Kamis, 20 Maret 2014

Takdir dan Kekuasaan

Takdir dan Kekuasaan

Junaidi  ;   (Tidak terdapat penjelasan)
HALUAN,  21 Maret 2014
                         
                                                                                         
                                                      
Indak dapek sarimpang padi,  batuan dibalah kaparaku, indak dapek bakandak hati, kandak Allah nan balaku.   Keinginan untuk memiliki kekuasaan adalah salah satu di antara sekian banyak keinginan manusia. Bahkan tidak saja sebatas keinginan, tapi kekuasaan dalam beberapa teori motivasi juga dipandang sebagai salah satu kebutuhan manusia. Dalam teori motivasi Mc Clelland (1917-1998) misalnya, ada tiga kebutuhan yang menjadi pendorong manusia dalam berbuat, salah satu di antaranya adalah kebutuhan akan kekuasaan (need for power).

Dalam teori hirarki kebutuhan Maslow (1908-1970), juga dikemukakan bahwa di antara yang menjadi pendorong manusia dalam berbuat adalah kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) dan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri (self actualization). Kedua kebutuhan yang dikemukakan Maslow tersebut juga sangat berkaitan erat dengan kebutuhan manusia terhadap kekuasaan.

Bahkan pula, manusia tidak saja menginginkan dan membutuhkan kekuasaan, tapi juga cenderung untuk terus mempertahankan kekuasaan. Seperti ungkapan Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya L’esprit Des Lois (1748) bahwa orang yang berkuasa memiliki tiga kecenderungan, yakni kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan, memperluas kekuasaan, dan memanfaatkan kekuasaan.

Karena adanya kebutuhan manusia terhadap kekuasaan (need for power), maka berbagai upaya selalu dilakukan manusia untuk memperoleh kekuasaan. Mulai dari kekuasaan dalam lingkup yang kecil hingga kekuasaan dalam lingkup yang besar. Upaya itu terkadang tidak saja dila­kukan secara individu tapi juga secara “berjama’ah”. Karena itu, dalam upaya memperoleh kekuasaan dalam skala yang lebih besar, biasanya selalu dibutuhkan tim sukses yang solid dan siap bekerja keras.

Tapi, segigih apapun usaha manusia untuk memperoleh kekuasaan, sehebat apapun tim suksesnya, sebanyak apapun modal finansial untuk meyokongnya, ternyata kekuasaan tidak semata-mata ditentukan oleh itu semua. Dalam perspektif Islam, kekuasaan adalah salah satu bentuk pemberian Allah kepada orang yang dikehendakiNya.

Marilah kita cermati firman Allah SWT dalam surat Ali Imran  ayat 26: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Dalam ayat di atas, Allah dengan tegas mengatakan bahwa Dialah yang memberi kekuasaan kepada orang yang Dia kehendaki dan Dia pula yang mencabut kekuasan dari orang yang Dia kehendaki. Karena itu, di samping diperintahkan untuk selalu bekerja keras, berusaha dengan gigih meraih cita-cita dan harapan, serta selalu berdo’a dan bertawakkal, umat Islam juga diperintahkan untuk percaya kepada takdir Allah SWT. Dialah yang menetapkan hasil usaha manusia, apakah berhasil atau tidak, sukses atau gagal, menang atau kalah.

Tidak saja Islam yang mengajarkan untuk beriman pada takdir (qadha dan qadar), tapi adat Minangkabau yang berlandaskan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) juga mengajarkan pentingnya orang Minang untuk percaya kepada takdir-Nya. Petatah-petitih Minang seperti terdapat di awal tulisan di atas merupakan salah satu bentuk pengajaran tentang betapa pentingnya mengimani takdir Allah SWT.

Kesadaran bahwa kekuasaan adalah pemberian Allah SWT, kehendak atau takdir-Nya terhadap orang yang Dia kehendaki adalah sangat penting untuk dimiliki. Bagi orang yang berhasil memperoleh kekusaan, kesadaran ini tentu bisa menghindarkan dirinya dari sifat takabbur atau sombong serta menumbuhkan sikap tawaddu’ dan perasaan selalu bersyukur kepada Allah. Mereka menyadari bahwa di atas kekuasaan yang mereka miliki masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. “di atas langit masih ada langit”.

Bagi mereka yang tidak atau belum berhasil memperoleh kekuasaan, meng­imani takdir kekuasaan juga sangat bermanfaat untuk menghindarkan diri dari sikap putus asa. Gagal, kalah, atau belum berhasil memang bukanlah sesuatu yang diinginkan orang. Tapi, bagi mereka yang gagal, kalah atau belum berhasil tetap harus berjiwa besar menerima kenyataan. Sebab, boleh jadi itulah yang terbaik menurut Allah SWT bagi mereka untuk saat ini.

Kata orang bijak, “Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi Dia memberikan apa yang kita butuhkan”. Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 216 Allah juga mengingatkan: “boleh jadi Kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu”. Karena itu pula, pituah Minang juga mengajarkan: “manih jan capek dilulua, paik jan capek dimuntahkan”.

Mengimani takdir kekuasaan juga menyadarkan kita bahwa kekuasaan itu sifatnya tidak abadi, hanya sementara, selama Allah menghendaki. Bila Allah ingin mencabut kekuasaan dari seseorang, maka tidak ada satupun manusia yang bisa menghalangi. Sebaliknya bila Allah ingin memberikan kekuasaan kepada seseorang, maka juga tidak ada orang yang bisa menghalangi. Karena itu, bagi mereka yang berhajat terhadap kekuasaan, sejatinya hanya kepada Allah SWT meminta pertolongan, bukan kepada yang lain, apalagi kepada dukun.

Ketidakabadian kekua­saan, apalagi kekuasaan pemerintahan yang sudah jelas batas waktunya, tentu bisa menjadi salah satu “penghibur diri” bagi mereka yang kalah memperebutkan kekuasaan. Meski hari ini kalah atau gagal mem­-peroleh kekuasaan, tapi mungkin hari esok berhasil memperoleh kekuasaan. Allah SWT sendiri sudah menjanjikan bahwa Dia akan mempergilirkan kekua­saan itu kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Seba­gaimana firman Allah: “Dan masa (kejayaan dan kehan­curan) itu, Kami pergilirkan di antara manu­sia (agar mereka mendapat pelajaran)” (QS. Ali Imran ayat 140).

Mengimani takdir ke­kua­saan juga menyadarkan kita bahwa nasib dan jalan hidup manusia bisa berubah sesuai kehendak-Nya. Betapa ba­nyak pula para pemimpin besar yang memililiki kekua­saan besar pada mulanya hanyalah orang-orang biasa yang tidak terlalu terkenal. Tapi dengan kehendak Allah, akhirnya menjadi pemimpin hebat, penguasa yang dise­gani dan dihormati. Allah tidak saja memberi kekua­san kepada orang yang Dia kehendaki, tapi juga me­muliakan orang yang Dia kehendaki.

Dengan tidak bisa dite­baknya masa depan dan jalan hidup manusia, maka di sinilah perlunya meng­hargai setiap bentuk manu­sia. Sebab, boleh jadi mereka yang hari ini orang biasa-biasa saja, tapi mungkin esok ia ditakdirkan menjadi orang hebat yang berkuasa. Kata guru-guru di sekolah, “Hari ini mungkin hanya Si Budi yang lugu, tapi esok mungkin saja seperti Bu­diono, wakil presiden yang perlu ditiru”. Nasib manusia siapa yang tahu!

Tapi sebaliknya, Allah tidak saja memberi kekua­saan kepada orang yang Ia kehendaki serta memulia­kan orang yang Dia kehen­daki, Allah juga mencabut kekua­saan dari orang yang Ia kehendaki dan meng­hinakan orang yang Ia kehendaki. Betapa banyak para pemim­pin yang memi­liki kekua­saan yang sangat besar, berkuasa selama berpuluh-puluh tahun, menjadi pe­mim­pin yang disegani, di­hormati, disan­jung-san­jung, dipuja-puja, dielu-elukan, tapi justru kekuasaannya ber­akhir dengan su’ul khati­mah.

Sejarah mencatat, be­tapa banyak pula ke­kuasaan manusia berakhir dengan tragis. Dari pe­nguasa yang dipuja-puja tapi akhirnya menjadi manusia yang dihina-hina. Dahulu di­sanjung tapi akhirnya mati di tiang gantung. Dahulu tinggal di istana tapi ke­mudian hidup di penjara. Lebih parah lagi kalau di akhirat kelak masuk neraka pula. Karena itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kekuasaan tidak hanya akan diper­tanggungjawabkan kepada sesama manusia, tapi juga kepada Allah di yaumul akhir nantinya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar