| Perkembangan   Zona WaktuAdmiral Musa Julius Sipahutar  ;   Bekerja   di Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Geofisika Jakarta | 
KORAN JAKARTA,  27 Maret 2014
| Pada   hakikatnya, waktu merupakan satu kali rotasi bumi selama 24 jam penuh. Tanda   waktu adalah standar internasional dalam satuan hari, jam, menit, dan detik.   Hari adalah panjang waktu yang diperlukan bumi untuk menyelesaikan satu kali   rotasi. Bulan (month), waktu yang diperlukan bulan (moon) untuk menyelesaikan satu putaran   terhadap bumi, sedangkan tahun adalah waktu yang diperlukan bumi untuk   menempuh satu putaran terhadap matahari.  Sebagai   acuan waktu di muka bumi dibuat kesepakatan bersama pada abad ke-19, bahwa   Greenwich, kota di tenggara London, Inggris, dipakai sebagai acuan bujur   tolok 0° yang disebut waktu Greenwich  atau Greenwich Mean Time (GMT).  Pengamatan   tanda waktu telah dilakukan sejak peradaban kuno, 4000 tahun lalu hingga kini   dengan berbagai perkembangan metode, seperti pengamatan matahari, bintang,   air, dan pasir sampai pada era tanda waktu modern menggunakan instrumentasi   mekanik, quartz, dan atom. BMKG   melalui Stasiun Geofisika Jakarta sebagai instansi pemerintah yang   bertanggung jawab dalam pelayanan jasa tanda waktu Indonesia, mengamati tanda   waktu dengan jam atom.  Riwayat   perkembangan tanda waktu Indonesia telah berevolusi secara dinamis dari era   kolonialisme Belanda hingga kini. Perkembangannya dimulai dari Gouvernements   besluit tahun 1908 yang menjadikan Jawa Tengah sebagai acuan. Lalu,   ketentuan Staatsblad No 412 Tahun 1932 membagi Indonesia 6 waktu (beda 30   menit): Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Irian   Barat.  Ketentuan   tersebut diperbarui hingga lahir Staatsblad No 212 Tahun 1947 yang membagi   Indonesia menjadi 3 (60 menit): WIB, WITA, dan WIT. Setelah   merdeka, Indonesia mengeluarkan Keppres RI No 152 Tahun 1950 yang membagi   Indonesia menjadi 6 waktu (30 menit): Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Jawa,   Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat. Ketentuan   tersebut kembali berevolusi menjadi Keppres RI No 243 Tahun 1963 yang membagi   Indonesia 3 bagian waktu (60 menit): WIB, WITA (Seluruh Kalimantan), dan WIT.   Akhirnya, ketentuan tersebut ditetapkan Keppres RI No 41 Tahun 1987 hingga   kini. Stasiun   Geofisika Jakarta dipercaya melaksanakan tugas pokok dan fungsi   penyelenggaraan, pengamatan, dan pelayanan informasi publik tanda waktu di   Indonesia dengan dasar hukum UU No 31 Tahun 2009. Undang-undang   tersebut menjelaskan bahwa tanda waktu sebagai salah satu unsur keilmuan   geofisika wajib disampaikan kepada masyarakat luas dalam bentuk pelayanan MKG   informasi tanda waktu secara rutin.  Stasiun   Geofisika Jakarta kini menggunakan jam atom sebagai alat pengamatan.   Perangkat jam atom mengukur frekuensi radiasi elektromagnetik yang   dipancarkan sebuah atom atau molekul. Jumlah   energi yang diserap atau yang dipancarkan bergantung pada perbedaan tingkat   energi. Karena atom atau molekul hanya dapat memancarkan atau menyerap   sejumlah energi tertentu, radiasi yang dipancarkan memiliki frekuensi   teratur. Sebuah counter pada jam atom dapat mencatat setiap siklus.  Kebanyakan   jam atom cesium yang kini dipakai. Biro Standar Nasional Amerika Serikat   (NBS, sekarang Institut Nasional Standar dan Teknologi atau NIST) menentukan   satu detik sebagai waktu radiasi yang memerlukan 9.192.631.770 siklus pada   frekuensi yang dipancarkan atom cesium untuk transisi dari satu level ke   level lain. Jam atom cesium sangat akurat karena hanya bergeser satu detik   setelah berjalan selama 1.400.000 tahun. Penyatuan  Pada   Maret 2012 lalu, ada wacana penyatuan waktu Indonesia dari 3 menjadi 1 zona   (GMT+8) atau menjadi wilayah waktu Indonesia tengah (WITA) seluruhnya. Wacana   ini diusulkan Kementerian Perekonomian guna menunjang produktivitas ekonomi   nasional. Penyatuan   waktu juga didukung pebisnis demi efektivitas koordinasi sektor finansial,   perdagangan, dan perbankan dengan negara-negara tetangga, seperti China,   Jepang, Filipina, dan Korea Selatan. Namun, realisasinya ditunda karena belum   ada sosialisasi, persiapan, dan konsolidasi.  Februari   2013, isu tersebut bergulir lagi. Hanya, pelaksanaannya tidak dipatok. Jika   dipikir secara logika, penyatuan tanda waktu sulit direalisasikan karena   bentuk geografis Indonesia cenderung melintang dengan panjang wilayah   mencapai 5.000 kilometer. Ini   sangat berbeda dengan negara lain. Perbedaan tanda waktu antarwilayah dalam   suatu negara itu biasa. Negara-negara maju juga masih menjaga keutuhan nilai   astronomis, meskipun penyatuan waktu berpotensi membawa pengaruh baik   terhadap perekonomian.  Revolusi   kebijakan tidak boleh hanya mempertimbangkan satu unsur. Keinginan mendalam   untuk meraup keuntungan maksimal dapat menyamarkan nilai estetika proses alam   dan kebaikan manusia. Perlu mempertimbangkan dampak negatif penyatuan zona   waktu dari berbagai aspek, misalnya faktor kesehatan. Penyatuan zona waktu   ini sangat memungkinkan mengganggu kesehatan karena perubahan aktivitas   harian.  Tidak   dipungkiri, hampir seluruh aktivitas warga bahkan dunia mengacu pada terbit   dan terbenamnya matahari. Contoh sebagian besar masyarakat Indonesia terbiasa   dan nyaman dengan pola bangun tidur menjelang matahari terbit, pukul 05.00   dan selesai bekerja pukul 16.00. Mereka istirahat pukul 22.00.  Siklus   ini sudah alami dan ideal untuk kesehatan. Maka, penyatuan waktu tentu saja   akan membuat warga Indonesia barat dirugikan karena harus bangun lebih awal,   sedangkan wilayah Indonesia timur masih memiliki waktu satu jam untuk   beristirahat. Akibatnya,   berbagai jadwal perlu disesuaikan. Begitu juga untuk alasan sosial, padatnya   alur kegiatan harian akibat keseragaman waktu kerja dapat memberikan   kemacetan interaksi antarlokasi. ● | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar