Jumat, 21 Maret 2014

Rakyat yang Gagal Dipunahkan

Rakyat yang Gagal Dipunahkan

Bisma Yadhi Putra  ;   Koordinator Komunitas Butuh Irigasi
OKEZONENEWS,  21 Maret 2014
                                            
                                                                                         
                                                      
PASTI sebuah negara akan dilawan jika—melalui kebijakan-kebijakan yang dirumuskan elite-elite pengelolanya—coba mengatur kehidupan rakyatnya secara berlebihan. Negara dihadang agar tak merasuk hingga ke dalam ruang privasi, seperti masalah sepele soal sikap duduk wanita ketika berboncengan di sepeda motor. Atas nama “hak demokratis individu”, rakyat akan menolak keleluasaan pribadi mereka “diusik”.
   
Namun apa jadinya ketika pasar yang dibangun kapitalisme (saudara kandung demokrasi) mencoba menguasai rakyat hingga ke lekuk-lekuk tubuh terkecil? Membangun perlawanan? Kalau mau dijawab secara jujur, akan didapati kesimpulan betapa rakyat “rela” bersujud di telapak kaki pasar. Inilah penguasaan atas hasrat manusia. Rakyat, “masyarakat pemakan” yang diformat kapitalisme, menikmati penguasaan itu.
   
Ada seorang gadis. Setiap kali saya mengomentari tulisan-tulisannya di facebook, dia membalas dengan penuh hangat. Suatu ketika dia menulis kebingungannya dalam memilih baju terbaru. Ada beragam model, warna, hingga kualitas bahan. Saya menanggapi hanya dengan dua kata: consumeristic society. Dan teman manis itu, mungkin tersinggung dan kesal, tidak menghangati saya seperti biasa.

Begitu banyak orang, baik teman dekat maupun yang belum saya kenal, seperti itu. Betapa menyedihkan ketika harus kehilangan teman-teman hanya karena menyebut dengan jujur bahwa mereka adalah masyarakat pemakan. Yang coba mendaratkan mereka dari penghanyutan rayuan zaman akan dilawan. Negara tampaknya harus iri dengan realitas ini: pasar tidak dilawan ketika coba menaklukkan rakyat.

Sebelum memproduksi komoditi, kapitalisme memproduksi keseragaman. Rakyat, dengan keberagamannya (suku, budaya, atau agama), adalah adonan yang diolah untuk agar menjadi manusia berpola hidup seragam, yakni konsumtif. Masyarakat tradisional yang tadinya memiliki kedalaman (deepness), kemudian tujuan dan kepuasan hidupnya didangkalkan menjadi sekadar mampu memenuhi hasrat belanja. Begitulah puncak hidup yang hendak dibentuk kapitalisme.

Maka kebebasan penuh yang diagung-agungkan adalah menjadi omong kosong. Kebebasan bukan hanya soal hak milik pribadi. Termasuk pula kebebasan dalam menentukan pilihan. Dan kapitalisme mempersempit kebebasan. Yang diciptakan bukan kebebasan untuk “membeli atau tidak”, melainkan bebas “membeli yang mana dan seberapa banyak”. Rakyat kemudian menjadi raksasa yang merasa cukup dengan jargon “bebas dan berdaulat”. Dibuai predikat-predikat fantastis yang tak punya kaitan logis dengan kondisi hidup mereka.

Pada tahap puncak penguasaan hasrat, rumus yang berlaku: semakin cepat mulut konsumen mengunyah, maka pasar akan semakin terpacu meningkatkan jumlah dan kreatifitas produksinya. Ini positif karena dapat memunculkan banyak pilihan. Namun bisa berimplikasi negatif ketika kecepatan produksi menghadirkan sebuah perlombaan siapa paling terlihat mewah di kalangan rakyat.

Pelenyapan yang gagal

Pasar memiliki struktur. Salah satunya adalah “pemakan rutin”, yakni manusia-manusia (rakyat) yang hasrat materialistisnya sudah dikuasai dan dikelola dengan baik melalui penawaran berbagai komoditi menarik terbaru. Ketika seseorang menjadi konsumtif—sehingga merasa bersalah jika tidak mengonsumsi kreasi-kreasi terbaru pasar—maka statusnya sebagai “rakyat”, dalam pandangan saya, sudah terkupas. Dia menjadi pasar. Dengan “sukarela” rakyat berbondong-bondong menjadi pasar. Pasar butuh pemakan produk yang semakin banyak agar dapat membesarkan dirinya.

Semakin besar pasar akibat semakin banyak manusia konsumtif, maka semakin kecil postur kuantitatif rakyat. Seandainya semua orang dalam sebuah negara hasratnya bisa dikendalikan pasar, maka rakyat telah lenyap dari negara tersebut. Rakyat melebur ke dalam pasar, menjadi struktur puncak operasinya. Kapitalisme hendak memunahkan rakyat sehingga hanya menyisakan pasar dan negara. Beban pasar (perusahaan-perusahaan kaum kapitalis) dalam membayar upeti (pajak) kepada negara ditanggung “rakyat” sebagai substruktur.

Namun tidak perlu takut, sebab kapitalisme selalu gagal dengan kontradiksi internalnya. Tidak mungkin rakyat punah! Saya kutip sepenggal kalimat menarik dari Radhar Panca Dahana: “Kemiskinan adalah kewajiban dalam kapitalisme”. Muncul pertanyaan sederhana: jika kemiskinan adalah keniscayaan kapitalisme, bagaimana rakyat dipunahkan? Mereka yang miskin akan tersisa sebagai rakyat. Mereka tidak mampu menjadi masyarakat pemakan karena tak punya daya beli yang tinggi.

Sebab kapitalisme tak mungkin membuat semua orang menjadi berkecukupan (dalam level minimal) atau kaya raya (dalam level maksimal), maka tak mungkin semua orang dibuat menjadi masyarakat pemakan. Dengan mengerucutnya rakyat, gerakan perlawanan terhadap kapitalisme akan melemah.

Hanya saja saya meyakini, yang mengalami keterbatasan daya beli belum tentu tak ingin menjadi masyarakat pemakan. Anak-anak muda dalam keluarga miskin tetap memiliki hasrat mengikuti beragamnya penawaran pasar. Lauk di rumah boleh ikan asin, tetapi perkembangan style terus diikuti, rokok tetap dua bungkus sehari, smartphone keluaran terbaru tak akan dilewati.

Mendepak kapitalisme

Maka bukan pasar yang harus ditakuti, tetapi kita sendiri. Bukan media dengan tayangan tidak mendidik, tetapi kita sendiri sebagai manusia dewasa. Kita adalah subjek yang menentukan mau menjadi konsumtif atau tidak, mau menonton tayangan sampah atau tidak. Kita seharusnya memiliki kedaulatan untuk menjawab “ya atau tidak”, bukan “ini atau itu”.

Apa solusinya untuk menghadang rayuan maut peradaban mutakhir ini? Masyarakat Timur sebenarnya punya satu senjata ampuh, yang mungkin akan ditertawakan oleh mereka yang dangkal perenungannya terhadap esensi hidup, yakni bersyukur. Tahu bersyukur adalah pembentuk gaya hidup sederhana. Maka kalau tidak mau dipunahkan pasar, rakyat harus membangun gerakan hidup sederhana.

Kalau esensi memakai baju adalah agar tidak kedinginan, maka kemeja dan jaket sederhana cukup bagiku. Tidak perlu membeli baju seharga Rp500.000. Uang “sebesar” itu cukup untuk membeli lima puluh bungkus nasi yang bisa dibagikan kepada para fakir miskin untuk makan siang mereka. Kalau masih bisa menulis dengan Dell butut ini, buat apa aku menguras tabungan untuk membeli Apple terbaru? Kalau makan siang dengan tempe goreng bikinan mamaku bisa menghasilkan energi prima, buat apa aku membeli KFC?

Apa adanya saja. Syukuri yang dimiliki. Kita bisa melawan kapitalisme—yang terus mendorong umat manusia agar menjadi konsumtif—dengan banyak-banyak bersyukur. Ini hal kecil yang begitu berat dilakukan.
   
Jika agama (apa pun itu) memang memusuhi kapitalisme, langkah minimal yang harus ditempuh adalah membangun umat yang keras kepala terhadap rayuan materialistis. Umat akan mengejek perilaku hidup boros. Sebenarnya ini sederhana, langkah sepele, tetapi menjadi solusi yang berat diterapkan di zaman penuh seduksi materialistis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar