Senin, 17 Maret 2014

Wujud Niat Selamatkan Merpati

Wujud Niat Selamatkan Merpati

Sumaryoto Padmodiningrat  ;   Anggota Komisi XI DPR
SUARA MERDEKA,  17 Maret 2014
                                   
                                                                                         
                                                                                                             
"Penutupan Merpati juga akan merugikan masyarakat, terutama di kawasan timur Indonesia"

YANG gampang adalah berbicara, dan yang tak mudah adalah bertanggung jawab. Ungkapan bijak ini tampaknya tepat untuk menggambarkan sikap para pemangku kepentingan PT Merpati Nusantara Airlines, dari direksi, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) hingga Kementerian BUMN. Akibatnya, sayap Merpati kini tak bisa berkepak lagi. Merpati mati suri.

Setelah pergantian direktur utama, dari Sardjono Jhonny Tjitrokusomo ke Rudy Setyopurnomo, kondisi maskapai penerbangan itu terus memburuk. Apalagi setelah dipegang dirut sekarang, Asep Ekanugraha. Selain mengalami embargo bahan bakar dari Pertamina, gaji karyawan juga tak bisa dibayarkan sejak November lalu, yang memicu kemunduran 50 pilot.

Kemudian, Merpati tak mampu menerbangi 19 rutenya, dan lantas menawarkannya kepada maskapai lain. PT Perusahaan Pengelola Aset yang diberi kuasa pemerintah menjalankan program penyelamatan Merpati, berencana menjual seluruh saham dua anak usaha Merpati, yaitu Merpati Maintenance Facility dan Merpati Training Center, seharga Rp 300 miliar.

Namun, rencana ini tak kunjung disetujui menteri keuangan, sampai akhirnya Kementerian Perhubungan membekukan air operator certificate (AOC) Merpati sampai maskapai ini layak terbang. Bila dalam waktu setahun tetap tak layak terbang maka izin Merpati dicabut. AOC adalah syarat utama maskapai untuk terbang. Untuk beroleh AOC, Merpati harus bisa membuktikan sudah sehat secara keuangan, yakni sudah bisa membeli asuransi dan cash flow-nya positif. Izin terbang dibekukan pasca-Merpati menghentikan semua rute penerbangan mulai 1 Februari 2014 karena masalah keuangan.

Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto pun menuding Kementerian BUMN yang dipimpin Dahlan Iskan harus bertanggung jawabi. Menurutnya, rencana restrukturisasi Merpati tidak dipatuhi Kementerian BUMN, bahkan justru berulang kali mengganti direksi yang berakibat kepailitan. Komisi VI pun memanggil direksi Merpati untuk diminta ”pertanggungjawabannya”.

Alih-alih menyelamatkan Merpati, PPA justru meminta dana penyertaan modal negara (PMN) ke pemerintah. Maka solusi apa pun yang akan diluncurkan PPA, tak akan terlepas dari skenario penyelamatan ìdana bantuannyaî yang sudah terlanjur dihabiskan Merpati, dan tak akan terlalu bermanfaat bagi Merpati, tapi sangat bermanfaat buat PPA.

Sejatinya roadmap penyelamatan Merpati sudah ada, yakni dalam bentuk business plan 2011-2020 yang disusun pada 2012 oleh direksi periode 2010-2012, dengan asistensi PPA. Lulus dari babak asistensi, roadmap dibawa ke Kementerian BUMN selaku pemegang saham. Setelah disetujui, Kemenkeu membahas skema pembiayaan roadmap.

Pembahasan pun berlangsung di Komite Restrukturisasi dan Revitalisasi mengenai PMN. Komite terdiri atas menkeu, menteri BUMN, menhub, dan PPA. Selanjutnya roadmap disampaikan kepada DPR untuk persetujuan karena melibatkan anggaran PMN. Dalam proses pengerjaan roadmap selama 6-8 bulan, semua pemangku kepentingan terlibat, didampingi BPKP.

Pergantian Direksi

Namun di tengah jalan terjadi pergantian direksi Merpati, Jonny digantikan Rudy. Dirut baru ternyata membawa Merpati menyimpang dari roadmap dan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2012 yang berakibat pada kerugian, peningkatan utang, dan tunggakan.

Manajemen baru ternyata tak punya skala prioritas dan solusi untuk dapat keluar dari lubang jarum. Ini semua terjadi karena mereka tak mempunyai business plan. Ketiadaan rancangan inilah, yang terjadi sejak Rudy menjabat dirut, menyebabkan pencairan dana PMN Rp 200 miliar ìtertundaî. Namun katakanlah PMN Rp 200 miliar itu nanti cair, diyakini tak akan menyelesaikan masalah karena terlambat, sehingga cash flow Merpati tak akan tertolong, sebagaimana pencairan PMN Rp 560 miliar juga terlambat 8 bulan dari seharusnya Mei 2011.

Haruskah Merpati diselamatkan atau sebaliknya disuntik mati ala Rusia? Penulis tegas mendukung penyelamatan Merpati. Apalagi untuk melikuidasi, negara harus mengeluarkan uang untuk pembayaran utang yang kini mencapai Rp 7 triliun (SM, 1/3/14), dan membayar pesangon karyawan. Aset Merpati kini sekitar Rp 300 miliar, sementara utangnya mencapai Rp 7 triliun. Bila hendak menutup Merpati, setidak-tidaknya butuh dana Rp 6,7 triliun.

Penutupan Merpati juga akan merugikan masyarakat, terutama di kawasan timur Indonesia. Begitu fanatiknya masyarakat Indonesia timur terhadap Merpati, seakan-akan mereka tidak mengenal maskapai lain. Tiap ada pesawat melintas, apa pun maskapainya, mereka akan menyebutnya pesawat Merpati.

Bagaimana menyelesaikan problem Merpati? Bisa dimulai dari pencairan PMN Rp 200 miliar itu, kemudian melakukan revisi business plan yang akan dilaksanakan oleh direksi baru yang berkompeten setelah kepemimpinan Asep.  Selanjutnya, utang Merpati terhadap pemerintah seperti eks MA-60 dijadikan PMN, dan utang terhadap BUMN lain seperti PT Angkasa Pura dan Bank Mandiri serta tunggakan utang Pertamina dikonversi menjadi saham.

Dahlan Iskan tak perlu segan mengganti Asep dengan dirut baru yang kapabel, dan bila yang dinilai kapabel adalah dirut atau direksi yang pernah menjabat, terindikasi dari dimilikinya business plan, Dahlan pun tak perlu malu-malu mengangkat kembali mereka. Apa pun yang terjadi, yang penting harus menyelamatkan Merpati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar