Sabtu, 22 Maret 2014

Trah

Trah

Amarzan Loebis  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
BEBERAPA pekan sebelum Megawati Soekarnoputri "memberi mandat" kepada Joko Widodo untuk maju sebagai calon presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, masih beredar rumor tentang faktor "trah Sukarno" dan "bukan trah Sukarno" yang bakal ikut menentukan pilihan Mega. Karena namanya "rumor", asal muasalnya sulit ditelusuri.

Ada jurnalis yang mengatakan rumor itu dibisikkan oleh narasumber yang identitasnya tak boleh diungkapkan. Dalam praktek jurnalistik, narasumber anonim seperti ini, apalagi "berbisik" pula, patut dikategorikan sebagai narasumber yang sangat layak tidak dipercayai.

"Trah" merujuk pada kelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan, yakni dipertalikan oleh silsilah. Pada masyarakat Jawa, rumpun keluarga yang berkembang membentuk susur-galur yang rimbun kemudian membakukan "trah" itu, misalnya sebagai "Trah Wongsokapirun". Siapa pun yang terhisab dalam trah itu tak cukup sekadar saling mengenal atau dikenal, tapi juga harus diakui dan mengakui. "Trah", dengan demikian, mengandung unsur "formal" dan "legal".

Begitu pula dalam masyarakat anjing. "Anjing Trah" bukan anjing biasa, apalagi anjing geladak. Anjing trah, yang dalam masyarakat internasional disebut sebagai purebred dog, harus mendapat pengakuan dari Federation Cynologique Internationale, atawa Federasi Kinologi Internasional yang berkantor di Thuin, Belgia. Pada tingkat nasional, pengakuan itu diberikan oleh Perkumpulan Kinologi Indonesia (Perkin) yang kantor pusatnya ada di Jakarta. "Anjing Kintamani" adalah satu-satunya anjing Indonesia yang sudah diakui sebagai anjing trah.

Pada masyarakat manusia, "trah" sering dihubungkan dengan "dinasti" dan "wangsa". Ketiganya bisa seolah-olah sama, tapi sebetulnya berbeda. "Trah" lebih dekat ke "wangsa", lebih ke konteks "nasionalitas". Adapun "dinasti" lebih dekat ke konstruksi kekuasaan,  seperti misalnya "Dinasti Tang" atau "Dinasti Kim Il Sung". Indonesia belum pernah mengenal bentuk kekuasaan kedinastian itu. Dalam sejarah peradaban modern, bentuk kedinastian yang paling jelas bisa dilihat pada Korea Utara, "republik sosialis" paling aneh di alam semesta.

Dengan menunjuk Joko Widodo sebagai calon presiden partainya, Megawati bukan saja terkesan bijak, melainkan juga sangat berani. Ia, dalam pandangan tradisional Jawa, telah memutus rantai emosional partainya dengan "bapak rohani" partai nasionalis itu, yakni Sukarno. Dengan putusnya "rantai  emosional" ini, Mega dan partainya berpeluang melangkah memasuki sejarah baru yang lebih rasional dan realistis.

Pada tingkat inilah, seyogianya, Megawati dan perangkat partainya tidak sekadar mengarak gambar Sukarno hilir-mudik di masa kampanye. Lebih dari itu, ada tuntutan untuk mengkaji dan mendalami "ajaran-ajaran Sukarno" secara rasional, realistis, dan dinamis. Putusnya "trah Sukarno" dalam rantai politik PDI Perjuangan tidak akan membuat Mega dan partainya kepaten obor. Inilah saatnya mengungkai dan membedah ajaran-ajaran Sukarno yang meliputi Marhaenisme dan "Sukarnoisme" yang --menurut kesan saya--tak banyak dilakukan Megawati dan partainya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar