Sabtu, 22 Maret 2014

Kepemimpinan Tanggap Kabut Asap

Kepemimpinan Tanggap Kabut Asap

Ribut Lupiyanto  ;   Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration) –Yogyakarta
HALUAN,  22 Maret 2014

                                                                                         
                                                      
Tiada tahun tanpa bencana kabut asap di Sumatera. Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan paling sering dan besar terjadi di Provinsi Riau. Hari-hari ini warga Sumatera Barat ikut berkutat menghadapi tebalnya kabut asap.

BNPB melaporkan hampir keseluruhan wilayah di Riau dan Sumatera Barat tertutup kabut asap. Arah angin yang dominan dari timur laut ke barat daya membawa asap menyebabkan asap meluas. Asap kebakaran lahan dan hutan di Malaysia sebagian dilaporkan juga menyebar ke Selat Malaka dan wilayah Riau. Jarak pandang rata-rata di Sumatera Barat sendiri hingga 300 meter (15/3).  Masa tanggap darurat asap yang mestinya sudah selesai 12 Maret akhirnya diperpanjang selama 14 hari.

Bencana Antropogenik

Kabut asap adalah bencana ekologi yang disebabkan oleh ulah manusia (antropogenik). Penyebab utamanya adalah pembakaran lahan dan hutan, baik oleh individu, kelompok, hingga perusahaan-perusahaan. Aroma mengorbankan ekologi demi keuntungan ekonomi sangat dominan.

Peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah banyak dikeluarkan terkait pelarangan pembakaran hutan dan ketatnya perizinan. Mulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Kehutanan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun lalu bahkan menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Gambut yang merupakan tindak lanjut Inpres Nomor 10 Tahun 2011. Inpres Moratorium Pembalakan Hutan tersebut  bertujuan agar menekan angka deforestasi dan degradasi hutan.  Perizinan juga mensyaratkan wajib menyusun dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL) bagi semua usaha di bidang kehutanan dan perkebunan.

Kemampuan konseptual  terkait teknik penyiapan lahan dengan pembakaran yang ramah lingkungan (prescribe burning) telah dikuasai anak-anak bangsa dan perusahaan di bidang kehutanan dan perkebunan.  Pembakaran lahan seram­pangan menjadi senjata utama untuk meraup laba sebesar-besarnya. Rata-rata penyiapan lahan dengan pembakaran biayanya hanya sepertiga dari biaya tanpa bakar  (Subandriyo, 2013).

Komitmen Politik

Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Kabut Asap telah berupaya menangani bencana ini. Satgas Udara tidak bisa membuat hujan buatan dan water­boombing karena masalah jarak pandang terbatas (visibility).  Pemerintah pusat dan daerah, BNPB, serta TNI dan Polri telah berusaha untuk mengatasi, tetapi hasilnya masih belum memuaskan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kecewa dan bereaksi keras atas progres penanganan Pemprov Riau.  Jarang sekali hal semacam ini dilakukan SBY.  SBY melalui twitternya memberikan ultimatum, jika Pemprov Riau dan para menteri tidak bisa mengatasi, maka kepemimpinan dan  pengendalian diambil alih. Reaksi ini bagus, namun di sisi lain juga agak lucu. Bagaimanapun gubernur dan menteri dibawah komando presiden. Artinya jika mereka tidak berhasil, presiden juga ikut andil. Publik pantas bertanya kemana dan memberikan arahan apa SBY selama ini?

Upaya penanganan kabut asap selain membutuhkan kesigapan pemerintah, juga ketegasan pemimpin dan komitmen politik. Pemimpin mesti melek ekologi politik. Aparat juga harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Kabut asap yang terjadi tiap tahun di Riau karena penegakan hukum yang lemah. WALHI Riau merilis bahwa sebanyak 117 peru­sahaan yang dilaporkan sebagai penyebab kebakaran hutan. Tindak lanjutnya baru delapan perusahaan yang dijadikan tersangka dan satu perusahaan dalam proses persidangan.  Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan baru tiga perusahaan sudah dibawa ke pengadilan terkait peristiwa pembakaran hutan tahun 2013. Perusahaan-perusahaan tersebut terancam dicabut izin operasi dan denda sampai Rp300 milliar.

Efek jera tidak berlaku untuk sektor perusahaan. Kondisi lapangan membuktikan banyak titik api ditemukan di lahan perusahaan yang sama. Sebaliknya di tingkat masyarakat ada penurunan jumlah kasus dari 40-an yang ditangkap tahun lalu menjadi 26 tahun ini.

Fakta ironis ini membutuhkan kerjasama antar elemen dalam penegakannya. Selain  itu juga perlu dibangun tanggung jawab & kesadaran bersama untuk berhenti membakar ladang secara serampangan.

Pendekatan ekologi politik penting dilakukan pemimpin untuk menunjukkan komit­mennya. Politik dan lingkungan selalu saling berhubu­ngan erat. Harvey (1993) dalam Bryant dan Bailey (2005) mengatakan bahwa seluruh proyek dan argumen ekologis selalu simultan dengan proyek dan argumen ekonomi politik. Demikian pula sebaliknya. Argumen ekologis tidak pernah bisa netral secara sosial. Argumen sosial politik tidak juga pernah bisa netral secara ekologis. Dauvergne (2005) memprediksi ekologi  politik akan melampaui bidang ilmu politik itu sendiri. Hal ini dilihat dari isu-isu yang saat ini terus berkembang seperti pemanasan global, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, air bersih, deforestasi dan lain sebagainya yang menuntut pendekatan multidisiplin.

Ekologi politik menekankan kajiannya pada kondisi dan konsekuensi-konsekuensi politik dari perubahan lingkungan yang terjadi. Blaikie & Brookfield (1987) mendefinisikan ekologi politik ini sebagai kombinasi perhatian dari ekologi dan ekonomi politik dalam arti luas, yakni dialektika antara masyarakat dan sumber daya berbasis tanah dan termasuk juga dialektika antar kelas dan kelompok di dalam masyarakat itu sendiri (Walker, 2005).

Ekologi politik awal menekankan pada peru­bahan lingkungan biofisikal, kemudian  berkembang pula sebagai respon dari teori Malthusian (Shanin, 1971) dan teori-teroi Marxist (Frank, 1969 dan Wallerstein, 1974). Ekologi politik pada dekade 80-an menekankan pada peran ekonomi politik sebagai penyebab mal-adaptasi dan instabilitas atau disebut dengan fase ekologi politik strukturalis.

Sejak tahun 1990-an ekologi politik sedikit berge­ser dari peran ekonomi politik yang dianggap terlalu makro-deterministik. Muncul kajian baru yang lebih bersifat studi-studi lokal gerakan lingkungan, diskursus dan politik simbolik (mikro-politik), serta hubungan kelembagaan dan kekuasaan, pengetahuan dan praktis dari perjuangan di lapangan. Aliran ini disebut sebagai ekologi politik post-strukturalis.

Penegakan hukum yang lemah perlu diinvestigasi jangan-jangan karena kuatnya perselingkuhan. Segitiga perselingkuhan yang paling mungkin dan menjadi rahasia umum terjadi adalah antara pengusaha-penegak hukum-pemimpin. Lamban dan mengecewakannya Gubernur Riau penting diawasi lebih lanjut. Ketidakharmonisan dengan SBY yang berbeda partai sebenarnya wajar, tetapi memalukan jika terjadi.

Pemimpin mesti melek dan memiliki komitmen ekologi politik. Peta politik lokal kaitannya dengan sumberdaya ekonomi patut dicermati. Pendekatan lokal penting dilakukan secara sistematis. Jika berhadapan dengan pengusaha, maka tidak bisa tidak mesti menunjukkan ketegasan sikap. Iklim investasi memang harus dijaga dan dirawat, tetapi jangan sampai mengorbankan ekologi, rakyat, dam masa depan bangsa.

Jalan tengahnya bagaimana investasi jalan dengan tetap peduli lingkungan. Industri mesti dibanguan secara eco-friendly. Peta jalan pengembangan usaha ramah lingkungan dan pro kesejahteraan rakyat mesti ditaati secara bertang­gungjawab.

Provinsi Sumatera Barat perlu berempati dengan membantu penanganan di Riau. Upaya ini demi nasib rakyat Sumatera Barat agar terbebas segera dari dampak kabut asap. Pemerintah daerah mesti segera melakukan evaluasi dan investigasi, jangan-jangan terjadi juga pembakaran hutan di Sumatera Barat.

Misalnya, Kabupaten Tanah Datar yang berjarak sekitar 300 kilometer sampai dipenuhi asap. Masyarakat mulai mengira terjadi pembakaran di sekitarnya. Jika ditemukan praktik ilegal pembakaran di lapangan, maka penindakan tegas mendesak dilakukan agar tidak meluas.

Darurat kabut asap mesti ditanggapi secara cepat dan sigap. Bencana klasik tetapi masih disikapi gagap adalah ironi kepemimpinan. Langkah SBY mengambil komando meskipun selanjutnya diberikan ke Kepala BNPB layak diapresiasi. Catatannya jangan hanya dijadikan politik citra. Rakyat membutuhkan penuntasan cepat dan tuntas. SBY layak mempertimbangkan tuntutan penetapan status bencana nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar