Jumat, 21 Maret 2014

Model Islamisme Turki

Model Islamisme Turki

Arya Sandhiyudha  ;   Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
dari Fatih University, Istanbul, Turki
REPUBLIKA,  21 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Turki akhir-akhir ini sedang dilanda kegaduhan, Perdana Menteri Erdogan yang telah menjadi tokoh terpopuler dunia Muslim kini tengah mengonsolidasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di bawah kekuasaannya. Setidaknya itu hiruk-pikuk yang terus beredar dalam isu yang bergantian, namun selalu menjadi trending topic Twitter, sosial media yang juga katanya hendak dikendalikannya.

Apa pun alasan dan niat baik dari Erdogan, moga protes rakyat terhadap beberapa blunder yang dilakukannya tersebut tidak disikapi dengan emosional melalui pernyataan dan tindakan yang justru kian menemui pembenarannya.

Sebab, Turki adalah harapan dunia Muslim. Itu dirasakan sekali ketika Arab Spring bergulir, Turki seakan menjadi panutan di Timur Tengah dalam konteks kisah suksesnya menggabungkan Islam dan demokrasi selama satu dekade.

Saat Arab Spring belum membuahkan hasil yang diharapkan, justru Turki terlihat agak meredup sebagai sebuah model Islamisme. Tunisia justru terlihat berhasil, padahal gerakan An-Nahdhoh pimpinan Rashid Gannoushi awalnya banyak terinspirasi dari AKP Turki.

Betapapun demikian, hari ini Turki tetaplah menjadi inspirasi Islamisme di dunia untuk hal yang perlu dilakukan dan hal yang sebaiknya dihindari. Di antaranya, aturan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang ditu ding bertendensi ke arah otoritarianisme semoga tidak berlanjut di Turki dan tentulah jangan dilakukan oleh Islamisme manapun. Sebab, ini akan mengakhiri klaim Turki untuk menjadi model regional, juga akan menyudahi kisah sukses Islamis untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam bentuk inklusivitas dan integrasi ke persepsi nasional, demokrasi, dan globalisme.

Hal lain yang moga tidak berlanjut di Turki dan tidak perlu ditiru Isla mis manapun, yaitu terpancing dalam konflik yang menciptakan polarisasi masyarakat secara tajam. Hal ini dimulai sejak Juni 2013 saat protes Gezi direspons dengan kebrutalan polisi, ini akhirnya memicu protes nasional karena 11 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka.

Erdogan menggunakan sebuah retorika Islam untuk menutupi langkahnya dalam memperkuat konstituen yang konservatif. Erdogan mengklaim para demonstran Gezi menyerang seorang wanita yang mengenakan jilbab dan mengonsumsi alkohol di sebuah masjid.

Ragam bukti belakangan menunjukkan propaganda tersebut adalah palsu.
Hal yang perlu dilakukan oleh Islamis manapun adalah tidak membentuk polarisasi tajam di masyarakat hanya untuk memperkuat basisnya dengan mencitrakan diri sebagai pembela Muslim konservatif. Meskipun pada akhirnya akan berbuah kemenangannya dalam pemilihan presiden Agustus 2014, namun pluralitas sebuah bangsa akan koyak kalau masyarakat terbelah terlalu tajam.

Ada hal lain lagi yaitu kasus penyelidikan korupsi pada 17 Desember 2013 yang merupakan pukulan besar bagi citra Erdogan untuk maju menjadi presiden dengan kekuasaan yang superkuat. Pada kasus ini empat menteri kabinetnya harus mengundurkan diri karena tuduhan. Kemudian, Erdogan mendefinisikan skandal ini sebagai upaya kudeta yang dipentaskan oleh "negara paralel" dari gerakan Gulen. Ia mendeklarasikan "Perang Kemerdekaan", dan telah menjuluki semua orang dan pihak yang tidak setuju dengannya sebagai "pengkhianat" yang dikendalikan oleh gerakan Gulen.

Ini berbeda sekali dengan cara Islamis an-Nahdhah di Tunisia, saat ada kritik terhadap kinerja pemerintahan berkuasa dengan elegan dan konstitusional, lalu mereka membicarakan solusi bersama dengan rekan-rekan koalisinya, bahkan siap untuk menempuh jalur reshuffle dan pergantian kepala pemerintahan.

Memang ada psikologis yang mungkin berbeda dalam kasus Turki, ini dialami oleh partai berkuasa, namun cara Erdogan menyebut Fethullah Gulen sebagai "nabi palsu" dan pendukung larangan jilbab, serta memanggil pengikut gerakan Gulen itu sebagai mata-mata dan lain-lain, jika diteruskan memang benar-benar akan berpotensi merusak reputasi domestik juga internasional dari diri dan institusinya yang selama ini menjadi model Islamisme.

Erdogan sampai harus menunda investigasi korupsi, hingga melakukan reshuffle sekitar 8.000 polisi dan memerintahkan kepala polisi tidak mematuhi jaksa dan hakim dalam kasus-kasus korupsi baru. Menteri kehakimannya yang baru diberikan mandat mengambil alih otoritas Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa Penuntut Umum, serta mencabut izin ratusan jaksa. Semakin geger ketika tersangka kunci Reza Zerrab, yang diduga menyuap tiga menteri dan ditransfer miliaran dolar ke Iran, dibebaskan.

Meskipun retorika Erdogan tentang Islam efektif terhadap para pemrotes Gezi, namun ia tidak akan terlalu bermakna saat melawan gerakan Gulen yang memiliki kredibilitas baik di kalangan Muslim konservatif. Sekali lagi, ini hanya akan membuat Turki sebagai model Islamisme meredup, bukan seperti yang diharapkan oleh dunia Muslim.

Para penggemar Erdogan dan AKP, baik warga Turki maupun warga dunia, juga tentu berharap agar beliau bukan malah melanjutkan rencananya untuk melarang YouTube dan Facebook, namun ia dapat sedikit tenang dalam merespons. Kali ini, model Islamisme ala Tunisia dan Indonesia mungkin dapat dijadikan rujukan. Wallahu a'lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar