Jumat, 14 Maret 2014

Kesadaran Semu Memilih Pemimpin

Kesadaran Semu Memilih Pemimpin

 Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan, Sastrawan
KOMPAS, 15 Maret 2014

                                                                              
                                                                                                             
BAGI publik, kesadaran tertinggi dalam memilih pemimpin merupakan kemampuan mengenali, mempelajari, memahami, menyukai, dan mencintai. Namun, ketika proses normal itu tak terjadi, publik pun cenderung menggunakan ilmu gambling.

Tanpa diancam dengan ”fatwa haram” dari otoritas agama, publik telah tahu dan sadar: politik golput merugikan demokrasi. Namun, apakah para penyelenggara negara, otoritas agama, dan parpol juga sadar bahwa jago-jago caleg dan capres yang maju dalam Pemilu 2014 ini adalah pilihan terbaik atau layak, sehingga publik tidak harus golput?  Ukuran layak berbasis pada kualitas kepribadian (dimensi etik) dan kualitas kinerja (dimensi etos) yang mencakup kemampuan kecakapan/keterampilan.

Jika syarat di atas tak terpenuhi, Pemilu 2014 tak lebih dari pengulangan pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, yang hasilnya mengecewakan. Pemimpin yang dihasilkan tak lebih dari tokoh-tokoh salon: sibuk bergincu dan berparfum tanpa mau mengenal bau keringat rakyat dan lumpur penderitaannya. Mereka hanya bisa ”gembelengan” (berlagak hero) di depan kamera tapi ciut nyalinya dalam memperjuangkan aspirasi publik.

Konfirmasi aspirasi

Kesadaran memilih pemimpin diawali pembacaan atas sosok pemimpin. Di sini, sosok pemimpin dihadirkan sebagai ”teks” besar dan terbuka yang dibaca secara kritis. Publik mengonfirmasikan aspirasinya terhadap sosok pemimpin. Semakin konfirmasi itu menemukan jawaban yang diharapkan, makin besar kemungkinan publik menjatuhkan pilihan. Ini bisa berlangsung bila sosok pemimpin memiliki tabungan nilai kebaikan yang dihasilkan dari kerja bermakna sosial.

Kriteria pemimpin yang baik pun dirumuskan, misalnya (1) dapat dipercaya, (2) memiliki kemampuan baik intelektual (visioner), teknis ataupun manajerial, (3) berkomitmen secara sosial/berjiwa kerakyatan, dan (4) berintegritas.

Ruang ingatan publik cenderung  belum kaya atas data-data pemimpin ideal macam itu. Bukan dalam pengertian konsep, melainkan realitas. Publik tidak memiliki referensi banyak tentang sosok manusia yang layak jadi pemimpin ideal. Mereka hanya mengenal tokoh-tokoh itu melalui media. Pengenalan yang berjarak sosial, geografis, dan psikologis ini sejatinya tidak menjadi modal yang memadai untuk menentukan pilihan.

Celakanya, dalam relasi tak otentik itu publik didorong memilih caleg dan capres. Untuk capres, mereka tahu beberapa nama karena popularitasnya. Namun, umumnya mereka tak tahu persis kinerjanya, kecuali pengetahuan yang sepenggal-penggal. Misalnya capres-capres tertentu adalah mantan jenderal, politisi (ketua partai), dan pengusaha. Hasil kerja sosial mereka yang bermakna bagi publik umumnya tidak diketahui secara detail.

Lebih parah lagi pengetahuan publik terhadap calon-calon anggota DPR, DPRD, dan DPD. Mereka lebih banyak tahu dari poster, baliho, selebaran, dan iklan- iklan. Beberapa caleg yang populer, seperti pesohor, memang dikenal karena sering muncul di media massa. Namun, publik tak memiliki pengetahuan yang lengkap atas kinerjanya sebagai politikus. Ini bisa dipahami karena para pesohor itu ”jadi” politikus tak melalui sejarah yang panjang, tetapi dadakan karena punya uang dan popularitas. Padahal, popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas.

Entitas kesepian

Selain dalam Pemilu 1955, di mana parpol-parpol secara otentik menjadi wahana perjuangan politik publik, sesungguhnya publik tak mengenal calon-calon pemimpin bangsa secara detail dan otentik. Realitas tokoh yang mereka terima dan kenali adalah realitas bentukan media.

Akhirnya publik cenderung menggunakan ilmu gambling, sambil berdoa pilihannya tidak meleset. Pemilu 2014 pun tak lebih dari ritus politik rutin yang tragis: publik sudah bisa membayangkan kemalangan nasib politiknya. Publik tak lebih dari entitas kesepian yang selalu ditinggalkan para calon penguasa, setelah ”bulan madu” politik selama lima menit itu berlalu.

Seharusnya kenyataan pahit di atas disadari parpol sebagai garda depan demokrasi. Dari parpollah sejatinya segalanya diawali. Maka, mestinya parpol hadir sebagai lembaga sosial-politik-budaya yang gigih bekerja menggembleng kader-kader yang kelak maju dalam pileg dan pilpres. Lahirnya calon-calon pemimpin ini bisa mengurangi kecenderungan dominasi para petualang politik berduit, yang membajak pemilu untuk kepentingan kekuasaan dan modal.

Benarkah parpol sudah bekerja menyelenggarakan pendidikan politik bagi kader ataupun publik? Mereka sudah lama mengidap mentalitas instan sehingga hanya bekerja menjelang pemilu. Mereka mengira dirinya sosok Bandung Bondowoso (tokoh legenda yang mampu membangun candi dalam semalam): seolah masa depan bangsa bisa disulap dalam proses cepat. Tragis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar