Rabu, 26 Maret 2014

Wibawa dan Penyelenggaraan Pemilu

Wibawa dan Penyelenggaraan Pemilu

Khairul Fahmi  ;   Dosen Hukum Tata Negara;
Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH, Universitas Andalas
KOMPAS,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
BEBERAPA saat setelah sesi akhir penyampaian laporan awal dana kampanye ditutup, KPU mengumumkan sejumlah peserta pemilu yang didiskualifikasi. Untuk partai politik, sembilan dari 12 parpol peserta pemilu dibatalkan di 25 kabupaten/kota. Selain itu, terdapat 35 calon anggota DPD diberi sanksi yang sama.

Sanksi pembatalan dijatuhkan lantaran parpol tidak memberikan laporan awal dan rekening khusus dana kampanye pada tenggat waktu yang ditentukan. Pengalaman serupa juga pernah terjadi pada Pemilu 2009. Kala itu, KPU menjatuhkan sanksi pembatalan kepada parpol peserta pemilu di 61 daerah kabupaten/kota dan 15 calon anggota DPD se-Indonesia.

Sekalipun keputusan penjatuhan sanksi belum final, langkah KPU patut diapresiasi. Setidaknya kebijakan itu menunjukkan masih ada ketegasan bagi pelanggar aturan pemilu.

Sebaliknya, bagi peserta pemilu yang terkena sanksi, ketidakfinalan keputusan KPU membuka kesempatan bagi mereka untuk mengajukan keberatan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dengan demikian, KPU masih harus bekerja untuk mempertahankan keputusan di tengah gempuran peserta pemilu dan kemungkinan perbedaan persepsi dengan Bawaslu.

Dua celah

Belajar dari pengalaman penyelesaian sengketa tahapan pemilu sebelumnya, proses yang dilakukan Bawaslu kerap dihiasi perbedaan pandangan dengan KPU terkait aturan. Bahkan, peraturan dan edaran KPU sebagai peraturan pelaksana dalam penyelenggaraan pemilu cenderung dikesampingkan dalam penyelesaian sengketa. Hal yang sama berpotensi terjadi kembali dalam penyelesaian sengketa pelaporan awal dana kampanye. Setidaknya ada dua celah yang terbuka.

Pertama, terkait makna 14 hari dalam UU No 8/2012. UU tersebut menyatakan, setiap peserta pemilu sudah harus menyerahkan laporan awal selambat-lambatnya 14 hari sebelum hari pertama kampanye rapat umum.

Dalam Peraturan KPU Nomor 17/2013, kata ”hari” diartikan sebagai hari kalender. Penjelasan demikian hanya dapat menjawab pertanyaan apakah laporan awal dana kampanye dapat dilakukan pada hari libur atau tidak, sementara tenggat akhir jam penyerahan laporan tidak terjawab dengan norma yang ada. Kondisi demikian mengharuskan KPU menjawabnya melalui peraturan kebijakan (beleidsregels) berbentuk surat edaran yang menentukan tenggat waktu penyerahan laporan adalah pukul 18.00 WIB/Wita/WIT pada hari akhir penyerahan laporan awal dana kampanye.

Sekalipun penentuan tenggat akhir dimaksud sepenuhnya menjadi kewenangan KPU dan tentunya telah diketahui setiap peserta pemilu, batasan waktu tersebut tetap rentan dipersoalkan. Sebab, untuk selamat dari sanksi yang telah dijatuhkan, makna ”hari” akan dapat disetir sehingga dimaknai batas akhir jatuh pada pukul 00.00 WIB/Wita/WIT. Dengan konstruksi argumen seperti itu, melalui permohonan penyelesaian sengketa, Bawaslu akan ”dipaksa” menjatuhkan putusan menguntungkan bagi parpol peserta pemilu.

Kedua, perbedaan sudut pandang antar-penyelenggara pemilu dalam menilai persoalan hukum pemilu. Di satu sisi, KPU—sesuai dengan tugasnya—selalu berangkat dari kepastian terpenuhi atau tidaknya administrasi pemilu, termasuk misalnya tenggat akhir penyerahan laporan awal dana kampanye. Dalam arti, KPU begitu formalistis dalam setiap keputusannya. Di sisi lain, Bawaslu sebagai penyelesai sengketa cenderung memberikan penilaian negatif terhadap formalitas penyelenggaraan pemilu oleh KPU. Bahkan, Bawaslu acap keluar dari aturan-aturan teknis yang dipedomani KPU dalam pengambilan keputusan. Alhasil keputusan-keputusan Bawaslu sering berseberangan dengan apa yang telah diputus KPU.

Kali ini, Bawaslu dengan kebiasaannya yang berpotensi menabrak surat edaran KPU yang secara rigit menentukan batas waktu. Langkah tersebut akan membuka kembali ruang pencabutan keputusan pembatalan peserta pemilu yang sebelumnya telah dijatuhkan.

Batas demarkasi

Dua celah di atas berpeluang untuk dimanfaatkan parpol yang sudah dikenai sanksi untuk kembali ke arena kontestasi Pemilu 2014. Atas alasan itu, demi mewujudkan pemilu yang jujur dan berwibawa, celah tersebut mesti ditutup. Dalam hal ini, kesamaan pandangan antara KPU dan Bawaslu amat diperlukan.

Penentuan tenggat akhir penyerahan laporan awal dana kampanye mesti dipahami dalam konteks yang sama. Tolok ukur yang digunakan KPU dalam menjatuhkan sanksi juga mesti digunakan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa. Sekalipun dasarnya hanya sebuah peraturan kebijakan, secara hukum kebijakan tersebut adalah sah dan harus dipakai sebagai panduan dalam penyelesaian persoalan hukum pemilu.

Lagi pula penyelesaian sengketa pemilu jangan dimaknai sebagai proses mencari win-win solution antara KPU dan peserta pemilu. Penyelesaian sengketa merupakan proses untuk menguji apakah langkah yang ditempuh KPU telah sesuai ketentuan yang ada atau apakah KPU bertindak sewenang-wenang. Dalam konteks ini hanya pelanggaran dan kesewenang-wenanganlah yang dapat membenarkan Bawaslu mengabulkan permohonan parpol yang terkena sanksi pembatalan. Selebihnya segala ruang mesti ditutup.

Batas demarkasi semacam itu perlu dibuat agar penyelesaian sengketa pemilu tidak dimanfaatkan sebagai proses pencucian dosa pemilu yang telanjur dilakukan. Pada saat bersamaan, hal itu diperlukan guna menyinergikan langkah Bawaslu dan KPU dalam mengawal setiap tahapan pemilu. Sebab, hanya dengan cara itulah kemudian kepastian hukum dan kewibawaan penyelenggaraan pemilu dapat dijaga punggawanya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar