Kamis, 20 Maret 2014

Kebijakan Publik Tidak Kebal Hukum

Kebijakan Publik Tidak Kebal Hukum

Deddy S Bratakusumah  ;   Analis dan Praktisi Penyelenggaraan Negara
MEDIA INDONESIA,  21 Maret 2014
                           
                                                                                         
                                                      
PENYALAHGUNAAN wewenang dalam pembuatan kebijakan publik tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Fenomena salah kaprah penafsiran sanksi bagi penyalahgunaan wewenang atau bertindak sewenang-wenang yang dilakukan para penyelenggara negara dalam pembuatan kebijakan publik telah berkembang menjadi perdebatan, perbincangan, bahkan politisasi selama lebih dari lima tahun. Utamanya yang menyangkut kasus Bank Century.

Opini dari Saharuddin Daming yang termuat dalam harian ini pada 20 Maret 2014, halaman 7, telah menguraikan ihwal kewenangan, wewenang dan diskresi yang dimiliki para penyelenggara negara. Pada beberapa alinea awal, penulis telah menyampaikan analisisnya berdasarkan kaidah hukum administrasi negara. Namun, pada awal tulisan dan beberapa alinea di bagian akhir, penulis telah mengaburkannya dengan hukum pidana, meski pada alinea penutup penulis kembali kepada kesimpulan bahwa kebijakan publik dapat digugat melalui peradilan tata usaha negara (PTUN).

Akibat kekosongan hukum materiil HAN

Secara garis besar tatanan hukum modern yang saat ini diterapkan di beberapa negara terdiri dari (1) tatanan hukum Eropa Kontinental (civil law) dan (2) tatanan hukum Anglo-Amerika (common law). Kedua tatanan hukum modern tersebut memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda, serta dianut negara yang berbeda. Indonesia, karena mewarisi sistem hukum dari Belanda, menganut tatanan hukum Eropa Kontinental. Di dalam tatanan itu dijumpai pembagian jenis hukum.

Karena itu, sistem hukum di Indonesia dari sisi substansinya dapat dikategorikan dalam (1) hukum publik (negara) dan (2) hukum privat atau hukum sipil (antara lain hukum dagang dan hukum perdata). Sementara itu, hukum publik dapat dikelompokkan lagi menjadi: (a) hukum tata negara, antara lain konstitusi, UU yang mengatur MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan berbagai peraturan perundangan yang mengatur sistem politik, (b) hukum pidana, dan (c) hukum administrasi negara (HAN), bahkan dalam perkembangannya terdapat pula (d) hukum internasional.

Lebih jauh lagi, hukum administrasi negara secara substansi dapat dipisahkan menjadi (1) HAN khusus, contohnya berbagai peraturan perundangan sektoral seperti UU Pemerintahan Daerah, UU Lingkungan Hidup, UU Pelayanan Publik, dan UU sektoral lainnya, dan (2) HAN umum.

Satu-satunya HAN umum yang sudah berlaku di Indonesia sejak 1986 ialah Undang-Undang tentang PTUN, yang telah dua kali mengalami perubahan. Berdasarkan fungsinya, UU PTUN itu dapat dikategorikan sebagai hukum formil, yang mengatur ihwal tata cara penyelenggaraan peradilan tata usaha negara. Sementara itu, untuk hukum materiil yang mengatur ihwal kewenangan penyelenggara negara beserta sanksinya, sampai saat ini Indonesia belum memilikinya.

Hukum materiil yang mengatur ihwal penyelenggaraan administrasi negara saat ini sudah sangat diperlukan sehingga para pembuat kebijakan tidak dengan mudah `dikriminalkan'. Di dalam hukum materiil terdapat pengaturan kewenangan, diskresi, dan interaksi antar penyelenggara negara, beserta sanksinya yang berupa sanksi administrasi.

Dengan menggunakan hukum materiil itu, perbuatan penyelenggara negara dalam pembuatan kebijakan publik dapat ditelaah, apakah berbuat sewenang-wenang, di luar wewenang, ataukah melebihi kewenangannya? Penetapan kesalahan itu dilakukan hakim pada PTUN. Hukuman yang diputuskan hakim PTUN dapat berupa pembatalan kebijakan, sanksi administrasi bagi pembuat kebijakan, dan/atau ganti rugi oleh pembuat kebijakan bagi masyarakat yang dirugikan kebijakan tersebut.

Kekosongan hukum materiil dalam hukum administrasi negara umum itulah yang mengakibatkan munculnya berbagai silang pendapat terkait kasus Bank Century. Mestinya apabila ada kebijakan yang telah mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat atau negara, sebuah kebijakan publik pertama kali dianalisis dengan memakai landasan hukum administrasi negara. Setelah itu, manakala ada unsur tindak pidana, apalagi tindak pidana korupsi, pembuat kebijakan tersebut dapat disidik dengan berlandaskan ranah hukum pidana.

Syukurlah, untuk mengisi kekosongan hukum materiil HAN ini, pemerintah telah menyampaikan RUU Administrasi Pemerintahan kepada DPR pada awal tahun ini. Dengan demikian, kelak setelah RUU ini diundangkan, silang pendapat atas suatu akibat atau dampak dari kebijakan dapat segera dikenali, apakah kesalahan administrasi ataukah tindak pidana.

Dengan demikian, apa yang disampaikan beberapa orang bahwa kebijakan tidak dapat dipidana tidaklah benar. Yang benar ialah bahwa kebijakan yang salah atau merugikan pertama kali harus diperiksa berdasarkan HAN, apakah pembuat kebijakan telah melakukan kesewenang-wenangan, ataukah bertindak di luar wewenangnya, ataukah bertindak melampaui kewenangannya? Apabila ya, sanksinya berupa pencabutan kebijakan, dan sanksi administrasi bagi pembuatnya.

Kemudian, apabila terdapat dugaan pidana atau korupsi dalam pembuatan kebijakan tersebut, barulah dilanjutkan ke ranah hukum pidana. Tidak serta-merta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar