Sabtu, 15 Maret 2014

Kebijakan Perburuhan dan Tantangan Pasar ASEAN

Kebijakan Perburuhan dan Tantangan Pasar ASEAN

 Herjuno Ndaru Kinasih  ;   Peneliti ASEAN Studies Program di The Habibie Center
KORAN SINDO, 15 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Menteri Perdagangan yang baru, M. Lutfhi, menggelar Rapat Kerja Kementrian Perdagangan 2014 yang diselenggarakan pada hari Rabu, 12 Maret 2014 lalu di Jakarta. Menurut Luthfi, rapat kerja ini memiliki arti strategis dalam mengarahkan kebijakan untuk menghadapi persaingan global yang sangat ketat, salah satunya pembicaraan mengenai kesiapan Indonesia menghadapi ASEAN Economic Community 2015.

Arah diskusi yang berkembang, sebagaimana dilaporkan oleh portal berita SINDONEWS, adalah proses transformasi industrialisasi ke arah industri berbasis nilai tambah tinggi secara bertahap. Secara global, saat ini terdapat tren perdagangan dunia yang disebut global value chain yang terfragmentasi, di mana sebuah barang tidak hanya dihasilkan oleh satu negara, namun dalam proses produksinya barang tersebut diproduksi di berbagai negara. Salah satu contoh yang populer adalah iPhone yang diproduksi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan.

Tak hanya di sektor industri manufaktur elektronik, tren global value chain juga dijalankan di sektor-sektor lain, misalnya industri kimia. Dahulu, sebuah negara bisa mengekspor produk akhir dan menjalankan proses produksi dari mulai bahan baku, industri kimia dasar, industri kimia menengah, industri kimia akhir, sampai dengan produk akhir, seperti cat, botol plastik, atau ban di satu negara tersebut. Saat ini, banyak produk kimia memecah proses produksinya sehingga komponen-komponen dari sebuah produk akhir tidak harus dihasilkan di satu negara saja.

Dengan pola semacam ini, kemungkinan sebuah perusahaan di sebuah negara untuk berpartisipasi dalam rantai produksi global menjadi semakin terbuka. Tetapi, keuntungan yang lebih tinggi akan diperoleh oleh perusahaan hilir yang memproduksi produk akhir atau semi-akhir. Sebaliknya, pengekspor barang-barang mentah, hanya akan mengeruk sumber daya alam dengan marjin keuntungan yang lebih kecil dibandingkan produk yang dihasilkan dengan teknologi tinggi dan inovasi kreatif.

Pembicaraan mengenai kesiapan Indonesia dalam berbagai sektor ekonomi telah menjadi perbincangan di berbagai kalangan dan pemangku kepentingan. Salah satu industri yang mempunyai dasar pertumbuhan yang cukup kuat adalah industri manufaktur. Di atas kertas, angka pertumbuhan industri manufaktur Indonesia sangat bagus, bahkan di atas angka pertumbuhan ekonomi nasional. Selama periode 2001–2012 ekonomi nasional tumbuh 5,4% dan beberapa industri manufaktur tumbuh di atasnya, seperti industri peralatan, mesin, dan perlengkapan transportasi sebesar 10,1% dan industri produk pupuk, kimia, dan karet sebesar 5,7%.

Sumbangan industri manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) juga besar. Menurut catatan Kementrian Perindustrian, industri manufaktur berkontribusi terhadap 20% pertumbuhan PDB kita. Di luar perhitungan tersebut, masih terdapat tantangan dalam industri manufaktur kita, terutama peningkatan investasi dalam negeri, mengurangi ketergantungan bahan baku impor, dan kebijakan perburuhan. Dalam soal kebijakan perburuhan, Indonesia harus waspada dengan kompetitor di ASEAN yang juga andal dalam industri manufaktur, terutama Vietnam, dan Filipina, yang baru-baru ini makin memantapkan kestabilan hubungan industrial mereka.

Di Vietnam, Undang-Undang Perburuhan yang baru telah disahkan dan diterapkan 1 Mei 2013 lalu. Undang-undang ini memberikan berbagai kelonggaran kepada buruh di Vietnam, termasuk kebebasan berserikat, mekanis medialog, serta outsourcing. Dalam undang-undang ini, misalnya, buruh outsourcing mendapatkan perilaku yang seimbang dengan pekerja tetap (non-outsourcing). Selain itu, cuti hamil dapat diambil karyawan selama enam bulan. Insentif non-upah di undang-undang ini, menurut banyak pihak, termasuk International Labour Organization (ILO), membuat kepastian hukum di bidang perburuhan, terutama bagi investor.

Di Filipina, hubungan industrial juga relatif stabil karena upah buruh yang cukup tinggi sehingga protes dapat diminimalisasi. Upah buruh di Filipina tercatat paling tinggi dibandingkan dengan upah buruh di Thailand, Vietnam, Indonesia, dan China (JETRO, 2013). Bagaimana dengan Indonesia? Menjelang pemilu legislatif dan eksekutif, banyak janji manis dalam kampanye diberikan kepada buruh, khususnya soal kesejahteraan buruh. Tetapi, dalam proses sebenarnya, perumusan upah minimum dan kesejahteraan buruh, tak semanis janji pemilu.

Perubahan upah minimum dari Rp2,2 juta menjadi Rp2,4 juta dari tuntutan semula sebesar Rp3,7 juta telah memicu banyak kontroversi dari pengusaha, asosiasi usaha, maupun serikat buruh. Bagi pengusaha, menyejahterakan buruh bukanlah perkara mudah di tengah persoalan yang menghimpit perusahaan. Pengusaha harus bersiasat menekan biaya demi menjaga daya saing. Daya saing salah satunya ditentukan dari tingkat pendidikan pekerja yang akan menentukan output produksi. Secara umum, tingkat pendidikan buruh di Indonesia juga tergolong rendah di ASEAN.

Menurut data Japan Economic Research Organization (JETRO), lulusan universitas yang masuk dalam angkatan kerja hanya 5,3%. Sementara, lulusan SMU dan yang lebih tinggi hanya berjumlah 25,5% dari angkatan kerja. Sisanya, sekitar 75 % dari angkatan kerja diisi oleh lulusan SMP, SD, atau lebih rendah. Hal ini kontras dengan Malaysia yang angkatan kerjanya diisi oleh 73% dari angkatan kerja lulusan SMU dan 18,2% diisi oleh lulusan universitas. Thailand dan Filipina juga mempunyai lulusan SMU yang lebih banyak di lapangan kerja dibandingkan Indonesia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 55,5 juta pekerja Indonesia hanya berpendidikan SD atau lebih rendah, hal yang mengakibatkan produktivitas buruh di Indonesia dinilai rendah. Terlebih dalam era global value chain ini, buruh yang berpendidikan tinggi semakin dibutuhkan karena tuntutan produksi untuk dapat diterima secara global juga semakin meningkat. Ketika proses demokrasi berjalan semakin kencang di Indonesia, yang diikuti dengan gerakan serikat buruh yang makin terorganisasi, pendidikan dan kebijakan sosial lainnya juga seharusnya dapat mengimbangi pergerakan tersebut.

Perbaikan kebijakan sosial di Indonesia, termasuk kesehatan, pendidikan, dan perumahan, selama ini berjalan kurang cepat, hal ini bisa dilihat dari laju perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang stagnan dan Indeks Gini Indonesia yang semakin meningkat. Untuk meningkatkan hubungan industrial antara buruh dan pengusaha, pemerintah dapat mendorong perusahaan untuk melakukan perbaikan instrumen non-upah yang juga merupakan indikator kesejahteraan.

Di Nitto (2010) dalam bukunya Social Welfare: Politics and Public Policy menulis bahwa indikator kesejahteraan bukan semata soal pendapatan, tapi juga kualitas pendidikan, kesehatan, perumahan, serta jaminan sosial. Dalam cakupan ini, instrumen non-upah, seperti pelatihan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, maupun layanan kesehatan, tak kalah pentingnya dengan upah.

Untuk mendorong peningkatan pengetahuan karyawan, perusahaan sebaiknya membangun learning center yang bisa dimanfaatkan secara mandiri oleh karyawan. Inisiatif-inisiatif yang dilakukan di tingkat perusahaan untuk memperbaiki hubungan industrial juga harus diikuti upaya pemerintah meningkatkan layanan dan inovasi pendidikan. Tanpa didukung pendidikan dan keterampilan yang memadai, sulit bagi Indonesia untuk bersaing di pasar ASEAN maupun global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar