| UU   Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan HutanDeni Bram  ;   Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara | 
                                                        KOMPAS,  26 Maret 2014                               
| SUNGGUH   ironis kondisi ekosistem hutan Indonesia saat ini. Laju deforestasi yang   semakin tinggi justru diperburuk oleh kebijakan yang tidak pro kepada rakyat   kecil. Perintah   untuk tembak di tempat terhadap pelaku pembakaran lahan seakan menjadi   langkah frustrasi yang mengalamatkan rakyat pada tingkat lapangan yang   menjadi biang keladi dari bencana ekologis tersebut. Padahal, secara   diametral—menurut catatan Walhi pada medio 2013—paling tidak ada 117   perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan. Ini seakan menjadi entitas   yang memiliki imunitas tingkat tinggi dan belum rampung dalam proses   penegakan hukum hingga saat ini. Secara   lebih tersistematis, hadirnya UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan   menambah kesempurnaan terhadap tidak simetrisnya penanganan terhadap pelaku   kerusakan hutan. UU yang merupakan kelanjutan dari RUU tentang Pemberantasan   Perusakan Hutan ini tidak dapat dipisahkan dari proses panjang   penandatanganan nota kesepahaman Pemerintah Indonesia dengan Inggris untuk combat illegal logging and the illegal   timber trade pada tahun 2002 yang jika ditelisik memiliki beberapa   kecacatan, mulai dari tahapan penjaringan perumusan hingga pencantuman norma   di dalamnya. Cacat prosedural Paling   tidak terdapat tiga hal penting yang wajib dilihat dalam konteks ini.   Pertama, produk UU Pemberantasan Perusakan Hutan memiliki kecacatan   prosedural, bahkan pada saat proses awal dengan ketiadaan naskah akademis   dalam penyusunan rancangan undang-undang. Produk   naskah akademis yang seharusnya menjadi alas ilmiah terhadap kajian penting   dari perlu adanya sebuah produk legislasi ternyata absen saat produk hukum   ini dibuat. Hal ini secara jelas bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011   yang mewajibkan adanya naskah akademis dalam perumusan peraturan   perundang-undangan. Dalam   konteks ketidakhadiran naskah akademis ini, semakin menguatkan dugaan bahwa   peraturan perundangan-undangan itu dianggap sebagai komoditas, bukan karena   kebutuhan masyarakat, melainkan agar Indonesia memiliki peraturan yang   sebanding dengan negara industri atau bahkan memenuhi permintaan negara   industri. Hal ini akan berdampak terhadap lemahnya isu penegakan hukum yang   menjadikannya sulit untuk berlaku simetris karena memang sudah ditentukan   sejak awal peraturan itu dibuat. Dampak   dari ketiadaan naskah akademik dalam proses ini sangat memungkinkan masuknya   kepentingan non-akademis dari output yang dihasilkan. Oleh karena itu, UU   Pemberantasan Perusakan Hutan kerap ditengarai menjadi salah satu bentuk   legislasi yang pro kepada kepentingan pelaku usaha. Kedua,   lazimnya mekanisme pengesahan UU melalui proses sosialisasi terlebih dahulu.   Akan tetapi, ini justru tidak dilakukan terlebih dahulu dalam mencapai kata   sepakat terhadap draf yang ada. Padahal, proses sosialisasi merupakan fase   penting dalam rangka menjamin partisipasi dan optimalnya nilai keadilan yang   diusung. Pada tahapan ini pelbagai pihak yang terkait langsung dengan   hadirnya sebuah produk peraturan perundang-undangan dapat menyampaikan   masukan kepada pihak legislator untuk dibahas dalam pertemuan lebih lanjut. Pada   proses alur perumusan legislasi, proses sosialisasi memiliki peran penting   untuk memperkecil kemungkinan proses trial and error. Namun, ironisnya produk   yang justru berkaitan dengan hajat hidup orang banyak di sektor kehutanan itu   tidak mengindahkan proses tersebut. Dalam   konteks ini, penting kiranya jika ditengok kembali klasifikasi bentuk   tingkatan partisipasi warga negara. Pada tataran optimal seharusnya proses   ini menjadi sarana kontrol dari masyarakat yang merupakan pemegang kedaulatan   dalam arti yang hakiki. Namun, dalam UU Pemberantasan Perusakan Hutan justru   dapat dilacak hal tersebut tidak ditemui dan hadir sebagai bentuk manipulasi   rakyat dan atas nama partisipasi warga. Masyarakat   yang tak diberikan akses hanya ditempatkan sebagai alat stempel saja untuk   merekayasa dukungan terhadap pemegang kekuasaan. Alih-alih partisipasi warga,   derajat terbawah dari partisipasi Arnstein ini menandakan distorsi   partisipasi jadi kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan. Langgar putusan MK Terakhir,   ketiga, hadirnya UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ini tak   mampu untuk mengaktualisasikan secara substansial perkembangan hukum yang   berkaitan dengan hutan adat yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi.   Dari kronologi waktu, terlihat bahwa UU Pencegahan dan Pemberantasan   Perusakan Hutan disahkan pada 9 Juli 2013. Padahal, putusan MK No   35/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013 menyatakan secara jelas bahwa perumusan   hutan adat sama dengan hutan negara secara hukum tidak berlaku. Alih-alih melakukan   penyesuaian secara substansial, justru UU Pencegahan dan Pemberantasan   Perusakan Hutan memperkuat peran negara yang berujung pada semakin kecilnya   peran masyarakat adat di dalamnya. Hal ini,   misalnya, dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 11 Ayat (4) yang menyatakan:   ”Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan   yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan   lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus   mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan   perundang - undangan”. Hal serupa juga terlihat dalam pengaturan Pasal 26: ”Setiap orang dilarang merusak,   memindahkan, atau menghilangkan tapal batas luar kawasan hutan, batas fungsi   kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara   yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan”. Kedua   perumusan di atas jelas merupakan usaha kriminalisasi masyarakat adat yang   telah mempunyai legalitas dengan hutan adat yang dimiliki dan hal tersebut   dilindungi oleh putusan MK. Secara bersamaan, tindakan ini merupakan bentuk   pelanggaran konstitusional dari UUD 1945 yang mengakui eksistensi masyarakat   adat dengan segala atribusinya. Oleh   karena itu, layaklah sudah bahwa legislasi ini dapat dimintakan   pertanggungjawaban dari segi hukum untuk membuktikan kepada khalayak banyak   terkait dengan proses pembentukan hingga substansi. Pemerintah harus menjawab   kekhawatiran bahwa produk ini telah menjadi komoditas pemilik modal dari   pelaku perusakan hutan yang sesungguhnya dengan mengedepankan keuntungan   jangka panjang, bukan hanya menyasar masyarakat kecil yang bergerak dalam   kebutuhan pokok pada saat ini dalam rangka mempertahankan kehidupan. ● | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar