Selasa, 25 Maret 2014

Integrasi Pengurangan Risiko Bencana

Integrasi Pengurangan Risiko Bencana

Musyafak  ;   Esais dan Asisten Peneliti di Balai Litbang Kemenag Semarang
MEDIA INDONESIA,  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
BARANGKALI sebagian besar dari kita tidak lagi terkejut ketika bencana melanda berbagai daerah di pelosok negeri. Bencana telah menjadi peristiwa yang rutin dan biasa. Di tengah kerutinan bencana seperti sekarang, apakah kita semakin siap dan sigap menanggapi bencana sehingga risikonya bisa ditekan? Kita masih saja tergagap ketika melihat tanda-tanda datangnya bencana. Risiko bencana selalu besar, mengorbankan banyak jiwa selain kerugian harta benda. Layanan publik macet, termasuk anak-anak sekolah yang digadang-gadang kelak akan memperbaiki infrastruktur lingkungan terpaksa diliburkan.

Kerentanan dan kapasitas masyarakat mesti dipandang sebagai entry point dalam memahami risiko bencana. Sebagaimana dikatakan Nurhady Sirimorok dan Puthut EA (2010: 3), bila suatu ancaman lingkungan bertemu dengan kerentanan dan rendahnya kapasitas manusia, barulah akan timbul bencana serta korban dan kerusakan di belakangnya.

Meski pemerintah masih kesulitan merumuskan cara efektif untuk mencegah dan menanggulangi bencana, paling tidak kita punya strategi untuk mengurangi risiko bencana yang hadir bak pelanggan. Mau tidak mau, agenda nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan tanggung jawab bersama.

Komunitas sekolah

Salah satu elemen masya rakat yang sangat strategis mengimplementasikan PRB ialah komunitas sekolah. Lembaga pendidikan memiliki mekanisme dan fasilitas untuk mengajarkan pengetahuan kebencanaan kepada peserta didiknya. Sejak 2010 Mendiknas (sekarang Mendikbud) melihat peluang tersebut sehingga terbitlah Surat Edaran Nomor 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan PRB di Sekolah. 

Pengintegrasian pendidikan dalam agenda penanggulangan bencana dirasa perlu, bahkan mendesak. Visi pengarusutamaan PRB di sekolah ialah mewujudkan budaya sadar bencana, kesiapsiagaan, keselamatan, dan ketangguhan di tingkat sekolah. Di satu sisi, budaya sadar menjadi modal pencegahan bencana, dan di lain sisi mengurangi potensi kerugiannya.

Mengapa komunitas sekolah? Tim Gugus Tugas Pengarusutamaan PRB dalam Sisdiknas (2010:14) mengemukakan tiga alasan. Pertama, siswa merupakan anggota masyarakat yang rentan terhadap bencana alam. Kedua, komunitas sekolah merupakan agen sekaligus komunikator untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang pendidikan bencana kepada orangtua dan lingkungannya. Ketiga, siswa merupakan aset masa depan dalam pembangunan bangsa sehingga harus dilindungi dari berbagai ancaman bencana.

Implementasi pengarusutamaan PRB di sekolah memang bukan tanpa masalah. Birokrasi, kurikulum, kompetensi guru, dan media pembelajaran kerap menjadi hambatan. Anwar Jimpe Rachman, melalui buku berjudul Hidup di Atas Patahan: Pengalaman Kelola Bencana di Tiga Kabupaten (Bengkulu Utara, Sinjai, Maluku Tenggara) (2012) mengisahkan pengalamannya berjuang dalam melaksanakan program PRB di sekolah. Salah satu hambatan yang dialaminya ialah kalangan lingkaran elite-birokrasi. Tingginya ego sektoral dan kuatnya syahwat kepentingan di kalangan aparatur elite pemerintahan membuat program PRB tergembosi.

Hambatan di lini birokrasi itu sedikit teringankan setelah pelajaran PRB masuk ke sekolah-sekolah sebagai muatan lokal, seperti terlaksana di Bengkulu Utara. Masuknya PRB sebagai muatan lokal lebih merupakan jerih payah para aktivis lingkungan, guru, dan kepala sekolah yang berani menerabas kebekuan birokrasi. Akan tetapi, persoalan tidak selesai di situ, kurang jelasnya kurikulum membuat para guru kebingungan mengajarkan pengetahuan kebencanaan di dalam proses pembelajaran.

Pengalaman di tiga kabupaten tersebut patut dijadikan refleksi bagi strategi pengimplementasian PRB di sekolah agar semakin optimal. Pertama, penguatan jaringan sekolah dengan pemerintah dan komunitas-komunitas yang berkecimpung di bidang lingkungankebencanaan. Kedua, sekolahsekolah mesti memberanikan diri untuk mengupayakan masuknya pendi dikan kebenca naan sebagai muatan lokal. 

Jika belum cukup, atau sebaliknya menemui jalan buntu, sekolah bisa membentuk kegiatan ekstrakurikuler pecinta alam yang belajar langsung dari alam. Bisa pula membentuk korps sukarela (KSR) yang sewaktu-waktu diterjunkan sebagai relawan ketika terjadi bencana untuk menyelamatkan atau mengevakuasi korban ataupun mengelola bantuan.

Aplikasi kurikulum

Pengintegrasian PRB di dalam kurikulum satuan pendidikan formal sekurang-kurangnya bisa dilakukan dengan cara menyisipkan materi kebencanaan di dalam ilmu alam atau ilmu sosial. Keberhasilan pe nyisipan semacam itu sangat bergantung pada kemampuan guru melalui metode pembelajaran yang mampu mentransfer teori sekaligus dikuatkan dengan praktik langsung di alam.

Tim Gugus Tugas Pengarusutamaan PRB dalam Sisdiknas mengemukakan dua garis besar materi yang harus ada dalam pendidikan kebencanaan. Pertama, pengetahuan dan praktik tahap-tahap penanggulangan bencana. Itu meliputi kondisi prabencana, saat terjadi bencana, dan pascabencana. Penjabaran materi di tingkat sekolah perlu diselaraskan dengan kemampuan kognitif dan perkembangan fisik peserta didik. 

Kedua, pengembangan budaya sadar bencana. Pengetahuan dan sikap siswa mesti diorientasikan untuk mampu memahami jenis-jenis dan sumber bencana, sejarah bencana, serta kerawanan dan kapasitas komunitas sekolah.

Materi kebencanaan antara satu daerah dan daerah lain tidak bisa disamakan, tetapi perlu diselaraskan dengan problem-problem bencana yang dihadapi keadaan alam atau lingkungan masyarakat setempat. Taruhlah, di Bengkulu atau Maluku yang notabene rawan gempa dan tsunami, materi keben canaannya harus dibe dakan dengan di Daerah Istimewa Yogyakarta atau Jawa Tengah yang memiliki gunung berapi aktif (Gunung Merapi) atau Sinabung di Sumatra Utara yang rawan meng alami erupsi bah kan letusan, atau Jakarta yang menjadi langganan banjir. Namun, perlu materi umum yang secara nasional dijadikan pengetahuan bersama di kalangan pelajar dengan menimbang rasio bencana yang paling sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti banjir, tanah longsor dan topan.

Muara pendidikan PRB di sekolah tidak lain ialah kesadaran tanggap bencana yang mengarah kepada dua aksi, yakni pelestarian lingkungan serta penyelamatan diri ketika bencana dan mitigasi serta pengelolaan bencana yang dilandasi empati etis kepada korban.

Masyarakat Indonesia hidup dalam beragam kultur dan kaya akan tradisi yang di dalamnya memuat nilai-nilai kearifan lokal. Modal kultural itu cukup potensial untuk dijadikan penopang dalam upaya pengurangan risiko bencana. Banyak sekali kearifan lokal yang merupakan jelmaan pengetahuan masyarakat dalam memahami dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Misalnya, di daerah Kecamatan Dullah, Maluku Tenggara, kebanyakan pekuburan terletak di pesisir pantai dan rimbun oleh pohon-pohon bintangur (ngufar: bahasa setempat) atau pohon-pohon kamboja. Adat permakaman itu diwariskan secara turun-temurun bukan tanpa makna di baliknya. 

Setiap ahli waris yang memakamkan keluarganya diharuskan menanam satu pohon di area pekuburan. Pohon-pohon itulah yang kemudian menjadi sabuk pantai untuk menahan gelombang laut sekaligus mencegah abrasi (Rachman, 2012: 95). Contoh lain yang juga bisa ditemukan di banyak daerah di Indonesia misalnya hukum adat terkait dengan tata guna tanah atau hutan: ada tanah yang bisa dicocoktanami sepanjang tahun, tetapi ada juga tanah yang hanya boleh ditanami dalam interval waktu tertentu; ada hutan yang bisa dimanfaatkan sumber dayanya, ada pula hutan lindung yang tidak boleh dieksploitasi.

Pendidikan PRB di sekolah perlu memperhatikan kearifan-kearifan lokal yang hidup di masyarakat setempat. Sekolah punya peran strategis untuk melestarikan pengetahuan lokal masyarakat yang berhubungan dengan upaya pelestarian lingkungan. Di samping itu, sekolah juga punya kekuatan untuk merevitalisasi tradisi lokal terkait dengan penghayatan alam yang mulai ditinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar