Rabu, 19 Maret 2014

Melengkapi Jokowi

Melengkapi Jokowi

M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
TEMPO.CO,  19 Maret 2014
                                
                                                                                         
                                                                                                             
Jokowi sudah mendapat mandat dari Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden PDIP. Terlepas dari pro-kontra, babak baru demokrasi elektoral 2014 dimulai. Megawati tengah benar-benar memakai Jokowi sebagai kartu politik rasionalnya. Keyakinan efek Jokowi akan melipatgandakan perolehan dukungan populer dalam pemilu legislatif tampak sekali merupakan pertimbangan utamanya. Analisis ragam temuan lembaga-lembaga survei menjadi rujukan yang tak terelakkan.

Tentu terdapat faktor tersembunyi yang publik luas tidak tahu persis sehingga Megawati mendukung Jokowi. Tapi, yang jelas, Jokowi sudah disodorkan dan PDIP siap diuji dalam pemilu. Lazim terjadi dalam kompetisi elektoral, bahkan apabila urusannya terkait dengan perebutan kepemimpinan nasional ke depan, aneka pendapat atas Jokowi segera terlontar.

Dalam proses politik di level elite, Prabowo Subianto dan pihak Partai Gerindra tampak sekali tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya, menyusul keputusan Megawati itu. Perjanjian Batu Tulis diungkit lagi. Yang mengemuka adalah perbedaan tafsir. Kubu Gerindra mengartikan PDIP ingkar janji. Kubu PDIP menafsirkan perjanjian tersebut otomatis gugur, menyusul kekalahan pasangan Megawati-Prabowo dalam Pilpres 2009. Di sisi lain, karena dianggap melanggar etika dan "hukum", Jokowi digugat ke pengadilan. Ini bagian dari dinamika.

Jokowi memang fenomena politik ajaib dalam dinamika dan konstelasi politik saat ini. Karier politiknya melesat bak meteor, dari wali kota yang belum usai masa jabatan keduanya, kemudian terpilih sebagai gubernur. Belum dua tahun pula jabatan barunya ini usai, sekarang sudah jadi calon presiden. Terlepas dari moncernya peluang politik Jokowi, kritik terhadapnya mudah dilayangkan, bahwa ia tidak lepas dari problem etis kepemimpinan. Jawaban lazim yang sering mengemuka dari pendukung Jokowi biasanya dikaitkan dengan prioritas kebutuhan pemimpin nasional.

Dalam politik, etika sangat subyektif. Lazim seorang politikus mengatakan bahwa dia bisa memutuskan dan melakukan apa saja, termasuk apabila orang lain mempermasalahkannya secara etis, asalkan tidak melanggar hukum formal. Dalam demokrasi prosedural, tentu saja pemenuhan prosedur politiklah yang dipentingkan, sementara etika selalu dipandang multitafsir. Publiklah yang pada akhirnya memberikan penilaian, betapapun tidak semua lapisan paham persoalan-persoalan keetisan demokrasi.

Fenomena Jokowi memang segera jadi preseden bahwa, selama aturan mainnya tidak mempersoalkan wali kota aktif dicalonkan sebagai gubernur, atau gubernur aktif dicalonkan sebagai presiden oleh partai pengusung untuk dikompetisikan dalam perhelatan elektoral, Jokowi tidak sendirian. Ini persoalan tersendiri. Bahwa kelak harus ada aturan agar pejabat publik mengabdi kepada publik luas hingga akhir massa jabatannya. Paling tidak, ini pekerjaan rumah ke depan.

Jokowi, secara perorangan, memang sangat populer belakangan ini sebagai capres. Ia terlontar sekaligus pelontar. Ia memperoleh momentum naik tangga kekuasaan, di tengah krisis model "kepemimpinan yang lain". Dengan posisinya sebagai ekstrem model kepemimpinan yang berbeda dengan model Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi naik daun. Ia mendekonstruksi kepemimpinan arus utama. Model blusukan, yang lazim saja dilakukan siapa pun, di tangannya menjadi "sesuatu". Jokowi kini berada dalam posisi ekstrem alternatif, dan itulah yang diyakini merevisi potensi golput.

Jokowi, dengan gayanya, cenderung masuk ke kategori--meminjam Herbert Feith--solidarity maker. Ia tampil populis, dan seolah hanya dengan cara menyapa publik setiap saat, itulah model kepemimpinan yang terbaik untuk saat ini. Itu tidak salah, tapi belum sepenuhnya lengkap. Yang mendampinginya, sebagai calon wakil presiden, semestinya sosok dengan tipe administrator atau problem solver, yang memastikan sistem pemerintahan bekerja dengan baik dan efektif. Kimia politik atau kecocokan perlu, selain pasangannya itu bijak, kaya pengalaman, komunikatif, dan merupakan stabilisator hubungan eksekutif dengan lembaga lain, terutama parlemen.

Kalau saja PDIP menang dalam pemilu kali ini, koalisi terbatas dengan yang lain, khususnya yang ber-"platform nasionalis" tetap diperlukan. PDIP membutuhkan kebersamaan. Karena itu, pasangan Jokowi seyogianya memang yang mengakomodasi mitra koalisi terbesarnya. PDIP mungkin bisa melengkapi pasangan Jokowi dengan kadernya sendiri atau yang non-partai, tapi tampaknya pilihan demikian akan lebih pas dalam konteks capres inkumben. Padahal PDIP sendiri selama ini berada di wilayah "oposisi". Dan seandainya memang masuk ke pemerintahan, kebersamaan politik diperlukan, demi stabilitas dan efektivitas pemerintahan.

Mungkinkah Jokowi menang? Kemungkinan kalah masih terbuka. Salah satu penentu kekalahannya, tidak tertutup kemungkinan, adalah ketidaktepatan memilih pasangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar