Sabtu, 22 Maret 2014

Ratu Adil dan Mistifikasi Politik

Ratu Adil dan Mistifikasi Politik

Munawir Aziz  ;   Peneliti, visiting researcher di Goethe Universitat Frankfurt Jerman, Direktur the North Coast Center (NCC) Staimafa Pati
SUARA MERDEKA,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
TAMPILNYA Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dari PDIP, menjadi penanda pertarungan politik di panggung terbuka. Jokowi menerima mandat tertulis dari Megawati Soekarnoputri, sang pe­mimpin dan simbol trah Soekarno di partai banteng moncong putih. Tentu saja, tampilnya Jokowi membawa beberapa catatan penting di tengah pertarungan politik yang semakin panas, mendekati pemilu legislatif pada 9 April dan pemilihan presiden pada 9 Juli mendatang.

Kehadiran Jokowi tidak saja menandai era baru dalam tradisi politik PDIP bahwa trah biologis Soekarno, dapat digantikan trah ideologis. Trah ideologis Soekarno diwarisi oleh Megawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra dan barisan putra-putri Bung Karno. Juga, Puan Maharani sebagai putri Megawati, yang mewarisi sikap teguh dan karakter sang ibu. Pewarisan trah biologis menuju trah ideologi ini penting, untuk menandai gerak langkah PDIP di tengah pertarungan politik yang makin kencang.

Jokowi mewarisi ide-ide pemikiran Soekarno, dengan memperhatikan nasib wong cilik. Ia menjadikan Solo sebagai kota yang nyaman, dengan program kesejahteraan rakyat dan penghijauan, juga pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di Provinsi Jawa Tengah. Sementara, ketika menangani DKI Jakarta, Jokowi tampil lugas dengan gaya blusukan. Duetnya bersama Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) menjadi simbol kepemimpinan yang lengkap: Jokowi tampil sebagai pribadi yang mengayomi rakyat, terjun langsung ke jantung problem sosial, dan kokoh dengan prisipnya. Sementara, Ahok mengimbangi dengan menghantam preman-preman Ibu Kota, dan berani membereskan birokrasi yang ruwet dengan kepentingan politik.

Kolaborasi Jokowi-Ahok inilah yang menjadikan ide Jakarta Baru dapat dilaksanakan. Kepemimpinan sekitar 1 tahun 6 bulan Jokowi-Ahok menjadi penanda baru tentang bagaimana mengurai problem sosial Ibu Kota, yang menjadi cermin masalah bangsa.

Ratu Adil 

Tampilnya Jokowi tidak tanpa hantaman. Ia diserang oleh Prabowo yang menagih janji Megawati dalam perjanjian Batu Tulis. Kubu PDIP mengelak serangan Partai Gerindra dengan menunjukkan kegagalan koalisi Megawati-Prabowo pada Pemilu 2009. Sementara, serangan dengan isu ideologi dan agama juga menghantam Jokowi. Ia dituduh mewariskan pemerintahan kafir, karena memberikan tonggak kepemimpinan kepada FX Hadi Rudyatmo sebagai wali kota Solo. Profil Ahok sebagai penerus Jokowi dalam tampuk kuasa DKI Jakarta juga menjadi basis kampanye negatif untuk menjatuhkan capres PDIP.

Tapi, apa sebenarnya yang menjadikan Jokowi melejit? Selain strategi politik, pemilihan isu dan ketepatan figur, yang menjadi instrumen adalah Jokowi sebagai antitesis dari politikus-penguasa saat ini. Di tengah riuhnya panggung demokrasi yang disesaki oleh politikus korup, bermental kolonial dan pribadi pengeluh, Jokowi tampil sebaliknya: ia mampu menyelami problem sosial warga, lewat gaya blusukan, dan siap bergumul dengan wong cilik yang selama ini terpinggirkan.

Jokowi juga hadir di tengah kerinduan rakyat tentang sosok Ratu Adil. Ia tampil laiknya rakyat merindukan Diponegoro, Tjokroaminoto, Soekarno dan Jenderal Soedirman. Jokowi menggunakan sentuhan satriya piningit untuk membawa api inspirasi dan penggerak perubahan rakyat, yang tengah terkapar karena bencana dan politik korup. Inilah peran Jokowi yang dirindukan oleh rakyat.

Figur Jokowi juga identik dengan Jenderal Soedirman. Simbol jenderal revolusi dan perang gerilya ini menjadi bahan kampanye tim sukses PDIP di media sosial. Jokowi disandingkan sebagai figur yang siap bekerja dan bergerilya untuk mengurai masalah rumit bangsa, sekaligus memberikan solusi nyata. Tentu saja, problem di Solo dan DKI Jakarta tidak sebanding dengan problem sosial Indonesia, yang merentang luas dari persoalan ekonomi, sumber daya alam, pertahanan, ideologi, dan agama.

Jangan sampai Jokowi hanya menjadi korban dari mistifikasi politik. Dengan menempatkan simbol Ratu Adil dan satriya piningit, perlu komunikasi politik yang cerdas dan mengena di tengah kegelisahan bangsa. Pilihan cerdas isu kampanye, strategi koalisi dan ketepatan memilih pasangan calon wakil presiden (cawapres) adalah bagian dari membongkar mistifikasi politik. Semoga Ratu Adil bukan sebatas jargon politik, ia sejatinya harus hadir di tengah bangsa yang kehilangan visi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar