Sabtu, 22 Maret 2014

Kuasa tanpa Batas

Kuasa tanpa Batas

Khairul Fahmi  ;   Dosen hukum tata negara, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi No 1-2/PUU XII/2014 terkait dengan pengujian Undang-Undang No 4/2014 memaksa para pegiat ketatanegaraan berpikir ulang tentang tatanan pembagian dan pembatasan kekuasaan yang telah diatur dalam UUD 1945. Bagaimana tidak? Putusan MK dalam mengadili perkara menyangkut dirinya sendiri telah mengganggu nalar hukum yang wajar. MK tidak saja memeriksa dan memutus materi muatan Undang-Undang MK terkait kelembagaan, tetapi juga norma yang berhubungan dengan pribadi hakim konstitusi. Kondisi itu seakan menjadi alasan pembenar untuk kembali mempertanyakan apakah Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan proses peradilan tidak terikat pada asas nemo iudex in causa sua?

Melalui pengujian UU MK selama ini, MK sebetulnya telah menegaskan ketidaktundukan mereka pada pemberlakuan asas `seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri' itu. Bila keyakinan demikian digunakan untuk membentengi MK dari upaya pengerdilan kewenangan melalui pembentukan atau perubahan UU MK, langkah tersebut tentu sah adanya. Namun, jika keyakinan yang sama juga digunakan untuk memeriksa dan menguji norma terkait dengan pembatasan dan pengawasan hakim konstitusi, alasan itu menjadi kehilangan alasan pembenar.

Kepentingan kelembagaan dan keperluan pribadi hakim merupakan dua hal yang berbeda sehingga asas yang ada juga harus diterapkan secara berbeda. Dalam konteks ini, benar apa yang dikatakan Saldi Isra (Kompas, 24/4), penerapan asas nemo iudex in causa sua mesti dengan pemilahan. Sepanjang menyangkut kepentingan pribadi, hakim mesti menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili. Hal itu ditujukan untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih kepentingan individu hakim atas perkara yang diajukan kepadanya.

Konstruksi demikian relevan dengan maksud norma Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman diletakkan dalam konteks tidak satu pun dari kekuasaan yang ada dapat mencampuri tugas-tugas penegakan hukum dan keadilan yang dilakukan. Kekuasaan mana pun di luar kekuasaan kehakiman tidak dapat memengaruhi proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan yang dilakukan hakim.

Sekalipun demikian, kata merdeka bukanlah cek kosong, yang juga diartikan sebagai kebebasan hakim untuk memeriksa dan memutus semua perkara, termasuk yang terkait dengan dirinya. Dalam hal ini, agar kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan, pembatasan kekuasaan bagi lembaga yudikatif menjadi penting adanya. Potensi penyalahgunaan kekuasaan tidak saja ada pada jajaran eksekutif dan legislatif, tetapi juga pada institusi yang ditugasi sebagai dispute settlement, seperti MK.

Merdeka pilihan MK

Hanya, melalui putusan terseut MK menempatkan dirinya sebagai lembaga negara tanpa batas kekuasaan. Mengadili berdasarkan UUD dimaknai sebagai kekuasaan melaksanakan proses pengujian undang-undang sesuai dengan kehendak hakim konstitusi. Indikasi ke arah itu dapat dibaca dalam pertimbangan dan diktum putusan yang dijatuhkan.

Pertama, di awal pertimbangan hukumnya, MK menegaskan Mahkamah Konstitusi perlu menyatakan putusan MK hanya berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Pesan yang hendak disampaikan ialah betapa kewibawaan lembaga itu sangat tinggi. Ia hanya tunduk pada UUD 1945 dan tidak tunduk pada ketentuan yang lain.

Sebagai court of law yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, pemosisian diri yang demikian tidaklah keliru. Namun, menjadi tidak tepat apabila pertimbangan tersebut hendak menyampaikan pesan tersirat, `tidak level' bagi MK untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dasar, seperti undang-undang. Dalam mengadili perkara-perkara konstitusional, MK tidak dapat mengesampingkan undang-undang. Salah satunya MK wajib tunduk pada hukum acara yang justru diatur dalam undang-undang sebagai mandat UUD 1945.

Kedua, MK mengartikan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai kebebasan hakim konstitusi untuk masuk ke ranah yang bukan kewenangan mereka. Seperti memberlakukan kembali sebuah norma undang-undang yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh pembentuknya. Dalam putusan ini, MK secara tegas menyatakan UU No 24/2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah Perpu Nomor 1 Tahun 2013.

Sebagai penafsir konstitusi, lembaga itu hanya berwenang menguji keabsahan sebuah undang-undang yang sedang berlaku. Dalam hal ini, penilaian terhadap keabsahan undang-undang dapat dilakukan melalui pembatalan norma yang dinilai bertentangan dengan UUD, menyatakan norma undang-undang bersifat konstitusional dengan persyaratan tertentu, atau menyatakan undang-undang tidak bertentangan dengan UUD.

Hanya, apabila putusan MK juga berisi perintah memberlakukan norma undang-undang yang sudah tidak berlaku, institusi itu tidak lagi dalam konteks menjalankan kewenangan pengujian undang-undang, tetapi telah bertindak sebagai pembentuk undangundang.

Dari sudut pandang apa pun, tidak ada alasan pembenar bagi kekuasaan kehakiman untuk mencampuri wewenang pembentuk undang-undang. Jadi, dengan masuk ke wilayah itu, pelaksanaan kekuasaan kehakiman telah menabrak batas demarkasi batas kekuasaan yang dimilikinya. Pada saat bersamaan, hakikat kemerdekaan kekuasaan kehakiman juga telah digerogoti. Kemerdekaan yang dimiliki telah kehilangan rasionalitasnya, digantikan kesewenangwenangan pelaku kekuasaan kehakiman.

Mengembalikan keseimbangan

Selama ini, perkembangan teori pembatasan kekuasaan hanya sampai pada titik perlunya pembatasan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Konsep itu pula yang digunakan MK dalam memeriksa dan mengadili pengujian UU No 4/2014. Di bawah konsep yang demikian, hakim konstitusi mendapat alasan pembenar secara teori untuk menabrak hukum acara pengujian undang-undang sebagai salah satu batas pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

Fakta demikian mengharuskan adanya rekonstruksi teori pemisahan kekuasaan. Kekuasaan mahakuat yang dimiliki pelaku kekuasaan kehakiman juga harus menjadi objek yang mesti dibatasi sebab kekuasaan yudikatif tanpa batas dan kontrol juga cenderung disimpangi. Hanya, pembatasan yang dilakukan mesti tetap dalam desain tidak merusak kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Pada level implementasi, pembatasan kekuasaan kehakiman salah satunya dapat dilakukan dengan menata ulang hukum acara Mahkamah Konstitusi. Hukum acara yang selama ini digunakan tidak memiliki kepastian proses dan cenderung sesuka hakim.

Tidak ada standar pemeriksaan dan pembuktian yang dapat dipegang sehingga membuka ruang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, berbagai asas yang diberlakukan dalam pengujian undang-undang mesti ditegaskan dalam norma undang-undang. Dengan cara itulah, kekuasaan tanpa batas Mahkamah Konstitusi dapat dibatasi tanpa mengganggu kemerdekaannya dalam melaksanakan hukum dan keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar