Jumat, 21 Maret 2014

Pendidikan Liberal

Pendidikan Liberal

Aos M Akyas  ;   Pensiunan Guru Besar Universitas Padjadjaran
(Unpad) Bandung; Fasilitator Filsafat Ilmu
KOMPAS,  21 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PREMANA W Premadi mencemaskan terabaikannya pendidikan sains di sekolah ataupun di universitas (Kompas, 24 November 2013). Premadi menulis, ”Mengajarkan sains bukan menyampaikan fakta tentang alam saja, tapi lebih penting lagi memperkenalkan bagaimana fakta itu ditemukan dan menginterpretasikannya.”

Sebenarnya bukan pendidikan sains saja yang terabaikan dalam kurikulum kita, melainkan juga ilmu-ilmu dan pengetahuan lain. Kurikulum kita lebih berperan sebagai vademekum, semacam kamus istilah, dan sedikit sekali memberikan fondasi cara memahami pengetahuan dan alam, cara memahami budaya dan masyarakat.

Pendidikan Liberal, seperti yang ditawarkan oleh Association of American Colleges and Universities (AACU), kiranya mampu mengoreksi kelemahan ”kurikulum model vademekum” ini.

Yang disebut pendidikan liberal atau lebih tepatnya ”libersal art education” dirancang pertama-tama justru untuk memfasilitasi mahasiswa dengan wawasan tentang bagaimana manusia mengenal atau memandang dunia dengan seluruh aspeknya, baik yang fisikal maupun yang metafisikal, dan bagaimana menginterpretasikannya.
Mereka bebas dalam arti tidak di-frame, tidak dibingkai oleh sesuatu apa pun, termasuk bingkai kemahiran berkarya dalam macam pekerjaan partikular kalau dia lulus nanti. Kemahiran berkarya hanya diberikan pada dua tahun terakhir dari total empat tahun pendidikannya; itu pun tetap dalam konteks ”kebebasan” memilih.
Tema ”liberal art education” dicanangkan oleh AACU pada tahun 2002 untuk menghadapi milenium baru.

Bekerja sama dengan Yale University, model kurikulum ini diadopsi oleh National University of Singapore—salah satu universitas papan atas di Asia.

Suatu pendidikan ”yang sungguh liberal”– menurut pernyataan resmi AACU—adalah pendidikan yang mempersiapkan kita untuk hidup bertanggung jawab, serta hidup produktif dan kreatif di era dunia yang terus berubah secara dramatis.
Ini adalah suatu pendidikan yang mendorong terbangunnya dasar-dasar intelektualitas yang kenyal, suatu disposisi menuju belajar seumur hidup, dan suatu sikap bertanggung jawab untuk konsekuensi etis dari setiap ide dan aksi yang kita jalankan.

Pendidikan liberal menuntut kita untuk mengerti fondasi dari pengetahuan dan cara memahami alam, cara memahami budaya dan masyarakat; yang menguasai inti keterampilan, persepsi, analisis, dan ekspresi; yang menanamkan sikap hormat terhadap kebenaran; yang menyadari pentingnya arti historis dan konteks budaya; dan yang mampu mengeksplorasi hubungan antara pembelajaran formal, kewargaan negara, dan pengabdian kita terhadap masyarakat.

Implisit dan eksplisit

Mengutip Polanyi (1966), pengetahuan dapat dibagi ke dalam pengetahuan implisit dan pengetahuan eksplisit (Roepke, 2001). Pengetahuan implisit adalah pengetahuan tak terungkap yang terbangun pada nalar seseorang sehingga yang bersangkutan mampu mendudukkan masalah pada kerangka teori dan berdasarkan itu membangun solusi.

Tujuan pendidikan menurut Paulo Fraire (1921-1997), pemikir dan filsuf pendidikan dari Amerika Latin, adalah membangun thought language, membangun bahasa pikir, karena itulah yang akan menjadi bekal seumur hidup anak didik kita.

Dalam terma Suprodjo Pusposutardjo (1987), pakar kurikulum Dikti zamannya Satrio Soemantri Brodjonegoro, pengetahuan inilah yang membangun wawasan kesarjanaan.

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan terkodifikasi, bagaimana mengerjakan ini dan bagaimana mengerjakan itu. Pengetahuan ini lebih dikenal sebagai pengetahuan vokasional, pengetahuan yang dibutuhkan ”to do a particular job”.

Kecenderungan vokasional yang abai terhadap pengetahuan implisit dalam kurikulum kita makin kental setelah pemerintah dengan gigih mendorong penyelenggara universitas untuk segera merealisasikan Kurikukulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Tidak ada yang salah dengan konsep ini, tetapi momentumnya mungkin sudah ketinggalan zaman.

KBK kita dirancang menurut rincian ”pengetahuan eksplisit” yang kita pahami saat ini untuk paling tidak lima tahun yang akan datang. Padahal, ilmu dan teknologi berubah dengan sangat cepat dan terspesialisasi semakin menukik.

Kompetensi yang dirancang hari ini, besok lusa bukan itu lagi yang dituntut pasar.
Data dari Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat menunjukkan, rata-rata lulusan perguruan tinggi di sana menjalani pergantian 10 macam job dari berbagai sektor yang sangat berlainan saat berumur 18-42 tahun, dua pertiganya dialami sebelum 27 tahun (Majalah Campus Asia Vol 3, N0 18, Oktober 2011).

Increasing knowledge creates more non knowledge and uncertainty, kata Roepke (2001). Makin banyak kita mengetahui hal-hal yang spesifik tentang obyek spesialisasi kita, makin kurang pengetahuan kita tentang laju proses secara utuh.

KBK dan SCL

Konsep student center learning (SCL), yang muasalnya mungkin dapat dilacak dari filsuf Paulo Freire, yang diperkenalkan dalam praksis pendidikan kita bersamaan dengan KBK, tampak kontra produktif. Mahasiswa dalam SCL diposisikan sebagai subyek aktif bersama-sama dengan dosen yang fasilitator menghadapi ”obyek pembelajaran”.

Posisi mahasiswa sebagai subyek sudah sesuai dengan konsep pendidikan liberal, tetapi obyek pembelajarannya adalah materi atau bahan ajar yang terbingkai (framed) dalam ”paket mata kuliah kemahiran berkarya”, yang bukan saja kaku dan tidak dapat dipilih, tetapi juga diramu sebagai ”pengetahuan eksplisit”, diramu sebagai pengetahuan vokasional, to do a particular job.

Pengetahuan macam ini sedikit sekali mengandung pengetahuan implisit yang memperkaya wawasan. Mungkin sudah saatnya kita kembali berefleksi meninjau ulang praksis KBK di lembaga pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar