Selasa, 25 Maret 2014

Mengurangi Risiko Dana Bansos

Mengurangi Risiko Dana Bansos

Enny Sri Hartati  ;   Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
MEDIA INDONESIA,  24 Maret 2014
                                     
                                                                                         
                                                      
“Untuk mencegah praktik pergeseran anggaran itu, kriteria belanja bansos harus jelas dan transparan. Anggaran bansos harus dikembalikan pada tujuan yang telah tetapkan dalam PMK81/PMK.05/2012, yaitu untuk mengurangi dampak risiko sosial, juga harus dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.”

SETIAP menjelang tahun politik fenomena anggaran bantuan sosial (bansos) selalu ramai menjadi perdebatan publik. Keributan itu tidak terlepas dari besaran alokasi dana bansos yang kebetulan selalu meningkat setiap menjelang pemilihan umum (pemilu). Sebut saja anggaran bansos 2008 sebesar Rp57,7 triliun melonjak menjadi Rp73,8 triliun pada 2009 dan kembali menurun menjadi Rp68,6 triliun pada 2010.

Demikian juga dana bansos pada APBNP 2013 menjadi sebesar Rp82,5 triliun dan kembali naik drastis pada 2014. Rilis Kementerian Keuangan per Februari 2014, menyebutkan bansos yang awalnya hanya dianggarkan Rp55,86 triliun melonjak menjadi Rp91,8 triliun.

Padahal, sejatinya kenaikan alokasi anggaran bansos semestinya disambut gembira dan mendapat apresiasi publik. Minimal kenaikan anggaran bansos menunjukkan bukti perhatian pemerintah untuk mengupayakan langkah mitigasi terhadap berbagai risiko sosial yang dihadapi masyarakat. Apalagi selama 2013 masyarakat menghadapi tekanan ekonomi akibat meroketnya inflasi. Ditambah lagi sejak awal tahun bencana silih berganti menerpa berbagai daerah di Tanah Air. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.05/2012, bantuan sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang, atau jasa yang diberikan pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial dan meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat. Risiko sosial merupakan kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.

Dalam PMK tersebut jelas disebutkan bahwa bantuan sosial baik melalui kementerian negara/lembaga maupun melalui dana transfer daerah peruntukannya ialah (i) rehabilitasi sosial, yaitu untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar; (ii) perlindungan sosial, untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dasar minimal; (iii) pemberdayaan sosial, memberdayakan warga negara yang mengalami masalah sosial, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya; (iv) jaminan sosial, skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak; (v) penanggulangan kemiskinan, kebijakan atau program agar masyarakat mempunyai sumber mata pencaharian dan dapat memenuhi kebutuhannya secara layak; dan (vii) penanggulangan bencana, di antaranya ialah kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Sangat longgar

Sayangnya, regulasi dan pengaturan yang mengikat pengelolaan belanja bansos sangat terbatas dan tidak standar. Bahkan PMK hanya mensyaratkan pertanggungjawaban dana bansos oleh kementerian terkait ke Kementerian Keuangan hanya memuat jumlah pagu bansos yang disalurkan, realisasi bansos yang telah disalurkan, dan sisa dana bansos yang di setorkan ke rekening kas umum negara dengan dilampiri bukti tanda terima dan berita acara serah terima penyaluran. Artinya pengaturan alokasi bansos ini sangat longgar dan tidak memiliki kriteria peruntukan yang jelas. Rincian dana bansos yang tertuang dalam nota keuangan ialah untuk bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa dan mahasiswa miskin (BSM), Jamkesmas, PNPM Mandiri, Program Keluarga Harapan (PKH), dana cadangan penanggulangan bencana alam, dan bantuan sosial lainnya. Namun, realisasi dana bansos sangat jauh dari amanat dalam PMK tersebut. Rata-rata hampir 50% alokasi dana bansos jenis program dan kegiatannya tidak jelas atau masuk dalam dana bansos lainnya.

Ketidaktransparanan dan ketidakjelasan kriteria alokasi bansos itu tentu berpeluang menimbulkan potensi moral hazard mulai sisi penganggaran hingga penyaluran. Itu juga menimbulkan ketiadaan standardisasi dalam hal pertanggungjawaban dan pengawasan. Akan sangat sulit menentukan parameter untuk mengukur seberapa efektif dan efisien dari bansos yang telah dilaksanakan. Fleksibilitas peruntukan dana bansos itu berakibat paling rawan dicurangi atau disalahgunakan. Akibatnya, banyak temuan KPK terhadap terjadinya penyimpangan dan korupsi dana bansos. Lemahnya sisi regulasi dan ketiadaan aturan yang standar dalam pedoman alokasi pengelolaan dana bansos menyebabkan beragam interpretasi penggunaan dana bansos. Bahkan, baik kementerian teknis dan pemerintah daerah de ngan mudah melakukan berbagai pengalihan dan pergeseran anggaran bansos.

Alhasil tercatat terdapat 10 kementerian yang dana bansos 2014 melonjak tajam, di antaranya Kementerian Kominfo, Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian ESDM, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kehutanan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
Kesepuluh kementerian tersebut yang juga notabene dipimpin menteri yang terafiliasi dengan partai politik. Dengan demikian, sulit menafikan anggapan publik bahwa dana bansos ini bebas dari kepentingan politis dan tidak terkait dengan kebijakan populis menjelang pemilu. Politisasi berpeluang membangun popularitas pribadi dan kampanye terselubung. Apalagi, dana bansos diberikan kepada individu atau kelompok sehingga rentan disalurkan pada kelompok yang merupakan basis pendukung menteri atau partai politik tertentu guna mendapat dukungan masyarakat. Tak mengherankan jika sampai 28 Februari realisasi dana bansos sudah mencapai Rp7,8 triliun.

Lonjakan dana bansos bahkan ditengarai telah mengalami lonjakan sejak 2013. Beberapa contoh dana bantuan sosial di kementerian yang dipimpin tokoh partai politik cenderung meningkat menjelang tahun pemilihan umum. Bansos di Kementerian Agama tercatat sebesar Rp8,731 triliun pada 2011, Rp8,814 triliun pada 2012, dan melonjak jadi Rp11,28 triliun pada 2013. Lonjakan juga terjadi pada dana bansos Kementerian Perumahan Rakyat yang pada 2011 sebesar Rp560 miliar, Rp1,795 triliun pada 2012, dan Rp2,224 triliun pada 2013. Dana bansos Kementerian Sosial meningkat dari Rp2,324 triliun pada 2011, Rp2,713 triliun pada 2012, dan menjadi Rp3,351 triliun pada 2013.

Ada pergeseran

Di samping pembengkakan dana bansos yang terjadi pada beberapa kementerian teknis, pembengkakan bansos 2014 konon juga diakibatkan terjadinya pengalihan anggaran. Hal itu terlihat pada perubahan alokasi belanja APBN per Februari 2014. Pagu APBN 2014 berubah dan beberapa pos belanja mengalami perubahan yang signifikan. Setidaknya, terdapat tiga pos belanja utama yang mengalami pergeseran. Belanja barang dalam APBN 2014 yang semula mendapat alokasi sebesar Rp201,88 triliun, naik 6,2% menjadi Rp214,4 triliun. Apalagi belanja bansos mengalami kenaikan yang signifikan hingga 64,34% menjadi RP91,8 triliun. Akibatnya, belanja modal turun menjadi Rp184,2 triliun. Sebelumnya dalam APBN, belanja modal sebesar Rp232,8 triliun.

Pergeseran tersebut memang tidak mengakibatkan perubahan besarnya alokasi belanja. Anggaran belanja pemerintah pusat tetap sesuai pagu dalam nota keuangan 2014 sebesar Rp1.249,9 triliun. Namun, dalam Undang-Undang Keuangan Negara No 17 Tahun 2003 jelas diatur bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Artinya, setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD walaupun dalam keadaan darurat pemerintah/pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam la poran realisasi anggaran.

Pertanyaannya, seberapa darurat pergeseran anggaran tersebut harus dilakukan? Kementerian Keuangan mengklaim bahwa terdapat pergeseran anggaran akibat pembengkakan alokasi anggaran jaminan sosial menjadi sebesar Rp19,9 triliun. Anggaran tersebut sebelumnya dialokasikan pada belanja barang dipindah ke anggaran bansos. Tentu analogi itu tidak masuk akal. Anggaran Jamkesmas sejak awal nomenklaturnya ialah anggaran bansos. Langkah itu dikhawatirkan menjadi strategi dan justifikasi pergeseran belanja modal dan belanja barang menjadi belanja bansos. Utamanya pergeseran jenis belanja dengan alasan memiliki karakteristik belanja bansos.

Untuk mencegah praktik pergeseran anggaran itu, kriteria belanja bansos harus jelas dan transparan. Anggaran bansos harus dikembalikan pada tujuan yang telah tetapkan dalam PMK81/PMK.05/2012, yaitu untuk mengurangi dampak risiko sosial, juga harus dapat meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, syarat wajib dari kegiatan yang didanai dengan bansos ialah harus merupakan program yang berkelanjutan dan memiliki target output dan outcome yang jelas dan terukur. Dengan demikian, berbagai potensi moral hazard dan ditunggangi kepentingan politis dapat diminimalkan. Untuk itu, dana bansos pada tahun politik ini seyogianya ditunda dulu sampai pemilu selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar