Senin, 17 Maret 2014

Efek Pencapresan Jokowi

Efek Pencapresan Jokowi

FS Swantoro  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA,  17 Maret 2014
                              
                                                                                         
                                                                                                             
”LAYAR pertunjukan” Pilpres 2014 pelan-pelan terbuka lebar. Satu per satu kandidat mulai terlihat nyata dan genderang perang sayup-sayup telah terdengar. Mulanya, Aburizal Bakrie, pengusaha mapan, pemilik Bakrie Group dan Ketua Umum Partai Golkar, dicalonkan sebagai presiden oleh partainya.

Kemudian, Wiranto mantan panglima ABRI, yang kini Ketua Umum Partai Hanura dicalonkan partainya. Begitu pula Prabowo Subianto, mantan danjen Kopassus dan Pang­kostrad, yang kini Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, resmi dicalonkan. Terkini, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menerima mandat dari Megawati Soekarno­putri, selaku Ketua Umum PDIP, untuk menjadi capres.

Meski kontestasi pilpres baru dilaksanakan 9 Juli mendatang, suasana kemenangan sepertinya sudah terlihat nyata dari sekarang. Tarik ulur pencapresan yang selama ini muncul di atas permukaan, telah dijawab Megawati lewat perintah harian partai dengan tulisan tangan yang dibacakan Ketua Bapilu, Puan Maharani.

Pencapresan Jokowi akan memengaruhi peta politik Indonesia ke depan. Dari hasil survei berbagai lembaga dalam tiga bulan terakhir, diprediksi Jokowi akan melenggang menuju kursi RI 1. Bahkan banyak pendukung partai besar dan tengah, yang lari meninggalkan gelanggang guna mendukung pencapresan Jokowi. Itulah efek Jokowi.

Saya sependapat dengan Sukardi Rinakit (2014) bahwa melalui kematangan Megawati Soekarnoputri, terbukti ia anak biologis dan ideologis Bung Karno. Bukan kekuasaan untuk diri sendiri yang ingin digapai tapi nasib bangsa Indonesia ke depan. Itulah mimpinya tentang Indonesia Raya.

Pada saat republik ini mengalami krisis pemimpin yang berintegritas dan berkualitas, serta lama merindukan pemimpin yang merakyat, Mega dengan jiwa besarnya, bak negarawan yang galau akan nasib rakyat dan bangsanya, mengajak seluruh rakyat yang punya mata hati keadilan dan kejujuran untuk mendukung Jokowi sebagai capres dari PDIP.

Begitu pula banyak orang menyebut 2014 adalah tahun politik, dan Megawati memandang lebih dari itu. Baginya, tahun ini merupakan tahun penentuan bagi Indonesia, untuk menjadi bangsa yang kembali pada akar sejarah. Bangsa yang mandiri, beradab, dan menjadi pelita bagi bangsa-bangsa lain sebagaimana amanat UUD 1945.

Menurut Mega, persoalan fundamental bangsa sekarang ini adalah kehilangan jejak sejarah. Banyak generasi muda tak paham sejarah bangsanya sendiri. Itu sungguh mengkhawatirkan. Bagaimanapun bangsa akan mengetahui jati dirinya bila memahami akar sejarah. Tanpa mengenal jejak sejarah, bangsa ini akan kehilangan arah dan menuju negara gagal.

Bagi Megawati, seorang pemimpin ideal adalah yang taat pada konstitusi negaranya (Kompas, 17/3/14). Itu sebabnya, ia merasa galau akan jejak sejarah bangsa kita yang mungkin hilang. Dengan kondisi bangsa seperti sekarang, ia juga resah akan tantangan yang dihadapi pemimpin Indonesia ke depan. Ia tidak hanya resah dan berpangku tangan.

Mandat Kader

Sebagai tokoh politik yang matang dan berpengalaman memimpin partai, Mega membuktikan mampu melahirkan kader muda potensial yang menjadi pemimpin daerah. Dari sentuhan tangannya, lahir pemimpin potensial, seperti Gubernur DKI Joko Widodo, yang di pundaknya akan mengemban tugas berat tapi mulia, memimpin negara-bangsa lewat kontestasi Pilpres 9 Juli 2014.

Dalam banyak kesempatan Mega berpesan (seperti ketika diwawancarai MetroTV), seorang pemimpin harus punya kesabaran revolusioner, yakni kesabaran yang bergerak dan tak hanya menunggu dan berpangku tangan. Menghadapi Pilpres 2014, Megawati berhitung bagaimana mengajukan calon pemimpin yang diusung partainya, sekaligus dikehendaki rakyat. Kalkulasi itu tak hanya penting bagi PDIP, tapi merupakan kepentingan lebih besar bagi negara-bangsa.

Meski mendapat hak prerogatif dari Kongres III PDIP untuk menentukan capres yang diusung partainya, Megawati lebih memilih memberikan mandat itu kepada kadernya, yaitu Jokowi. Langkah itu jarang kita jumpai sekarang ini. Bahkan ada partai besar yang bapaknya ketua umum dan anaknya sekjen. Di negara komunis dan sosialis pun fenomena itu tak pernah terjadi. Dalam konteks itu, terlihat nyata kematangan Megawati, bukan loyang melainkan emas.

Pencapresan Jokowi selain merupakan kematangan Megawati, juga merupakan wujud gerakan politik perubahan. Dalam konteks demokrasi dan tumbuhnya masyarakat madani,  Jokowi harus bisa menawarkan perubahan agar Indonesia makin maju, berdaulat, dan sejahtera. Bila ia terpilih dalam Pilpres 9 Juli nanti, gerakan politik perubahan harus jadi alternatif membangun demokrasi yang menyejahterakan rakyat.

Kalangan pengusaha juga menilai langkah PDIP mengusung Jokowi sudah tepat. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, keputusan partai banteng moncong putih tersebut merupakan jawaban atas harapan rakyat yang menginginkan perubahan.

Para pengusaha akan mendukung pencapresan itu, terutama bila Jokowi mampu menawarkan agenda perubahan, seperti perbaikan infrastruktur, pembenahan sektor ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja. Terlepas dari semua itu, patut menggarisbawahi kesederhanaan Jokowi yang genuine, autentik dengan pribadinya, tak boleh berubah. Pasalnya, dari kesederhanaannya itu melekat roh kejujuran dan keberanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar