Sabtu, 22 Maret 2014

Musim Asap dan Kejahatan Lingkungan

Musim Asap dan Kejahatan Lingkungan

Muhnur Satyahaprabu  ;   Manajer Kebijakan dan Pembelaan
di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
MEDIA INDONESIA,  22 Maret 2014
                                                                                                                      
                                                                                         
                                                      
MUSIM asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun adalah wujud yang tak terbantahkan, bahwa semua itu bukan bencana, melainkan wujud ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola lingkungan dan ketidakberdayaan aparat hukum menegakkan hukum lingkungan atas korporasi besar sebagai penyebab utama musim asap terjadi.

Sebenarnya, kebakaran hutan yang terjadi di Riau barubaru ini hanyalah puncak gunung es. Ritual pembakaran hutan terjadi di ribuan titik hutan selama setahun. Data historis yang dilihat dari satelit Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membuktikan, dari 2001 hingga 2012 saja, di Sumatra mengalami rata-rata 20 ribu peringatan titik api setiap tahunnya. Tingkat keyakinan deteksi ini lebih dari 30%.

Data World Resources Institute (WRI) memetakan lokasi titik api Riau selama 20 Februari-12 Maret 2014 dengan bantuan Active Fire Data milik NASA terungkap bahwa kabut asap di Riau kali ini lebih parah daripada 2013 lalu. Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2014 ditemukan 3.101 titik api di Pulau Sumatra. Jumlah tersebut melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013 lalu yang sebanyak 2.643 titik api.

Jika dilihat ke belakang, kebakaran hutan terbesar pertama di Indonesia terjadi pada 1982/1983. Kebakaran tersebut akibat kolaborasi ke salahan program pengelolaan hutan di era Orde Baru dan fenomena El Nino. Saat itu, 3,2 juta hektare hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Diperkirakan, kerugian mencapai US$9 miliar.

Lebih mengerikan terjadi pada awal 1998, ketika hampir 10 juta hektare hutan terbakar, yang terjadi di 23 provinsi dari 27 provinsi Indonesia, sehingga menyebabkan sebagian kawasan Asia Tenggara berkabut sampai beberapa bulan. 
Setelah itu, rutinitas pembakaran hutan terjadi setiap tahun, bahkan data Walhi mencatat dari 2001 hingga 2006 kerugian di Sumatra mencapai US$7,8 miliar dan di Kalimantan mencapai US$5,8 miliar.

Lebih jauh, kebakaran hutan terjadi tanpa memandang rezim mana pun. Akibatnya, hutan kita habis. Nusantara tidak hijau lagi dan jutaan budaya ekologis hilang karenanya. Sangat disayangkan memang, ketika negara seakan tidak mempunyai kebijakan penyelamatan hutan yang serius. Atau bahkan diduga negara dan pemerintah takluk oleh kekuatan korporasi yang diduga menjadi penyebab utama hilangnya hutan di Indonesia dengan membakar dan membuka lahan perkebunan, tambang, dan ekploitasi lainnya.

Kejahatan korporasi

Menanggapi kebakaran yang terus terjadi di hutan Riau dan Jambi, Walhi melaporkan 117 perusahaan ke Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Walhi menduga ke 117 perusahaan tersebut ikut bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan hingga merugikan lebih dari 5,5 juta rakyat Riau dan Sumatra pada umumnya. Di samping itu, Walhi juga melayangkan gugatan ke pemerintah pusat dan 13 pemerintah daerah atas kelalaian menjaga lingkungan dan hutan.

Proses advokasi tersebut cukup beralasan, bahwa pelaku pembakaran hutan di Indonesia dari yang telah dipelajari selama puluhan tahun pada setiap rezim ialah korporasi. Hal tersebut dapat dilihat dari konsesi lahan yang telah diberi izin oleh pemerintah untuk dikelola swasta. Izin sudah berupa pembukaan perkebunan, tambang, dan eksplorasi lainnya.

Sesungguhnya hutan tropis di Indonesia adalah hutan yang sangat sulit terbakar. Namun, karena kepentingan bisnis semata, pembakaran hutan menjadi langkah yang murah, cepat, mudah, dan menguntungkan. Bagaimana tidak, abu hasil pembakaran akan dapat menaikkan tingkat keasaman (ph) tanah dari 3-4 menjadi 5-6 sehingga tanaman perkebunan akan tumbuh dengan baik dalam kondisi tanah seperti itu. 

Percepatan penyiapan lahan (land clearing) akan mudah tercapai untuk persiapan penanaman komoditas perkebunan. Dari hasil pengamatan, perusahaan-perusahaan yang memi liki area lahan dengan skala besar kerap melakukan praktik ilegal itu.
Anehnya, walaupun sudah jelas aktor di balik pembakaran lahan tersebut, pemerintah dan penegak hukum lemah dalam memproses hukum dan memberi sanksi yang menjera. Yang ditangkap dan kemudian diproses hukum justru masyarakat yang diduga sebagai orang suruhan perusahaan untuk membakar. Akan tetapi, perusahaan tidak pernah diberi hukuman pencabutan izin usaha, pembebanan pajak, atau denda berupa uang. Perusahaan-perusahaan nakal tersebut tak tersentuh hukum.

Lebih jauh, mengapa perusa haan yang membakar hutan sedemikian kuat sehingga tidak tersentuh hukum. Jawabannya ialah karena perusahaan korporasi tersebut telah melakukan politik bisnis dengan menjalin relasi melalui pemerintah pusat ataupun daerah, juga dengan aparat penegak hukum. Relasi tersebut terbangun sejak dalam proses pengelolaan izin usaha, pembukaan lahan, dan pengamanan proses produksi. Dari relasi tersebutlah lahir sebuah praktik korup berupa suap dan pembagian konsesi politik bisnis yang menguntungkan.

Praktik korupsi kehutanan sangat sulit diberantas. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan potensi kerugian negara akibat kejahatan di sektor kehutanan pada 2011-2012 mencapai Rp691 triliun. Modusnya ialah dengan alih fungsi lahan, pemanfaatan hasil hutan secara tidak sah, dan penghindaran terhadap manipulasi pajak. Sehingga, dengan korupsi kehutanan yang kian mengerikan seperti itu, kejahatan kehutanan jangan dijerat dengan hukum biasa, tetapi perlu pelibatan undang-undang antikorupsi, pencucian uang, dan pidana korporasi agar dapat memutus kejahatan korporasi mengerikan yang menggerogoti negeri ini.

Dalam level kebijakan, diduga otonomi daerah yang disertai dengan otonomi pengelolaan hutan di daerah yang tidak berjalan dengan baik menjadikan hutan sebagai area bancakan yang menggiurkan elite penguasa pejabat daerah dengan perusahaan. Proses perizinan menjadi bisnis yang sangat lezat. Dari proses itulah lahir raja-raja kecil di daerah yang kaya raya. Kepala daerah kaya raya-padahal bergaji kecil--karena telah menjalin kongkalikong dengan perusahaan-perusahaan nakal tersebut. Bahkan, untuk meraih kursi di daerah kaya hutan dan sumber daya alam, biasanya dibiayai oleh perusahaan. Namun setelah menjadi kepala daerah, giliran perusahaan diberi izin untuk menguras bumi sepuasnya.

Tahun 2014 adalah tahun politik yang mengharuskan peserta pemilu mempunyai anggaran besar dalam memenanginya. Sampai saat ini mayoritas partai politik masih menggantungkan eksploitasi sumber daya alam menjadi sumber pendaan partai politik. Musim asap bukan lagi siklus 5 tahunan, melainkan sudah menjadi bagian dari dua musim negara tropis selain musim kemarau dan hujan. Pemerintah harus segara melakukan tindakan berani dengan melakukan review izin industri ekstraktif dan jika melanggar harus segera dicabut, karena kontribusi perusahaan-perusahaan besar tersebut hanya dinikmati oleh pengusaha dan penguasa, sedangkan rakyat hanya mendapatkan sisanya yakni limbah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar