Kamis, 13 Maret 2014

Mission Impossible untuk Sri Mulyani?

Mission Impossible untuk Sri Mulyani?

 Bambang Satriya  ;   Guru Besar Stiekma,
Dosen luar biasa Universitas Merdeka Malang
MEDIA INDONESIA,  13 Maret 2014
                                                                                                             
                                                                                         
                                                                                                             
NAMA Sri Mulyani mulai menghangat disebut publik saat Century mulai disidangkan. Mulyani dianggap ikut bertanggung jawab terhadap dana Rp6,7 triliun yang keluar dari Century. Masalahnya publik tetap berasumsi bahwa mendatangkan Sri Mulyani ke Indonesia ialah mission impossible. Benarkah demikian?

Selama ini, banyak pihak mengkritik kinerja KPK dalam penanganan kasus Century. Salah satu kritik yang dialamatkan pada KPK ialah soal rencana pemeriksaan yang dilakukan KPK pada Sri Mulyani. Yang ditembakkan publik pada KPK bukan pada soal yurisdiksi Sri Mulyani, melainkan pada integritas dan sikap militansi KPK. 

Mengapa harus memeriksa Sri Mulyani ke Washington? Apa memang Sri Mulyani tidak bisa didatangkan ke Indonesia? Atau apakah Sri Mulyani termasuk warga negara Indonesia yang mempunyai tempat privilese di mata hukum?

Pertanyaan itu seharusnya menyakitkan didengar dan dirasakan KPK karena KPK ibarat diposisikan sebagai institusi yang kehilangan nyali dan integritas moral profetis mereka sedang tereduksi sehingga harus mengunjungi Sri Mulyani di Amerika.

Sebagai institusi independen, seharusnya bukan KPK yang harus munduk-munduk mendatangi Sri Mulyani ke Amerika, tetapi Sri Mulyanilah yang harus memenuhi panggilan KPK. KPK sudah dipercaya masyarakat untuk mendekonstruksi kasus korupsi apa pun, khususnya yang mengandung kerugian negara di atas Rp1 miliar. Kepercayaan yang diberikan masyarakat ini tidak boleh dibalas dengan cara menerapkan politik tebang pilih.

Sebagai seseorang yang sudah mendapatkan keistimewaan dari negara dalam bentuk pemberian lisensi untuk bekerja di Bank Dunia, padahal di sisi lain, masih disangkutkan dengan perkara Century, Sri Mulyani idealnya kooperatif dengan cara mendatangi KPK, baik dipanggil maupun tidak.

Jika Sri Mulyani menjatuhkan opsi dalam bentuk mendatangi KPK, opsi itu akan membuat dirinya terhormat. Dirinya akan diposisikan publik sebagai seseorang yang berusaha keras membuktikan dirinya sosok pelaku sejarah yang bertanggung jawab.
Pembuktian itu juga merupakan wujud pembuktian terbalik, artinya Sri Mulyani menunjukkan kepada aparat KPK dirinya punya bukti-bukti memadai atau mampu menghadirkan fakta hukum yang memosisikan dirinya tidak layak dikaitkan dengan problem penyalahgunaan uang negara.
Beda halnya kalau KPK masih memaksakan mendatangi Sri Mulyani, akan banyak risiko yang ditanggung baik oleh KPK sendiri, jati diri negara hukum, martabat konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945), idealisme pendidikan hukum, maupun masa depan politik penanggulangan korupsi. Pertama, KPK akan menghadapi hujatan publik sebagai institusi yang tidak lagi pantas menyandang identitas sebagai institusi yudisial yang independen. KPK yang secara historis didirikan sebagai institusi alternatif tidak pantas memanggul amanat besar dalam pemberantasan korupsi.
Kalau memang KPK masih pantas distigmatisasi sebagai wakil negara dan rakyat (pencari keadilan), tentulah KPK tidak melihat Sri Mulyani sebagai sosok istimewa, yang bisa mereduksi kemandiriannya, tetapi sebagai orang biasa yang bisa diundang atau dipaksa untuk datang ke Kantor KPK.
KPK berkali-kali mengampanyekan slogan `jujur itu hebat' sehingga KPK wajib memberi teladan kepada rakyat bahwa diri mereka juga berani jujur atas kebijakan (hendak) mendatangi Sri Mulyani di Washington. Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi KPK sebab kejelasan kasus Century yang diduga melibatkan Sri Mulyani sangat ditunggu masyarakat.
Selain itu, rencana KPK memeriksa Sri Mulyani (jika sampai terlaksana di Washington) dapat ditafsirkan publik sebagai tanda-tanda kekalahan KPK atau kuatnya posisi tawar Sri Mulyani sehingga KPK `mengalah' untuk menjemput bola. Cara demikian bisa membuat KPK semakin terpojok sebab KPK dianggap kurang mendukung terwujudnya hak keterbukaan informasi publik atas implementasi sistem peradilan korupsi dalam kasus Century.
Salah seorang pemenang Hadiah Nobel untuk Perdamaian Sean Bride pernah menyatakan saat ditanya wartawan: hak asasi apakah yang menurut anda tergolong fundamental? Ia menjawab: hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Kalau seseorang atau masyarakat semakin kehilangan hak memperoleh informasi dengan baik dan benar, bangunannya pastilah ringkih.
Kedua, jati diri negara hukum. Jika KPK jadi mendatangi (memeriksa) Sri Mulyani di Washington, berarti langkah KPK itu tak ubahnya menampar muka sendiri. KPK yang dihadirkan di Bumi Pertiwi sebagai lembaga penegak hukum alternatif setelah institusi lain mengalami kemandulan, gagal mempertahankan atau menguatkan misi historis dan fundamentalnya. Misi historis dan fundamental itu ialah mewujudkan Indonesia sebagai negara yang dikomandani atas norma yuridis dan bukan diperintah kekuasaan. Kalau KPK mengunjungi Sri Mulyani, berarti KPK lebih mengabdi kepada kekuasaan dan bukan kepada supremasi yuridis.
Ketiga, jika KPK tetap ke Washington untuk Sri Mulyani, berarti KPK mengebiri konstitusi. Dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945) sudah dijelaskan, setiap warga negara berkedudukan sederajat di depan hukum dan pemerintahan. Kedudukan setiap orang yang sederajat dalam akuntabilitas yuridis itu menjadi tak ada artinya ketika KPK menjatuhkan opsi diskriminasi.
Kata `setiap' dalam konstruksi konstitusi itu menunjuk ke penghargaan yang setinggi-tingginya pada harkat kemanusiaan untuk tidak diperlakukan berbeda antara satu dan lainnya dalam ranah proses hukum. Pembedaan dalam proses yuridis berarti penisbian harkat kemanusiaan dan penoleransian kebiadaban (Hikmawati Sukma, 2011).
KPK merupakan kumpulan orang pintar yang terpilih, yang tentu saja sangat paham dengan doktrin egalitarian dalam konstitusi sehingga jika sampai terjadi KPK mendatangi Sri Mulyani ke Washington, opsi yang dijatuhkan KPK ini tak ubahnya sebagai opsi yang berlawanan dengan idealisme konstitusi.
Keempat, orang-orang hebat yang memimpin KPK merupakan kumpulan sosok pedagog (pendidik). Segala ucapan, sikap, atau diskresinya layaknya sebagai materi pelajaran yang bisa dipelajari masyarakat. Ketika materi pelajaran yang disampaikannya baik dan benar, ini dapat menjadi pendidikan hukum yang efektif.
Pendidikan hukum tidaklah bisa terlaksana atau diteladani dengan gampang dan benar oleh masyarakat, manakala KPK memilih jalur memihak kekuatan elitis yang bermasalah daripada memihak doktrin konstitusi.
Bukan hanya Mahkamah Konstitusi yang mendapatkan peran sebagai pengawal konstitusi. KPK pun punya peran yang sama sehingga KPK bisa dianggap sebagai biang kerok kegagalan pendidikan hukum (konstitusi) ketika KPK gagal menjalankan peran pedagogisme yuridis mereka.
Kelima, opsi ke Washington oleh KPK dapat berakibat fatal pada politik penanggulangan korupsi. Kejahatan bertipe istimewa (extraordinary crime) yang oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dinyatakan sudah merugikan sedikitnya uang negara sebanyak Rp32 triliun sejak 2004 hingga 2011 itu akan berdampak membuat gagapnya gerakan penanggulangan korupsi saat koruptornya berasal dari lingkaran komunitas elitis kekuasaan.
Para koruptor dari jajaran elitis atau yang bernaung langsung di bawah rezim merasa mendapatkan tempat terhormat dan mempunyai imunitas sebab perilaku korup mereka disikapi sebagai produk yang aman. KPK bahkan dianggapnya sebagai teman atau `sejawat' yang bisa didorong dan digiring mengikuti skenario politik yang mengamankan dan menguntungkannya.
Dalam ranah tersebut, KPK akhirnya dianggap sebagai jalur utama pengamanan dan bukan ancaman serius yang bisa menjebloskan koruptor dalam akuntabilitas maksimal, inklusif, dan egaliter. Pimpinan KPK yang tidak mau terkena limbah demikian seharusnya menjatuhkan putusan bahwa pemeriksaan pada Sri Mulyani cukuplah dengan mengundangnya sesuai dengan slogan KPK, `jujur itu hebat'. Kalau Sri Mulyani mau menjadi orang hebat, datanglah ke Indonesia dan `jujurlah dalam menyampaikan testimony Century'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar