Jumat, 14 Maret 2014

Membenahi Legislasi

Membenahi Legislasi

 Riduan Syahrani  ;   Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin
KOMPAS,  14 Maret 2014
                                                                                                                   
                                                                                                                                                                 
                                                                                                             
POLITIK hukum Indonesia menghendaki semua peraturan hukum peninggalan Hindia Belanda harus diganti dengan hukum nasional, yang bersumber pada falsafah Pancasila, buatan bangsa Indonesia sendiri.

Kenyataannya hingga kini masih banyak peraturan hukum kolonial yang tetap bercokol di masa merdeka. Beberapa kodifikasi hukum dan puluhan peraturan perundang-undangan yang berserakan dalam  Staatsblad (Lembaran Negara di zaman Hindia Belanda) masih jadi bagian dari hukum positif yang membelenggu rakyat Indonesia. Ini tak baik dan jangan dibiarkan sebab mengurangi hakikat kemerdekaan 

Semua peraturan hukum kolonial itu dibuat penjajah Belanda, pertama-tama dan seluruhnya, tak lepas dari kepentingan orang dan negeri Belanda. Bukan untuk bangsa Indonesia yang sudah merdeka. Sudah seharusnya ia lekas diganti dengan hukum nasional yang lebih baik dan sesuai dengan rasa keadilan orang Indonesia yang merdeka.

Sayang seribu kali sayang yang dikehendaki politik hukum Indonesia itu belum menjadi komitmen Badan Legislasi sehingga legislasi selama ini tidak terprogram untuk mengeliminasi semua peraturan hukum peninggalan kolonial itu. Padahal, UU yang diciptakan sudah ratusan.

Tak terencana
Legislasi tampaknya tak terencana dengan baik, tetapi responsif. Badan Legislatif tak punya kriteria tentang UU apa yang diprioritaskan pembuatannya. Akibatnya, Badan Legislatif DPR rentan diintervensi pihak yang berkepentingan akan adanya suatu UU. Wajarlah jika kemudian beredar isu: legislasi menjadi komoditas transaksi.

Faktanya: ada UU yang lahir dadakan, tak ada kabar beritanya, tak jelas urgensinya, dan tahu-tahu disahkan. Sebaliknya, UU yang merupakan kebutuhan hukum masyarakat luas dan sudah lama sekali dinantikan belum juga dibuat hingga kini. Misalnya, UU tentang Hak Milik atas Tanah dan UU tentang Hukum Acara Perdata.

UU tentang Hak Milik atas Tanah yang dijanjikan UUPA (Pasal 22) sejak 24 September 1960 sudah dinanti lebih dari setengah abad dan belum juga ada hingga kini. Padahal, UU ini sangat dibutuhkan rakyat karena tanah bagi rakyat adalah segala-galanya. UU tentang Hukum Acara Perdata untuk mengganti HIR dan RBg yang sudah usang juga belum ada hingga kini. Walaupun rancangannya sudah ada sejak 1978, karena tidak pernah dibahas, ya, tidak pernah menjadi UU sampai kini.

Tidak jelas apa motifnya. Badan Legislasi DPR justru lebih dulu membuat UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum yang merupakan hukum sektoral. Sementara UU tentang Hukum Acara Perdata sebagai hukum pokoknya belum ada. Semua itu menggambarkan legislasi yang tak diprogram secara konsepsional dan proporsional yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Jika saat in Badan Legislasi membahas RUU KUHAP (baru) untuk mengganti KUHAP (UU No 8/1981), yang menjadi persoalan di sini tidak terletak pada  kaidah-kaidahnya yang dikatakan melemahkan aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan-kejahatan luar biasa. Akan tetapi, justru lebih pada pertimbangan pembuatannya. Mengapa KUHAP yang masih memadai untuk melaksanakan peradilan pidana harus direvisi? Mengapa tidak membuat UU tentang Hukum Acara Perdata Nasional yang belum ada?

Kekerapan pemakaian hukum acara perdata lebih banyak daripada hukum acara pidana. Kasus perdata dibandingkan kasus pidana yang diselesaikan di pengadilan ialah 10 : 1. Kasus perdata tak hanya diajukan di pengadilan dalam lingkungan badan peradilan umum, tetapi juga di pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama.

Badan Legislasi tampaknya juga tak punya kriteria besaran masalah yang harus diatur dalam bentuk UU, untuk memilah dari peraturan hukum bentuk lain. Karena itu, kerancuan membuat UU bisa terjadi: suatu masalah yang sebaiknya diatur dalam bentuk peraturan pemerintah tidak perlu dibuat dalam bentuk UU.

Untuk pendidikan kedokteran, misalnya, Badan Legislasi sebaiknya tak perlu membuat UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran itu. Serahkan itu kepada pemerintah untuk mengaturnya dengan PP sebagai pelaksanaan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan payung hukum pendidikan.

Pendek kata, Badan Legislasi perlu dibenahi secara internal, antara lain, dengan menetapkan kriteria UU yang perlu diprioritaskan pembuatannya. Untuk mengganti seluruh peraturan hukum warisan Belanda, kiranya perlu dipikirkan kerja sama kelembagaan dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Ini  tidak dimaksudkan mengurangi peran para ahli yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar