Selasa, 25 Maret 2014

Keutuhan Komitmen Pembangunan Manusia

Keutuhan Komitmen Pembangunan Manusia

Razali Ritonga  ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
KOMPAS,  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PRESIDEN SBY telah mencanangkan triple track strategy atau progrowth, projob, dan propoor sebagai basis pembangunan pada awal pemerintahannya tahun 2004. Lalu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development), strategi itu ditambah dengan proenvironment.
Pencanangan keempat pilar strategi pembangunan itu cukup memberikan optimisme bahwa kinerja ekonomi akan maju dan berdampak pada turunnya angka pengangguran, angka kemiskinan, sekaligus melestarikan alam.

Kemudian, Presiden SBY dalam penyampaian RAPBN 2014 dan Nota Keuangan di DPR (16/8) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 5,5 persen per tahun selama 2004-2009 menjadi rata-rata 5,9 persen per tahun pada 2009-2013.

Angka pengangguran turun dari 9,86 persen tahun 2004 menjadi 5,92 persen tahun 2013, angka kemiskinan turun dari 16,66 persen tahun 2004 menjadi 11,37 persen tahun 2013.

Sayang, kemajuan itu belum signifikan mengakselerasi kualitas hidup penduduk. Laporan Pembangunan Manusia oleh Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) menunjukkan bahwa peringkat HDI Indonesia masih di posisi 108 dari 177 negara tahun 2004, turun ke posisi 121 dari 186 negara tahun 2013.

Komitmen parsial

Rendahnya pencapaian pembangunan manusia itu antara lain akibat komitmen pembangunan masih bersifat parsial.

Triple track strategy dari sisi pembangunan manusia secara umum baru menyentuh satu dimensi, yakni peningkatan daya beli, dan tidak bersentuhan langsung dengan dua dimensi lainnya: pendidikan dan kesehatan.

Secara faktual, hal itu juga bisa dimaknai bahwa triple track strategy masih berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai obyek pembangunan, dan belum berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan.

Untuk meningkatkan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan, perlu pencanangan pembangunan yang berorientasi pada kapabilitas penduduk, yaitu pendidikan dan kesehatan atauproeducation dan prohealth.

Memang pemerintah telah berupaya memajukan pendidikan dan kesehatan, tetapi pencananganproeducation dan prohealth penting sebagai wujud dari komitmen politik dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dan kesehatan.

Boleh jadi, dampak tidak adanya pencanangan proeducation dan prohealth adalah lemahnya komitmen politik, terutama di level pemerintahan daerah.

Kapabilitas rendah

Akibatnya, penduduk Indonesia memiliki kapabilitas rendah. Berdasarkan Laporan UNDP (2013), diketahui bahwa rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) hanya sebesar 5,8 tahun, setara dengan sekolah dasar. Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.

Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun.

Selain pendidikan, capaian derajat kesehatan di Tanah Air juga rendah. Hal ini termanifestasi dari rendahnya angka umur harapan hidup penduduk Indonesia yang hanya 69,8 tahun. Bandingkan dengan Singapura 81,2 tahun, Brunei 78,1 tahun, Vietnam 75,4 tahun, Malaysia 74,5 tahun, dan Thailand 74,3 tahun (UNDP, 2013).

Bahkan, dibandingkan dengan pencapaian pendidikan dan kesehatan pada tataran global, Indonesia masih tertinggal. Tercatat, pada tingkat global, rata-rata lama sekolah sebesar 7,5 tahun, dan angka harapan hidup sebesar 70,1 tahun (UNDP, 2013).

Pandangan keliru

Lemahnya komitmen pembangunan manusia, khususnya pada dimensi pendidikan dan kesehatan, boleh jadi karena adanya pandangan bahwa dengan dilaksanakannya triple track strategy akan sekaligus dapat memajukan pendidikan dan kesehatan.
Dalam kenyataannya, meskipun ekonomi tumbuh, serta angka pengangguran dan kemiskinan turun, pencapaian derajat pendidikan dan kesehatan belum berjalan seiring.

Lebih jauh, lemahnya komitmen pembangunan manusia berdasarkan laporan UNDP (1995), antara lain, disebabkan oleh kekeliruan pandangan penyelenggara pemerintahan di banyak negara.

Pertama, pembangunan manusia kerap disalahtafsirkan bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi (anti growth). Padahal, pembangunan manusia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pembangunan manusia kerap disalahtafsirkan akan meningkat dengan sendirinya seiring pertumbuhan ekonomi.

Kenyataannya, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak selalu linier, tergantung kemampuan pemerintah menerjemahkan pembangunan ekonomi ke dalam pembangunan manusia.

Ketiga, pembangunan manusia sering disalahartikan sebagai pembangunan sektoral. Ini terkait dengan dimensi-dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli.

Kekeliruan terjadi, misalnya, untuk meningkatkan derajat kesehatan kerap diartikan sebagai tanggung jawab Kementerian Kesehatan semata.

Keempat, pembangunan manusia disalahtafsirkan hanya untuk daerah tertinggal. Pemahaman seperti itu jelas keliru karena pembangunan manusia ditujukan bagi semua daerah karena pembangunan manusia merupakan upaya memperluas pilihan hidup (enlarging the people’s choices) yang sifatnya tak berhingga (infinity).
Kekeliruan pandangan itu memicu kekeliruan dalam menyusun rancangan pembangunan manusia.

Meningkatkan angka rata-rata lama sekolah, misalnya, hanya dengan membangun infrastruktur pendidikan, seperti gedung sekolah dan kelengkapannya. Padahal, anak-anak bisa bersekolah dan melanjutkan pendidikan apabila ekonomi keluarga mendukung. Tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa bersekolah (lagi) karena tenaga mereka diperlukan untuk menambah penghasilan keluarga.

Dengan demikian, sekolah gratis belum menjamin anak bersekolah dan atas dasar itu diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk memajukan kualitas penduduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar