberhasilan   dalam konsep ini, kita rujuk saja Skep Kapolri No. 737/2005 (disempurnakan   dengan Peraturan Kapolri No. 7/2008) yang intinya Polmas mengandung tujuan   agar rakyat dan aparat kepolisian bersinergi guna menyelesaikan pelbagi   persoalan sosial dalam kehidupan masyarakat dan mendukung nilai-nilai kemanusiaan. Sejauh   pengamatan saya, upaya membangun Polmas di Sumbar dilakukan dengan cukup   serius dan intensif. Salah satunya oleh jajaran kepolisian di Kabupaten   Dharmasraya. Sang Kapolres paham konsep dan juga cekatan dalam menerapkannya   di lapangan. Walau masih terdapat kekurangan, tentu upaya itu layak   diapresiasi. Daya   dukung yang bersumber dari kearifan lokal Minangkabau memungkinkan   implementasi program Polmas berjalan dengan baik. Sebab, di ranah Minang   terdapat apa yang disebut sebagai tungku   tigo sajarangan; suatu keterpaduan erat antara tiga unsur penting dalam   masyarakat (niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai). Terlepas   dari pergeseran makna filosofis adat itu dalam kondisi kekinian, beban   Brigjen Bambang akan menjadi lebih ringan. Tinggal bagaimana memperkuat   koordinasi dengan jajaran pada tingkat kabupaten/kota. Betapapun jitu program   yang ada, ia harus terlaksana dengan mantap oleh jajaran di lapangan. Penting   pula untuk mendorong jajaran kepolisian di daerah agar memperkuat Polmas. Hal   yang tidak dapat diabaikan ialah memperbanyak varian program dengan   menjangkau lintas-usia dan lintas-kelompok. Mengintensifkan kemitraan dengan   masyarakat, misalnya sosialisasi lewat jejaring sosial (24 jam sehari;   utamanya menjangkau kelas-menengah yang rentan menjadi korban kejahatan),   niscaya akan lebih efisien. Di   samping “pemenuhan aneka kebutuhan pokok dan disiplin sosial memang adalah   kunci stabilitas dari suatu daerah”; namun, kemitraan polisi-masyarakat   merupakan aspek yang kritikal bagi pencapaian tertib hukum dan tertib sosial;   termasuk usaha menyebarluaskan kampanye sadar hukum dan tertib berlalu-lintas   agar terhindar dari kecelakaan di jalan raya. Kendati   Polri hanya memperoleh alokasi anggaran yang terbatas, sekitar Rp45 triliun   untuk 2014 (termasuk tambahan Rp1 triliun bagi penyelenggaran Pemilu); akan   tetapi, menghadirkan ‘rasa aman dan tenang’ di tengah rakyat adalah bagian   penting dari pilar penopang kesejahteraan dalam arti yang sangat luas. Kesemua   ragam tantangan di atas, dengan demikian, mensyaratkan kerjasama yang terpadu   dan sepenuh hati dari semua lapisan masyarakat; khususnya dalam memberantas   kejahatan kekerasan yang akhir-akhir ini – sejauh pengamatan saya – cukup   intens dan meresahkan. Keamanan di Sumbar, sebagaimana provinsi-provinsi   lainnya, harus ditangani secara lintas sektor dan lintas disiplin; utamanya   secara kriminologis, sosiologis, antropologis, dan demografis. Ketika   hendak menutup tulisan ini, sembari menikmati secangkir kopi; entah mengapa,   tiba-tiba saya teringat kata-kata Albert Einstein, seorang ilmuwan besar   dunia: “The world is a dangerous place   to live, not because of the people who are evil, but because of the people   who don’t do anything about it.”   Selamat mengabdi di Ranah Minang, Jenderal. ● | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar