Kamis, 20 Maret 2014

Membangun Optimisme Bangsa

Membangun Optimisme Bangsa

M Joko Lelono ;   Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sanata Dharma
KORAN JAKARTA,  20 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                      
Dalam kehidupan, ada saatnya bosan, jenuh, dan muak atas situasi yang tidak menyenangkan. Hari berganti, situasi bukannya membaik, malah memburuk.

Situasi demikian pernah dialami orang yang menjalani kemoterapi atau harus menjalani cuci darah. Mereka cemas dengan masa depan yang kian tak menentu.

Gambaran pribadi tersebut bisa juga terjadi pada masyarakat atau suatu bangsa. Indonesia yang sedang sakit membawa pesimisme dalam diri masyarakat.

Indonesia layak jenuh melihat kasus-kasus korupsi sedemikian banyak. Uang yang diperas dari keringat rakyat dijarah secara liar oleh pejabat negara.

Banyak pejabat meraup korupsi ratusan miliar, sementara ada warga yang hanya makan nasi aking setiap hari. Ironi ini begitu mengerikan, untuk tidak mengatakan kejam.

Di tengah situasi demikian, wajar bila masyarakat merasa jenuh, bosan, dan muak. Berita korupsi yang berkelindan dengan pembakaran hutan, kerusakan lingkungan, pembunuhan, perceraian artis, dan berbagai musibah kecelakaan menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat yang menambah kemuakan dan kejenuhan.

Mental demikian harus diubah karena bangsa tak boleh hanya meratapi kehidupan. Dalam logika kehidupan, semuanya berjalan dan berganti.

Tidak ada sesuatu yang pasti, tetap, dan terus bertahan. Ada saatnya kehilangan orang-orang yang dicintai entah karena kematian atau harus berpindah. Tak lama berselang, datang orang-orang baru dalam kehidupan.

Orang dewasa kehilangan masa kecil. Kemudian dia harus mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru, beserta situasi baru pula. Dari logika ini, bisa dipelajari bahwa kesulitan dan tantangan tidak boleh menghentikan jejak langkah manusia. Hidup terus harus dihidupi. Hidup yang tidak dihidupi adalah kematian. The show must go on.

Rasanya, lebih baik menyalakan lilin kecil daripada terus-menerus mengutuk kegelapan. Soekarno mengatakan, "Revolusi belum selesai!" Indonesia masih membutuhkan masyarakat untuk bangkit dengan optimisme membangun masa depan. Masyarakat harus terus membangun mimpi Indonesia sejahtera.

Masyarakat terus dicekoki berbagai berita negatif tentang politik sampai soal pribadi di panggung hiburan. Misalnya, dari berita korupsi, terbuka juga info soal perceraian seorang pengacara dengan mantan penyanyi terkenal. Media secara vulgar mengumbar permusuhan antarartis.

Media secara terang-terangan membuka kedok negatif politisi yang gagal menjaga moral atau secara jelas menceritakan sisi negatif kehidupan keluarga dengan gosip-gosip murahan. Indoktrinasi ini membuat masyarakat dengan mudah memandang negatif situasi negara.

Fenomena

Menarik untuk membaca fenomena terakhir, saat ada pembunuhan seorang mahasiswi bernama Ade Sara. Cerita pembunuhannya sendiri memang mengerikan. Namun, yang menarik sikap hati Suroto dan Elisabeth Diana. Kedua orang tua Ade Sara itu dengan tegas mengatakan, "Hafitd dan Assyifa, Mama dan Papa mengampuni kalian berdua."

Mereka beralasan kedua pelaku sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Kata-kata Elizabeth yang melawan arus normal zaman ini menjadi oase di tengah padang gurun yang serba bermusuhan yang penuh balas dendam.

Saat masyarakat dipenuhi, digiring, oleh satu logika bernama balas dendam dan penghukuman, ada logika lain bernama pengampunan. Di tengah arus itu, ada hukum pengampunan yang membuat orang lalu bisa memutus rantai balas dendam dan menjadikan hidup lebih mudah dijalani.

Dalam logika balas dendam, yang ada rantai permusuhan yang pada akhirnya melahirkan kekerasan. Dalam arena ini, kisah Ade Sara menjadi sebentuk warta yang perlu dikabarkan.

Mengapa tidak kisah macam ini diwartakan lebih sering? Atau lebih tepatnya mengapa tidak bangsa ini lebih sering menghadirkan logika semacam itu? Sebuah pencerahan di tengah karut marut bangsa. Saya mendengar dalam siaran sebuah radio berdurasi dua menit berjudul, "Dua menit positif tentang Indonesia!"

Siaran itu merupakan salah satu usaha membangun masyarakat bersikap positif. Media harus lebih banyak membangun pikiran positif agar masyarakat semakin segar.

Pada hari-hari terakhir menjelang pemilu, bangsa dihadapkan pada pertanyaan, "Seberapa besarkah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negara?" Seruan "jangan golput" muncul di sana-sini menjadi gambaran bahwa golput mulai jadi momok. Pertanyaan selanjutnya, seberapa optimiskah bangsa akan ada perbaikan setelah pemilu?

Golput, terlepas dari berbagai alasan dan halangan praktis, menjadi gambaran ketidakpercayaan masyarakat pada negara. Namun, apakah ini sikap yang baik? Banyak orang mengatakan tidak. Satu suara memang tidak akan sangat menentukan hasil pemilu. Namun, kalau ada 1.000 orang mengatakan, satu orang tidak menentukan hasil pemilu, maka akan ada 1.000 suara hilang.

Dalam suasana ini, apakah rakyat akan pesimistis? Rasanya masyarakat harus hadir menawarkan kesegaran dalam konteks kesediaan membangun negeri. Masyarakat perlu membangun optimisme. Media membangun citra pencerahan bagi kehidupan pribadi dan negara, sementara pemilu menjadi jalan bersama membangun bangsa.

Filsuf mistis Jawa, Ki Ageng Suryamentaram, menuliskan, "Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada. Hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi yang berupaya menutupi hasrat tak terpuaskan atas kebahagiaan abadi" (Afthonul Afif, peny, 2012).

Mungkin memang masyarakat ideal Indonesia tidak pernah akan dicapai dan selalu hanya menjadi mimpi, tetapi perlu terus membangun optimisme. Tujuannya bukanlah untuk terus meratapi masa lampau, tetapi mulai berpikir demi kebaikan masa depan.

Ki Ageng Suryamentaram juga menulis, "Di dalam Pancasila, Indonesia memiliki sekumpulan prinsip yang mampu menyulut sikap mental berujung pada dukungan terhadap persatuan bangsa.

Hal terpenting dari kelima sila tersebut adalah "kedaulatan rakyat (panguwasa rakyat), yang oleh Ki Ageng Suryamentaram dimaknai sebagai pengakuan atas hak kebebasan setiap individu atau pengutamaan semangat sosial yang melampaui dorongan instingtif tersembunyi dari tiap manusia ("kebinatangan yang ada dalam diri manusia").

Pada titik inilah semangat luhur (raos luhur) yang mengejawantah dalam Pancasila dapat digunakan manusia Indonesia: semangat kemanusiaan, semangat nasionalisme, dan keadilan sosial" (Afthonul Afif, peny, 2012). Di sini harapan akan kemajuan sebuah bangsa perlu terus diusahakan oleh tiap individu.

Semoga pemilu kali ini menjadi milik rakyat demi mulai membangun optimismenya. Dukungan media dibutuhkan untuk membangun citra positif demi kemajuan bangsa. Meratapi masa lalu bukanlah sikap untuk maju.

Meratap sebentar boleh untuk belajar, tetapi harus langsung bangkit membangun hidup lebih baik. Masa depan masih panjang. Bangsa harus bergairah. Jangan hanyamuak, mengeluh, dan meratap tanpa bisa memberi solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar