| Rezim   Hukum Negara KepulauanNugroho Wisnumurti  ;     Mantan Dubes RI untuk   PBB di New York dan Geneva | 
KOMPAS,  18 Maret 2014
| BARU-baru   ini Prof Dr Hasjim Djalal memperingati ulang tahun ke-80. Ulang tahunnya   dirayakan dengan meriah di Jakarta disertai peluncuran biografi Patriot Negara Kepulauan. Peristiwa   itu menghidupkan kembali kenangan mengenai perjuangan Indonesia yang panjang   dan penuh tantangan hingga berhasil mendapat pengakuan internasional terhadap   rezim hukum tentang negara kepulauan. Perjuangan   RI dimulai dengan Deklarasi Djuanda, tahun 1957. Di sana ditetapkan bahwa   laut wilayah RI adalah 12 mil laut yang ditarik dari garis-garis pangkal   lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Adapun   perairan di sebelah dalam garis pangkal ini merupakan laut pedalaman di bawah   kedaulatan RI dengan hak lintas damai untuk kapal-kapal asing. Deklarasi ini ditindaklanjuti   dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 4/1960 tentang   Perairan Indonesia dan PP No 8/1962 tentang Lalu Lintas Laut Damai Kendaraan   Air Asing dalam Perairan Indonesia. Deklarasi   Djuanda 1957 merupakan terobosan sangat penting di bidang hukum, politik,   ekonomi, budaya, integritas wilayah negara, dan keutuhan bangsa Indonesia.   Hal itu tak lepas dari kontribusi dan peranan sangat menentukan dari Perdana   Menteri Djuanda Kartawidjaja, Menteri Veteran Chaerul Saleh, dan pakar hukum   laut Dr Mochtar Kusumaatmaja. Adalah   Mochtar Kusumaatmadja, selaku anggota panitia nasional mengenai wilayah RI,   yang mengusulkan diterapkannya prinsip garis dasar lurus yang ditarik dari   titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar RI. Tampaknya usul itu   terinspirasi oleh keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951 tentang   penerapan prinsip garis pangkal lurus, tetapi untuk kepulauan pantai suatu   negara pantai (coastal archipelago).   Inspirasi lain mungkin datang dari keputusan Pemerintah Filipina dalam Note   Verbale, Maret 1955, yang menegaskan semua perairan di antara dan yang   menghubungkan pulau-pulau Filipina adalah bagian dari laut pedalaman dan ada   di bawah kedaulatan Filipina. Perjuangan diplomasi Deklarasi   Djuanda 1957 langsung ditolak, terutama oleh negara-negara maritim besar   seperti Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, juga oleh Belanda dan   Australia. Mereka mengecam dan menolak Deklarasi Djuanda karena penutupan   laut di antara pulau-pulau Indonesia itu dianggap bertentangan dengan hukum   internasional tentang kebebasan pelayaran. Perjuangan   tahap pertama Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasional terhadap   rezim kepulauan adalah di Konferensi Hukum Laut (1958) di Geneva, Swiss.   Ketua Delegasi RI adalah Achmad Soebardjo, Dubes RI di Bern, dan Mochtar   Kusumaatmadja sebagai pakar hukum laut yang memperkuat delegasi RI.   Perjuangan ini belum berhasil karena ditentang keras masyarakat   internasional, terutama negara-negara maritim besar. Tahap kedua perjuangan   RI adalah di Konferensi Hukum Laut II pada 1960 di Geneva yang juga menemui   kegagalan. Perjuangan   Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasional mendapat momentum baru   setelah PBB menyelenggarakan Konferensi Ketiga tentang Hukum Laut, 1973.   Tujuan konferensi yang digerakkan oleh Dubes Arvid Pardo, Wakil Tetap Malta   di PBB di New York, semula bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya   mineral di dasar laut di luar yurisdiksi nasional yang dinyatakan sebagai   common heritage of mankind. Pada akhirnya konferensi ini juga akan meninjau   kembali konvensi-konvensi Geneva tahun 1958 tentang laut wilayah, laut lepas,   perikanan, dan landas kontinen. Selain   itu, konferensi akan membuat rezim hukum baru mengenai sumber daya hayati di   luar yurisdiksi nasional (kemudian menjadi ZEE) dan masalah yurisdiksi di   selat yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional. Berkat   perjuangan Indonesia dan Filipina, rezim hukum tentang negara kepulauan   akhirnya masuk dalam agenda konferensi. Perjuangan   diplomasi Indonesia di babak ketiga ini cukup panjang dan penuh tantangan,   dari Indonesia menjadi anggota Komite Persiapan (dikenal dengan nama   singkatannya Seabed Committee)   tahun 1970-1973, kemudian di Konferensi Ketiga tentang Hukum Laut tahun 1973,   hingga diadopsinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 1982. Pada 22 Maret   1971, Delegasi RI ke Komite Persiapan pada sidang di Geneva yang diketuai   oleh Umarjadi Nyotowijono selaku Wakil Tetap RI untuk PBB di Geneva, dan Dr   Mochtar Kusumaatmaja sebagai wakil ketua, mengajukan kembali konsep negara   kepulauan. Dalam perjuangan selanjutnya Indonesia berkolaborasi dengan   Filipina, Fiji, dan Mauritius (kelompok negara kepulauan) dengan mengadakan   berbagai konsultasi dan perundingan, baik interen maupun dengan negara-negara   lain pada tingkat bilateral dan multilateral. Perjuangan dilanjutkan di   Konferensi Hukum Laut itu sendiri. Sidang substantif yang pertama berlangsung   di Caracas, Venezuela, selama 3 bulan, sidang konferensi internasional   terpanjang dalam sejarah modern. Penggalangan   dukungan juga dilakukan di berbagai forum di luar Komite Persiapan, seperti   di Asia-Africa Consultative Committee  (AALCC), Kelompok 77 (kelompok negara berkembang), ASEAN, dan pengiriman   misi-misi khusus RI ke sejumlah negara. Upaya-upaya ini terus digiatkan   bersamaan dengan negosiasi-negosiasi dan kegiatan lobi di sidang-sidang   Konferensi Ketiga Hukum Laut. Upaya yang sangat menentukan adalah serangkaian   negosiasi bilateral dengan negara-negara tetangga dan negara-negara maritim   besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Australia. Perundingan   dengan Malaysia mengenai hak pelayaran antara Malaysia Timur dan Malaysia   Barat yang akan ”terpotong” oleh perairan Kepulauan Indonesia dan mengenai   hak-hak Malaysia yang sudah ada yang akan tertutup oleh perairan Kepulauan   Indonesia. Perundingan dengan Singapura dan Thailand mengenai hak perikanan   tradisional dan hak pelayaran melalui perairan Kepulauan Indonesia. Melalui   perundingan alot dengan Malaysia akhirnya disepakati Perjanjian RI-Malaysia   pada 1982. Malaysia mengakui rezim negara kepulauan yang diperjuangkan   Indonesia dan Indonesia mengakui hak-hak Malaysia yang sudah ada di perairan   Kepulauan Indonesia. Kepentingan-kepentingan Singapura dan Thailand sudah   terakomodasi dalam rezim hukum negara kepulauan dalam konvensi. Perundingan   dengan negara-negara maritim besar yang diwakili Amerika Serikat dan Uni   Soviet juga sangat alot. Perundingan terfokus pada ketentuan- ketentuan   tentang hak pelayaran kapal asing melalui alur laut di perairan kepulauan,   hak-hak negara kepulauan di alur laut, dan kewajiban-kewajiban kapal asing   yang lewat untuk menghormati kedaulatan dan melindungi kepentingan negara   kepulauan. Perundingan terakhir pada Maret 1977 di New York, antara delegasi   terbatas RI yang dipimpin oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja dan delegasi   terbatas AS yang dipimpin Duta Besar Elliot L Richardson, mantan Jaksa Agung   AS. Perundingan yang sangat tegang itu akhirnya membuahkan kesepakatan   terakhir mengenai beberapa masalah krusial. Ketentuan-ketentuan yang   disepakati tersebut melengkapi ketentuan-ketentuan lain mengenai rezim hukum   negara kepulauan, yang akhirnya disetujui oleh konferensi. Perlu orientasi ke laut Keberhasilan   diplomasi dan perundingan Indonesia ini tidak bisa dicapai tanpa adanya upaya   kolektif yang sistematis dan integral. Perjuangan juga tak mungkin berhasil   tanpa dukungan konsensus nasional yang dicapai melalui peranan Panitia   Koordinasi Wilayah Nasional (Pankorwilnas) yang mengoordinasikan semua   instansi pemerintah dan pihak-pihak lain pemangku kepentingan. Adapun posisi   delegasi RI dan Departemen Luar Negeri menjadi ujung tombak dalam   perundingan-perundingan. Dengan   diakuinya rezim negara kepulauan, yang telah menambah luas perairan Indonesia   secara signifikan, membuka peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkannya demi   pembangunan nasional. Pembangunan nasional saat ini lebih berorientasi ke   darat. Sudah waktunya pemerintah yang baru nanti melengkapinya dengan   pembangunan yang berorientasi pada laut dengan strategi dan kebijakan yang   integral, baik menyangkut pelayaran, pemanfaatan laut dari segi sumber daya   hayati dan nabati, lingkungan maritim, maupun penelitian ilmiah kelautan. Untuk   itu, perlu dibentuk badan nasional seperti Pankorwilnas, tetapi dengan   cakupan yang lebih komprehensif, bukan hanya terbatas pada masalah   kewilayahan. Badan nasional ini seyogianya berada di bawah presiden. Ini   merupakan tantangan yang perlu dihadapi oleh Pemerintah RI yang baru. ● | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar