Sabtu, 22 Maret 2014

Terbuka, Industri Pesawat Kecil

Terbuka, Industri Pesawat Kecil

Arista Atmadjati  ;   Dosen Pariwisata UGM
KORAN JAKARTA,  22 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Awalnya industri modern pesawat turboprop dengan kokpit fly by wire bermula dari pesawat IPTN jenis N250. Kemudian, N -250 roll out pertama tahun 1995 di Bandung, namun seluruh proses selanjutnya dihentikan karena rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF). Salah satu bunyi letters of intent (LOI) IMF mengharuskan produksi IPTN dihentikan tahun 1997. Maka, impian Indonesia menjadi negara produsen industri pesawat terbang turboprop dengan tempat duduk di bawah 50 gagal.

Pesawat N-250 pada awalnya dirancang hanya untuk mengangkut 50–54 penumpang. Melihat potensi pasar, pesawat ini kemudian diperbesar hingga mampu mengangkut 60–70 penumpang dan diberi nama N-250-100.

Lalu, dilanjutkan ke tipe yang lebih kecil dan dilakukan roll out tahun 2015 pesawat buatan PT DI N 219 kapasitas 19 penumpang sebagai pesawat multifungsi bermesin ganda. Pesawat ini dirancang untuk dioperasikan daerah-daerah terpencil. Pesawat terbuat dari logam untuk mengangkut penumpang maupun kargo.

Pesawat yang dibuat dengan memenuhi persyaratan FAR 23 ini dirancang memiliki volume kabin terbesar di kelasnya. Pintunya fleksibel sehingga bisa dipakai mengangkut penumpang dan juga kargo.

Sebelum memasuki serial production, PT DI lebih dulu membuat dua unit untuk uji terbang, serta satu unit purwarupa buat tes statis pada tahun 2012. Program pembuatan purwarupa sendiri direncanakan memakan waktu selama dua tahun dengan pengalokasian dana 300 miliar rupiah.

Dulu, N-219 harusnya uji terbang di laboratorium terowongan angin pada Maret 2010. Pesawat N219 baru akan bisa diserahkan kepada pemesan pertamanya untuk diterbangkan sekitar tahun 2014-2015. N-219 ini merupakan pengembangan NC-212 yang sudah diproduksi PT DI di bawah lisensi CASA.

Siapa sangka, sejak 2001, karena deregulasi iklim berbisnis penerbangan niaga dilonggarkan pemerintah, maka sejak tahun 2001 sampai kini dan 20 tahun ke depan, pertumbuhan penumpang udara meningkat pesat. Tiap tahun naik 15 persen. Tahun depan diharapkan angka penumpang pesawat niaga di Indonesia menembus 100 juta.

Kesigapan maskapai swasta nasional dalam belanja pesawat komersial juga mencatat Indonesia sebagai salah satu pembeli armada pesawat komersial besar di dunia. Contoh Lion Air membeli 200 Boeing 737/900 series dan puluhan Airbus AB 320 dari konsorisum Eropa. Belum lagi Garuda Indonesia membeli 175 Boeing NG dan juga puluhan Airbus.

Rusia pun mulai menikmati penjualan jet komersial, seperti Sukhoi Super jet 100 yang dipakai maskapai Sky Aviation yang sejauh ini cukup reliable. Bukan tidak mungkin, Sukhoi SJ100 akan semakin diminati di masa mendatang. Indonesia kurang meminati produk Xian Aircraft Industry China berupa pesawat turboprop MA-60. Ada pendatang baru yang mengincar pasar Indonesia, seperti Embraer, ATR, Grand Caravan, Twin Otter.

Pembelian pesawat ternyata tidak hanya terjadi di kelas wide body dan narrow body-full engine karena jenis turbopropeller narrow body dan small aircraft juga marak seperti penjualan pesawat turboprop dari ATR. Pesawat turboprop dari pabrikan Prancis-Spanyol ini semakin diminati maskapai Wings Air dan Garuda Indonesia.

Maskapai Susi Air berjaya dengan armada small aircraft Grand Caravan seat 8, 12 buatan Amerika. Itulah senyum getir industri dirgantara Indonesia. Tahun 1975 sudah didirikan pabrik pesawat IPTN (PT Nurtanio). Andai saja produksi pesawat domestik itu tetap berlangsung sampai kini, Indonesia bisa membuat sendiri beberapa model pesawat seperti kelas ATR sampai dengan kelas small aircraft.

Jadi, ribuan juta dollar AS bisa diraup industri pesawat dalam negeri sebagai bagian. Sekadar ilustrasi, saat Lion membeli 179 pesawat, ternyata AS mampu memberi pekerjaan baru kepada 100.000 warganya. Tambah lagi pesanan puluhan Airbus 320 baru Lion dari Prancis juga memberikan lapangan kerja untuk 5.000 staf baru dengan masa kontrak 10 tahun.

Sementara PTDI beberapa tahun yang lalu malah memecat ribuan karyawannya. Ini sebuah ironi karena sebenarnya bangsa ini mampu membuat pesawat terbang sendiri. Namun angin segar mulai tampak untuk industri pesawat terbang nasional karena pemerintah mulai mau menyuntik 400 miliar untuk meneruskan proyek pesawat N219. Itu memang tak sebanding dengan bantuan untuk membangun kapal selam sebesar 2 triliun rupiah.

Yang patut disyukuri political will pemerintah mau menghidupkan kembali industri dirgantara. Tapi, sebentar lagi berganti rezim. Jadi, nasib pelanjutan N219 belum pasti. Apalagi sampai kini, belum ada cetak biru manufaktur industri pesawat terbang. Jadi, sifatnya hanya reaksi dan ad hoc.

Padahal, pasar pesawat turboprop jenis small aircraft di Indonesia masih amat luas. Ada 233 bandara yang mayoritas run way-nya di bawah 1.000 meter. Inilah pangsa pasar N219, juga small aircraft seat 6, 8, dan 12, ada ratusan bandara bisa dilayani.

Bukti sudah menunjukkan produksi IPTN dulu dengan CN-212 seat 12 mendapat sertifikasi dari FAA. Jadi, industri nasional memang mampu membuatnya. Taruhlah tidak usah seat 50 ke atas, dicoba dulu dengan N219 dan pesawat latih. Banyaknya sekolah pilot, sebenarnya peluang PTDI membuat pesawat latih sangat bagus. Misalnya jenis Pilatus, Italia, dan Emb Super Tucano Brasil.

Ini sebuah peluang bagi PTDI untuk menggantikan. Bisa juga untuk keperluan pelatihan TNI, kapal patroli pantai, patroli bea cukai. Atau pesawat patroli kepolisian serta penyemprot hama di kebun kelapa sawit yang berkembang pesat di tanah air. Jadi, sesungguhnya, peluang pasar pesawat small aircraft dan latih tinggi.

Pasar domestik di depan mata, sebuah captive market, namun Indonesia masih saja belanja pesawat walaupun untuk jenis small aircraft dan latih. Hal ini harus mulai dihentikan dengan melanjutkan pembuatan pesawat dalam negeri.

Beberapa negara Asia mulai membuat industri pesawat sendiri, walau versi tempur. Contoh, India dengan pesawat tempur Brahma dan Sukhoi versi India. Korea Selatan dengan pesawat tempur jenis T41 yang juga dibeli TNI AU. Kini giliran Indonesia harus bisa memproduksi turbopropeller dan small aircfrat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar