Rabu, 19 Maret 2014

Pemilu Paling Sulit

Pemilu Paling Sulit

Sutrisna  ;   Wartawan senior Suara Merdeka
SUARA MERDEKA,  18 Maret 2014
                             
                                                                                         
                                                                                                             
PEMILIHAN umum calon anggota legislatif (pileg) tanggal 9 April mendatang bakal menjadi pemilu paling sulit dibanding beberapa kali pesta demokrasi yang diselenggarakan di negeri ini sebelumnya. Itu minimal dikatakan Kristiawan Hadisusanto, peminat masalah politik dan pemerintahan, tinggal di Semarang (Suara 45, Nomor 45/April 2014). Dia bahkan memperkirakan pileg tersebut sangat mungkin yang tersulit di dunia, dengan mendasarkan beberapa alasan. Saat hari coblosan misalnya, pemilih masuk ke bilik suara dengan menenteng 4 kartu suara. Pada tiap kartu suara, selebar kira-kira 4 kali kertas kuarto–karena itu lebih pas disebut lembar suara–masing-masing tertera sekitar 120 nama.

Nama-nama itu adalah caleg yang diajukan 12 partai, yang rata-rata mengajukan 10 nama pada tiap daerah pemilihan (dapil). Ada yang lebih dari l0 nama namun ada yang kurang. Contoh, untuk dapil I Kota Semarang, tiap partai hanya mengajukan masingmasing 7 nama, tetapi untuk dapil III ratarata 11. Untuk tingkat Provinsi Jateng, di dapil I dari 12 partai; 11 di antaranya mengajukan 11 caleg, dan cuma PBB yang mengajukan 3. Keadaan sama, terdapat pada daftar caleg untuk DPR di provinsi ini, yang dibagi dalam 10 dapil. Karena itu, tiap pemilih, di bilik suara dihadapkan pada 4 lembar kartu suara yang memuat 120 nama caleg kota/kabupaten, 120 caleg DPRD provinsi, 120 caleg DPR, ditambah lagi 32 calon anggota DPD.

Seluruhnya 392 nama. Betapa rumit untuk menentukan nama yang akan dicoblos. Apalagi bagi mereka yang kurang melek politik, kalangan orang tua, mereka yang kurang terdidik, atau mereka yang memang tergolong tak acuh terhadap masalah politik dan kepartaian. Dalam sistem massa mengambang persoalan semacam itu pada dasarnya selalu terjadi. Akankah pemilih mencari nama pilihannya dalam empat lembar kartu suara yang selebar itu? Asal coblos? Atau malah membiarkan kartu suara tetap terlipat rapi dan segera memasukkannya ke kotak suara? Hasilnya kita lihat nanti setelah penghtungan suara. Faktor kesulitan lain adalah betapa repot mencari nama caleg yang bukan petahana (incumbent). Tujuannya untuk memilih caleg baru yang diharapkan bukan ”kader korupsi”. Calon politikus muda itu diharapkan meniupkan angin segar pembaruan di Senayan. Padahal 92% caleg dalam daftar tersebut, adalah nama lama yang sebagian besar sudah tercemar aroma korupsi. Terjebak kembali memilih mereka, ibarat memasukkan kembali gerombolan tikus ke lumbung padi. Melihat jumlah nama lama itu saja sudah sulit kita berharap pembaruan kelak terjadi di legislatif. Celakanya, yang termasuk dalam lingkaran koruptor itu adalah politikus muda yang pada awalnya kita harapkan jadi calon-calon pemimpin bangsa ini pada masa depan. Pemimpinpemimpin muda yang penuh idealisme dan dedikasi bagi bangsa.

Realitasnya, baik yang muda maupun yang tua, sami mawon. Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, dan Andi Alifian Mallarangeng, meskipun bukan legislator, kita bisa menyebutnya sekadar contoh mengingat masih banyak yang lain. Ketiganya justru dari Partai Demokrat, partai yang begitu muncul pada dua pemilu lalu langsung mendapat sambutan luar biasa karena mampu meniupkan angin pembaharuan.

Begitulah kehidupan politik di negeri ini. Kristiawan juga menyebutkan, selagi banyak negara maju melaksanakan penyederhanaan kepartaian, kita justru memilih sistem banyak partai yang ribet dan memunculkan pemilu yang makin rumit. Sebagai contoh AS, Inggris, dan Jerman menerapkan sistem dua partai. Jepang tiga partai, dan Australia empat partai.

Bukan Substansi

Banyak negara lain yang juga menganut sistem banyak partai, tetapi dalam pemilu, yang dicoblos adalah tanda gambar partai seperti di negara kita pada era Bung Karno, atau zaman Pak Harto dan awal reformasi. Pemilu tidak serumit dan semahal sekarang. Sangat ironis. Banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan tapi uang negara dihamburkan untuk melaksanakan pemilu yang konon lebih demokratis, lebih mengedepankan hak politik rakyat. Namun pada hakikatnya yang menikmati hasil pemilu hanyalah elite politik di legislatif dan eksekutif, bukan rakyat. Rakyat cuma menjadi alat dalam pemilu yang prosedural dan transaksional. Elite politik lupa makna dan substansi pemilu yang tujuan pokoknya membangun sistem politik dan pemerintahan demi menyejahterakan rakyat pemegang kedaulatan. Suram dan sangat pahit melihat kenyataan itu.

Tapi demokrasi dengan pemilunya dinilai sebagai sistem politik dan pemerintahan yang paling baik. Masalah pokoknya adalah moral mereka yang terpilih duduk di lembaga legislatif dan puncak eksekutif. Kita tetap berharap pemilu kali ini menampilkan elite politik yang benar-benar mampu membawa perubahan. Meskipun KPU cuma menargetkan 75% rakyat yang punya hak pilih pergi ke bilik suara, golput bisa direm, dan hak pilih yang digunakan benar-benar mencapai sasaran. Yang terpilih memenuhi harapan sesuai hati nurani pemilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar