Rabu, 19 Maret 2014

Tolonglah Riau

Tolonglah Riau

Fachruddin Mangunjaya  ;   Dosen Universitas  Nasional, Jakarta
TEMPO.CO,  18 Maret 2014
                               
                                                                                         
                                                                                                             
Kebakaran hutan dan lahan di Riau kembali merepotkan. Sebagai kasus lingkungan, hal ini dapat menjadi momok pada setiap tahun, bahkan beberapa kali dalam setahun. Kejadian yang berulang merupakan sebuah ironi, yang menunjukkan gagalnya semua sektor dan penanggung jawab untuk belajar tentang upaya penanggulangan yang tepat dan cepat untuk kebakaran hutan dan lahan.

Dalam sebulan ini, asap menyelimuti Riau. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan, bahkan membawa kematian. Belum lagi kerugian materi seperti kebun masyarakat yang ikut terbakar dan terjadinya gagal panen, tertundanya penerbangan, serta ditutupnya kantor dan sekolah yang tidak dapat ditoleransi. Kerugiannya dikabarkan mencapai Rp 15 triliun (Koran Tempo, 15 Maret 2014).

Kesedihan dan keprihatinan tentu sangat mendalam dan kontra-produktif, terutama dalam upaya pengurangan emisi global dan pencegahan perubahan iklim. Kebakaran hutan sudah pasti akan menambah jumlah emisi karbon tahunan Indonesia. Padahal, negara ini berupaya keras menurunkan emisi sebesar 26 persen, yang umumnya bersumber dari kebakaran dan alih guna lahan.

Kasus kebakaran di Riau sesungguhnya merupakan ujung dari sebuah kesemrawutan tata kelola perizinan dan pembukaan lahan yang tidak terkendali. Selain perusahaandengan jutaan hektare konsesi kayu pembuatan pulp yang mendapatkan izin sejak awal 1980-an,perizinan tambahan diberikan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan rente ekonomi pembangunan. Tentu saja, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan-dipastikan-banyaknya kolusi dan pelanggaran aturan serta korupsi, sehingga gubernurnya dipenjara hingga 14 tahun.

Akibatnya, dalam kurun waktu tiga dekade, tercatat hutan alam di Riau telah mengalami perubahan yang sangat dahsyat. Sejak 1982, tutupan hutan alam Provinsi Riau menciut hingga 65 persen. Dalam rentang waktu tersebut, lebih dari 4 juta hektare hutan Riauatau seluas Provinsi Sumatera Barat lenyap hanya dalam 25 tahun. Bila dihitung secara kasar, hutan seluas dua kali lebih luas wilayah Jakarta atau Singapura lenyap dari Riau setiap tahun. Ke mana perginya hutan itu? Ternyata, sebanyak 53 persen berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri untuk bubur kertas. KampanyeGreen Peace beberapa waktu lalu menyatakan industri dan perkebunan pun telah merambah habis lahan gambut yang sangat tinggi ikatan karbonnya. Hal ini akan sangat berbahaya apabila kebakaran lahan terjadi.

Jadi, apa solusinya? Melihat besarnya investasi di Riau, selain penegakan hukum yang mempunyai efek jera,Riau seharusnya ditolong, dikawal, serta mendapatkan perhatian dan pengawasan yang baik, termasuk oleh badan penegakan hukum seperti KPK.Tinjau kembali izin para pengusaha yang nakal dan cabut izinnya.Kemudian, lantaran investasi yang terlampau mahal, pengamanan atau safeguard bagi Riau pun harus memadai. Bagaimanapun, negara harus berpihak pada masyarakat dan 6 juta warga Riau yang menjadi korban.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang telah berupaya keras membuat satuan-satuan untuk penanggulangan kebakaran hutan. Di Kementerian Kehutanan masihada Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) yang juga dapat diberdayakan untuk tanggap darurat kebakaran hutan. Sayangnya, upaya ini ternyata tidaklah cukup, ketika tantangan yang dihadapi melebihi kapasitas tenaga di satu kementerian saja. Jadi, penanggulangan yang dilakukan pun harus dibuat secara sistematis.

Riau merupakan aset besar bangsa Indonesia. Selain potensi mineralnya yang kaya akan minyak bumi dan berkontribusi bagi negara, hutan alamnya pun telah telanjur dibuka pula untuk kepentingan ekonomi. Pepatah Melayu mengatakan, "nasi sudah jadi bubur." Untuk itu, sudah sewajarnya bila Riau mendapatkan perhatian lebih dalam hal pengawalan.

Sebagai negara besar,dengan kekayaan alam dan jarak yang jauh terpisah dan luas, Indonesia sewajarnya mempunyai koordinasi yang baik dalam penanggulangan api liar, yang potensinya tidak saja ada di Sumatera, tapi juga di pulau-pulau lain, seperti Kalimantan, Sulawesi, Jawa, bahkan Papua. Bila kebakaran terjadi, kepanikan yang muncul adalah soal penanggung jawab, pemerintah pusat dan daerah, atau kementerian mana yang bertanggung jawab.

Untuk mengatasi hal ini, dapatlah kita belajar dari pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan mempunyai pusat koordinasi interagency, semacam The National Interagency Coordination Center (NICC). Lembaga ini bisa melibatkan angkatan udara (air force) yang terlatih untuk membawa pesawat pengebom air dan pasukan angkatan darat untuk memadamkan api secara cepat. Lembaga ini mempunyai perjanjian kerja sama dengan Departemen Pertahanan, Kementerian Perkebunan/Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, lembaga ini mempunyai intelijen untuk memprediksi api atas laporan masyarakat secara langsung. Dengan cara ini, bencana tidak menjadi berlarut-larut dan parah seperti bencana api liar yang kita jumpai setiap tahun di negara tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar