Kamis, 20 Maret 2014

Sabotase Birokrasi

Sabotase Birokrasi

Wawan Mas’udi  ;   Dosen di Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
KOMPAS,  21 Maret 2014
                         
                                                                                         
                                                      
NETRALITAS politik birokrasi adalah mitos. Kenyataannya, birokrasi adalah faksi politik yang sangat aktif memihak dan memperjuangkan agenda dan kepentingannya sendiri. Sebuah agenda yang seringkali berlawanan dengan visi demokratisasi pemerintahan, yaitu penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang tak korup.

Benar bahwa struktur birokrasi di bawah kekuasaan kepemimpinan politik. Namun, birokrasi cenderung hanya akan ”loyal” dan ”kolaboratif” terhadap kepemimpinan politik yang memiliki agenda dan kepentingan sejalan, yang sayangnya bersifat anti penguatan pelayanan publik dan anti pemerintahan yang bersih dan jujur.

Berbagai kasus korupsi dan suap yang terungkap menunjukkan betapa kolaborasi jahat antara pemimpin politik dan birokrasi telah menghancurkan harapan akan pemerintahan yang sehat dan bertanggung jawab. Kasus Hambalang, SKK Migas, Pemprov Banten, dan ratusan lainnya, secara gamblang, menunjukkan betapa persekongkolan jahat antara birokrasi dan politisi sudah menjadi kanker ganas di tubuh demokrasi Indonesia.

Sebaliknya, terhadap kepemimpinan yang membawa agenda demokratisasi pemerintahan, niscaya birokrasi akan mengambil jalan ”melawan” dengan berbagai strategi sabotase. Kasus terkini di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa agenda penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang baik, secara terus-menerus, disabotase oleh elemen-elemen birokrasi yang mulai terganggu kepentingannya akibat agenda tersebut. Kecurangan dalam pengadaan bus transjakarta, penyimpangan pemanfaatan rumah susun, permainan lelang kepala sekolah, perlawanan lelang jabatan, dan manipulasi penyusunan anggaran adalah bentuk sabotase atas agenda reformasi birokrasi yang sedang diupayakan oleh kepemimpinan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.

Birokrasi melakukan sabotase karena langkah membangun pelayanan publik yang kuat dan pemerintahan yang bertanggung jawab mengganggu ”zona nyaman” yang selama ini mereka nikmati. Praktik-praktik ketidaksungguhan dalam pelayanan dan penyimpangan anggaran memang jadi tradisi birokrasi, bukan hanya di pemerintahan DKI Jakarta, melainkan juga merata di berbagai instansi birokrasi pemerintahan di pusat dan daerah.

Kuasa politik birokrasi

Kecenderungan perlawanan birokrasi terhadap agenda demokratisasi pemerintahan bersumber dari karakter kuasa politik yang melekat dalam proses formasi dan perkembangan struktur birokrasi pemerintahan negeri ini. Sejarah birokrasi Indonesia adalah sejarah tentang alat politik dan tentang dominasi kekuasaan pemerintahan.

Sebagai alat politik, birokrasi pemerintahan di Nusantara dibentuk pertama kali oleh rezim Hindia Belanda sebagai kepanjangan tangan agenda-agenda kolonialisme. Birokrasi bukan merupakan struktur yang dibentuk untuk mengelola dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduk sebagai warga negara kolonial.

Logika berpikir semacam ini lebih kurang diadopsi selama pemerintahan Orde Baru, di mana birokrasi lebih berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menguasai masyarakat daripada sebagai institusi yang sungguh- sungguh disusun untuk memproduksi pelayanan publik. Dengan jadi alat rezim, birokrasi memiliki legitimasi sebagai aktor pemerintahan yang dominan dan kuat, yang menjadikan dirinya lebih sebagai patron daripada pelayanan bagi masyarakat.

Sebagai aktor yang mendominasi pemerintahan, birokrasi memiliki kuasa atas fungsi-fungsi pemerintahan. Termasuk di dalamnya pelayanan publik dan penyelenggaraan anggaran publik.

Kekuasaan pemerintahan tersebar dalam berbagai detail kewenangan yang menjadi ranah bekerjanya birokrasi. Dengan kekuasaan terhadap detail kewenangan (termasuk data dan informasi kebijakan), aktor-aktor birokrasi menjelma jadi pemegang kekuasaan strategis, mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi kebijakan publik.

Sayangnya, kekuasaan tersebut selama ini cenderung digunakan untuk melayani kepentingan partikular kelas elite kekuasaan maupun memanfaatkannya untuk memenuhi kepentingan sendiri kaum birokrat. Postur birokrasi yang terbangun pada akhirnya tak sejalan dengan semangat imparsialitas dan mengedepankan pelayanan publik. Akibatnya, terjadi disfungsi pelayanan publik yang akut dan pemerintahan yang tidak efektif.

Gagasan reformasi birokrasi ditujukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi dasar birokrasi sebagai pengelola pelayanan publik dan mendorong lahirnya pemerintahan yang efektif. Gagasan semacam ini secara frontal menyerang fondasi mentalitas kuasa politik birokrasi yang terbiasa dengan praktik permainan kewenangan dan sumber daya untuk keuntungan diri sendiri maupun kelas elite kekuasaan.

Dalam kasus DKI Jakarta, sabotase mulai dari yang bersifat terang-terangan (menolak lelang jabatan), pengabaian (kosongnya kantor pelayanan ketika ada inspeksi gubernur), dan akal-akalan dalam implementasi (seleksi kepala sekolah dan lelang bus transjakarta). Itu semua dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan politik birokrasi.

Pentingnya tekanan publik

Publik harus menyadari, perlawanan birokrasi tersebut bukan sekadar terhadap kepemimpinan politik yang mengusung perubahan. Lebih mendasar adalah perlawanan terhadap gagasan untuk memotong mentalitas sebagai penguasa yang menjadi norma dasar birokrasi pemerintahan Indonesia.

Jika pada masa lalu tekanan dan mobilisasi publik berhasil mengakhiri kekuasaan pemimpin rezim, maka kini tekanan publik perlu dibangkitkan kembali untuk memberikan dukungan terhadap kepemimpinan politik yang bertujuan mengikis mentalitas kuasa birokrasi, dan mentransformasikannya menjadi ujung tombak layanan publik yang imparsial dan pemerintahan yang efektif. Tanpa tekanan publik yang berarti, niscaya elemen-elemen birokrasi yang melakukan sabotase terhadap inisiatif-inisiatif reformasi akan semakin percaya diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar