| Polri   dan Pemilu 2014Neta S Pane  ;     Ketua Presidium   Indonesia Police Watch | 
KOMPAS,  18 Maret 2014
| PEMILU   2014 sudah di depan mata. Amankah pelaksanaan peristiwa penting itu? Mampukah   Polri mengamankan Pemilu 2014? Meski sejauh ini tak ada tanda-tanda   mencemaskan, kekhawatiran terhadap keamanan Pemilu 2014 tetap bergayut.   Potensi ancaman keamanan di Indonesia sebenarnya sudah sejak empat tahun   lalu. Ada dua potensi, yakni meningkatnya tren permusuhan masyarakat dengan   polisi sebagai aparat penjaga keamanan dan kian berkembangnya konflik sosial   dalam dinamika kehidupan masyarakat di sejumlah daerah. Permusuhan   masyarakat dengan polisi kian memprihatinkan. Tren pertama terlihat dari   munculnya aksi perusakan dan pembakaran kantor polisi sejak 2010. Muncul pula   pengeroyokan terhadap polisi pada 2011. Anggota Polri yang hendak menangkap   bandar toto gelap bukannya dibantu masyarakat, malah dikeroyok hingga tewas. Terakhir,   pada 2013, berkembang tren penembakan terhadap anggota polisi. Tragisnya tak   satu pun pelaku penembakan itu bisa ditangkap Polri. Para polisi korban   penembakan misterius itu seperti dibiarkan oleh institusinya mati konyol.   Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa diharapkan dari polisi untuk menjaga   keamanan masyarakat? Menjaga keamanan diri dan kantornya saja tak mampu.   Fakta inilah yang kerap membuat masyarakat cemas. Krisis kepercayaan terhadap   polisi kian menyeruak. Kondisi   ini kian mencemaskan tatkala masyarakat di hadapkan pada tahun politik 2014.   Dua kasus penembakan terhadap kader partai di Aceh tak kunjung terungkap oleh   polisi. Begitu juga teror terhadap kader partai di Sulsel yang terbiarkan.   Wajar jika berbagai kalangan, termasuk intelijen di luar Polri, bertanya:   mampukah Polri menjaga keamanan Pileg dan Pilpres 2014? Memanasnya   suhu politik terasa sejak 2013. Dari 33 provinsi di Indonesia, 27 provinsi   dilanda konflik sosial. Di tahun politik 2014, potensi konflik sosial ini   perlu serius dicermati karena konflik sosial pada 2013 naik 23,7 persen   dibandingkan dengan pada 2012. Di sepanjang 2013 terjadi 153 konflik sosial   di Indonesia berupa tawuran, bentrokan massa, dan kerusuhan akibat pilkada.   Sebanyak 203 orang tewas, 361 orang luka, 483 rumah dirusak, dan 173 bangunan   lain dibakar. Pada   2012, 154 orang tewas dan 217 orang luka akibat konflik sosial. Dari jumlah   itu, 1 anggota TNI dan 2 anggota Brimob tewas, 6 anggota TNI dan 6 polisi   luka. Maraknya penembakan misterius juga satu indikator potensi ancaman pada   2014. Pada 2013, ada 52 kasus penembakan misterius. Januari-Februari 2014 ada   12 kasus penembakan. Sasaran penembakan bukan hanya warga dan fasilitas   publik, melainkan juga polisi dan fasilitas partai politik. Aksi   teror bom molotov marak pula di Sleman, DI Yogyakarta. Dari 15 Desember 2013   hingga Februari 2014 sudah enam kasus. Terakhir, pada 24 Februari 2014, rumah   wartawan Radar Jogja di Jalan Raya Magelang dilempar bom molotov oleh orang   tak dikenal. Kasus ini dibiarkan Polda DIY tanpa ada upaya menghentikan dan   menangkap pelakunya. Jika kasus ini meluas, situasi kamtibmas pada tahun   politik 2014 bisa terganggu. Polri kedodoran Berbagai   upaya sudah dilakukan Polri untuk mengamankan Pemilu dan Pilpres 2014. Di   Jakarta, misalnya, Polri sudah melakukan berbagai simulasi untuk pengamanan   tahun politik 2014. Dari kesiapan Polri selama ini, Indonesia Police Watch   menilai Polri masih akan kedodoran mengamankan tahun 2014. Ada dua   indikasi. Pertama, anggota Polri sebanyak 400.000 orang, sementara TPS   520.000. Kedua, jajaran kepolisian di daerah belum sungguh-sungguh   mempersiapkan sistem pengamanan tahun 2014. Di Sleman, misalnya, kasus bom   molotov dibiarkan. Begitu juga di Jakarta, kasus penembakan terhadap polisi   seakan-akan terlupakan. Secara psikologis, hal ini akan meruntuhkan semangat   jajaran bawah kepolisian untuk bekerja maksimal. Mereka akan merasa   terbiarkan oleh institusi dan kematiannya dalam menjaga keamanan seakan   sia-sia. Polri   perlu benar-benar melakukan konsolidasi. Kasus-kasus kecil harus cepat   ditangani dan dituntaskan. Polri jangan membi- arkan ”telur menetas jadi   naga”. Polri jangan bertindak sebagai pemadam kebakaran, bertindak setelah   kobaran api membesar. Deteksi dini sesuatu yang mutlak sehingga peningkatan   kinerja intelijen dan Babinkamtibmas tak bisa ditawar-tawar lagi. Dialog   dengan tokoh masyarakat di daerah potensi konflik harus intensif dan   simultan. Pihak yang melakukan teror penembakan di Aceh dan Jakarta serta   teror bom molotov di Sleman harus segera ditangkap dan diusut Polri. Mabes   Polri jangan ragu-ragu mencopot kapolda dan kapolres yang tak becus dan ragu-   ragu bertindak. Apa pun risikonya, menjaga situasi kamtibmas yang kondusif di   Pemilu dan Pilpres 2014 adalah harga mati. Pemilu bersih Bicara   pemilu bersih tak hanya bicara kecurangan atau netralitas Polri di Pemilu dan   Pilpres 2014. Pemilu bersih tak terlepas dari keberadaan aparat keamanan,   dalam hal ini Polri sebagai institusi yang diamanatkan UUD 1945 untuk menjaga   keamanan bagi segenap Bangsa Indonesia. Di   Pemilu 2004, netralitas Polri sempat terganggu. Sejumlah elite Polri terjebak   dalam aksi dukung-mendukung terhadap salah satu kontestan pemilu, baik secara   terbuka maupun tertutup. Di beberapa kantor polisi ditemukan kaus salah satu   partai politik. Sikap tidak netral ini sempat disoroti banyak pihak waktu   itu. Situasi   Pemilu 2014 sudah berubah dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Kini tak ada   euforia, tak ada suasana sentimentil, dan tak ada alasan bagi elite tertentu   di Polri melakukan balas budi politik atau mendukung dan berpihak pada partai   politik tertentu. Situasi politik saat ini menuntut netralitas dan kinerja   profesionalisme Polri secara konsisten dan utuh. ● | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar