Tampilkan postingan dengan label Capres 2014. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Capres 2014. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Januari 2012

Pola Pikir Memilih Capres


Pola Pikir Memilih Capres
Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG     
Sumber : SINDO, 25 Januari 2012



Kita baru dua kali melakukan pemilihan presiden secara langsung yaitu pada 2004 dan 2009.Tidak banyak tokoh yang telah menjadi calon presiden dan calon wakil presiden,hanya 12 orang.

Mereka yang pernah menjadi calon presiden hanya ada enam orang, yang pernah menjadi calon wakil presiden ada delapan orang dan yang pernah menjadi calon presiden dan calon wakil presiden hanya ada dua orang. Kini sudah mulai muncul sejumlah nama yang punya ambisi menjadi capres atau cawapres untuk Pemilihan Presiden 2014. Itu adalah hal wajar dan positif sesuai dengan prinsip demokrasi.

Ada sekitar 20 nama yang mulai muncul di permukaan. Bagaimana kita menyikapi nama-nama tersebut dan siapa yang diperkirakan bisa muncul sebagai capres/cawapres pada 2014? Kita coba melihat apa yang terjadi pada pemilihan yang lalu. Awalnya pada pemilihan presiden secara langsung pada 2004 banyak sekali nama-nama yang muncul dan menun-jukkan minat untuk menjadi capres/ cawapres.

Nama-nama yang muncul sebagai capres pada 2004 adalah mereka yang pernah menjadi menteri,ketua MPR,presiden, dan wakil presiden. Untuk mendampingi capres itu dibutuhkan cawapres yang bisa menjadi vote getter (pengumpul suara). Maka para capres melirik nama-nama tokoh dari ormas atau komunitas yang diharapkan bisamenjadi penarik suara pemilih.

Lalu muncullah nama Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid dari komunitas NU dan Siswono dari komunitas nasionalis serta Agum Gumelar dari kelompok militer dan Jusuf Kalla dari Indonesia timur. Pilihan di atas berdasar pada peta politik 1955 yang membagi dunia politik Indonesia menjadi kelompok (nasionalis) Islam dan kelompok nasionalis (sekuler). Juga pola pikir sipil-militer serta Jawa dan non-Jawa.

Ternyata latar belakang calon dari komunitas NU terlihat tidak punya dampak berarti dalam mengumpulkan suara pemilih. Buktinya, warga NU lebih memilih SBY dibanding Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. Pada Pilpres 2009, jumlah pasangan calon berkurang karena persyaratan bagi partai politik untuk bisa mengajukan capres/cawapres ditingkatkan menjadi 20% jumlah suara pemilih.

Sudah diperkirakan bahwa SBY akan terpilih lagi. Yang juga membuat kejutan ialah munculnya Prabowo sebagai salah satu calon yang mendapat dukungan kuat dari rakyat.Pada 2004 Prabowo belum berani tampil,mungkin karena stigma sebagai pelanggar HAM berat masih kuat melekat.

Tampaknya kini bangsa Indonesia sudah melupakan peristiwa kelam pada masa Orde Baru.Sudah tidak banyak lagi yang meributkan keterlibatan ketiga jenderal capres/ cawapres yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM belasan tahun lalu. Ternyata sekali lagi terbukti bahwa dukungan tokoh dan para ulama NU bahkan ditambah tokoh Muhammadiyah terhadap capres/cawapres tertentu tidak memberi pengaruh yang kuat.

Terbukti bahwa pasangan JK/Wiranto yang mereka dukung hanya menjadi juru kunci.Pemilihan Presiden 2004 dan 2009 tampaknya mempunyai pola yang betul-betul berbeda dengan pola pengelompokan 1955.Yang akan menentukan kemenangan adalah tingkat keterpilihan (elektabilitas) sang capres dibantu cawapres, bukan partai pendukung.

Pada Pilpres 2014 diduga akan ada tiga partai besar yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (PG),dan PDI Perjuangan yang punya peluang untuk mengajukan capres/cawapres. Beredar berita bahwa Ketua Umum PG dan Ketua Umum PDIP akan maju menjadi capres. Tampaknya kedua calon itu kurang memenuhi harapan masyarakat. Pola seperti pada masa lalu masih bertahan pada 2014, yaitu munculnya sejumlah nama yang kini menjadi menteri atau pejabat tinggi negara dan yang pernah menjadi pejabat negara.

Mereka diincar oleh para capres untuk menjadi cawapres. Fenomena itu wajar karena para menteri dan pejabat negara itu punya kesempatan menunjukkan prestasi yang langsung bisa diketahui masyarakat.Yang sudah lama muncul ialah Mahfud MD. Yang baru muncul ialah Dahlan Iskan dan yang sayupsayup muncul ialah Gita Wiryawan. Mereka menarik perhatian publik karena langkah dan kebijakan mereka.

Tetapi, kedua menteri itu masih harus membuktikan terlebih dulu prestasi mereka dalam waktu dua tahun ke depan. Sejumlah tokoh partai sudah menyatakan akan maju sebagai capres, padahal partai mereka masih belum jelas sejauh mana capaiannya dalam Pemilu Legislatif 2014.Mereka adalah Prabowo (Partai Gerindra), Hatta Rajasa (PAN), dan SuryadharmaAli (PPP).Tetapi, mereka harus bekerja keras dan cerdas tanpa kenal lelah untuk bisa lolos dulu dalam pemilu legislatif yang dinaikkan batas minimalnya dari 2,5% menjadi 4 atau 5% dari jumlah pemilih untuk bisa masuk DPR.

Mengubah Pola Pikir

Ada sejumlah pola pikir yang menurut saya kurang tepat dan di masa depan akan terkoreksi sendiri sesuai dengan tuntutan keadaan. Selama ini beberapa tokoh puncak partai muncul sebagai calon presiden, tetapi tidak ada yang berhasil kalau hanya bergantung pada posisi mereka sebagai tokoh partai, bukan pada elektabilitas.

Berbeda dengan di Amerika Serikat, tokoh yang menjadi calon presiden bukan tokoh puncak partai.Di AS yang muncul ialah tokoh yang didukung oleh masyarakat melalui konvensi terbuka.Untuk pemilihan gubernur, bupati,dan wali kota di Indonesia, bahkan jarang pimpinan puncak partai setempat yang maju jadi calon.

Artinya tokoh partai di daerah lebih sadar tentang tidak tepatnya pola pikir semacam itu dibanding tokoh partai tingkat nasional. Pola pikir lain yang masih bertahan ialah mengambil tokoh ormas Islam sebagai cawapres. Karena Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI keempat saat menjadi ketua umum PBNU, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi juga dianggap layak menjadi calon presiden.

Maka kita saksikan ada manuver Hasyim Muzadi dan kelompok pendukungnya untuk menampilkan namanya sebagai capres pada Konbes NU 2002 di Pondok Gede.Akhirnya Hasyim Muzadi menjadi cawapres. Pola ini masih diikuti dengan ditampilkannya nama Khofifah yang kini menjadi ketua umum PP Muslimat NU oleh Partai Golkar dan Partai Gerindra. Pola berikutnya ialah faktor keturunan.

Karena Megawati sebagai putri Bung Karno bisa menjadi wakil presiden lalu menjadi presiden,Puan Maharani juga dianggap layak menjadi calon wakil presiden. Lepas dari kemampuannya, pola ini kurang tepat, kecuali dibuktikan oleh survei bahwa Puan memang bisa menjadi pendulang suara pemilih.Yang dilupakan oleh banyak orang termasuk mereka di sekeliling Megawati ialah fakta bahwa Megawati telah menanam investasi sosial dengan perlakuan negatif Presiden Soeharto.

Puan belum banyak punya investasi sosial bagi masyarakat di luar PDIP. Pola pikir positif yang perlu kita kembangkan dalam memilih capres ialah menampilkan tokoh yang mempunyai nama baik dan potensi untuk mencapai tingkat keterpilihan (elektabilitas) tinggi,punya kemampuan, dan punya integritas, walaupun bukan pimpinan atau tokoh utama partai.

Kita bisa melihat fakta bahwa ada sedikit tokoh yang memenuhi kriteria tersebut, tetapi sulit untuk bisa muncul sebagai calon presiden atau calon wakil presiden karena mereka tidak mendapat dukungan partai yang punya hak mencalonkan. Tokoh yang paling menonjol adalah Jusuf Kalla (JK).Tidak terpilih sebagai presiden atau menjabat lagi sebagai wakil presiden tidak menenggelamkan pamor JK.

Harus diakui bahwa JK adalah semacam kepala pemerintahan dan SBY adalah kepala negara sehingga masa bakti pertama SBY sebagai presiden menunjukkan kinerja cukup baik. JK dikenal sebagai pemimpin yang efektif, cepat menangkap masalah,dan cepat mengambil keputusan. Boleh dibilang,JK adalah calon terbaik untuk menjadi presiden berbekal pengalaman sebagai pengusaha,menteri,wakil presiden, dan tokoh partai. Kelemahan JK adalah pada usia. Pada 2014 usianya akan mencapai 72 tahun, tetapi kondisinya sehat.

Kita bisa ambil contoh Ronald Reagan yang menjadi presiden pada usia 74 tahun.Atau Pak Harto yang menjadi Presiden pada usia 72 tahun pada 1973. Juga bisa kita bandingkan dengan Mahathir Mohammad yang menjadi PM sampai usia menjelang 80 tahun. Tokoh lain yang juga menarik perhatian banyak pihak ialah Mahfud MD. Selama sekitar tiga tahun menjadi ketua MK, Mahfud telah menunjukkan kinerja yang baik.Visinya bagus, punya keberanian dan integritas.Kita layak berharap Mahfud dapat menyelesaikan masalah itu.

Rabu, 18 Januari 2012

Dicari Capres yang Bukan “Bukan”


Dicari Capres yang Bukan “Bukan”
Jannus T.H.Siahaan, MANTAN WARTAWAN, KINI KONSULTAN KOMUNIKASI,
KANDIDAT DOKTOR SOSIOLOGI DI FISIP UNIVERSITAS PADJAJARAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 19 Januari 2012


Hingga 2011 berakhir dan 2012 tiba, belum ada arus besar yang bisa dibuat sebagai pendulum politik, ke mana arus akan bermuara. Bahkan, partai sebesar Partai Demokrat (PD) tak berani memetakan kekuatan sendiri.
Situasi ini amat berbeda dengan Pemilu 1998 di mana masing-masing OPP (Organisasi Peserta Pemilu), berani mengusung calon dan menjualnya secara bebas ke tengah-tengah masyarakat.

Saat itu, seiring berkecambahnya partai politik baru, muncul pula tokoh-tokoh sebagai ikonnya. Sebutlah Megawati Soekarnoputri sebagai ikon “wong cilik” melalui PDI-Perjuangan, KH Abdurrahman Wahid dengan PKB, HM Amien Rais dengan PAN, BJ Habibie melalui Partai Golkar, atau Partai Keadilan yang lalu bermetamorfosis menjadi PKS terang-terangan mengajukan nama Nurmahmudi Ismail.

Bahkan partai gurem semacam PARI (Partai Rakyat Indonesia) tidak canggung menawarkan tokoh internalnya, Agus Miftach, aktivis flamboyan. Tapi, beberapa ikon kecil berguguran jauh sebelum menjadi peserta pemilu karena tak lolos verifikasi faktual di KPU.

Euforia politik di awal era reformasi semakin riuh karena melibatkan emosi rakyat pemilih yang gempita dengan suasana baru. Namun, setelah satu dekade berlalu, keriuhan berubah menjadi kejenuhan. Rakyat, pada titik tertentu, mulai antipati terhadap partai politik karena perilaku para politikus yang cenderung tidak jujur dan korup.

Bahkan, sejakmenjelang berakhirnya era Megawati hingga senja kala kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini, beberapa menteri, puluhan anggota DPR, gubernur, DPRD I, bupati, dan wali kota, serta anggota DPRD II, menjadi pesakitan di penjara.

Karena situasi inilah maka berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) 2014 benar-benar belum bisa diprediksi ujungnya. Lihatlah betapa keras badai menghantam biduknya sehingga SBY sebagai ketua Majelis Tinggi terkesan tak berani mencari tokoh yang sepadan dengan dirinya untuk diusung PD.

Ia dengan keras pula menepis kemungkinan memunculkan istrinya, “The First Lady” Ani Yudhoyono. “Dalam kapasitas saya sebagai ketua Majelis TinggiPartai, setelah berkomunikasi dengan ketua umum partai, saya ingin sampaikan bahwa saat ini PD belum tentukan Capres 2014,” ujar SBY saat memberikan pidato di acara “Sarasehan Partai Demokrat” di PRJ Kemayoran, Jakarta Pusat, di penghujung akhir 2011.

Begitulah “titah” SBY yang pasti menjadi pegangan kader-kader PD. Jangan harap ada yang berani berbeda apalagi menentangnya. Kalau istrinya saja tidak, apalagi yang lain. Kini tinggal rakyat yang menimbang.

Bahkan, jenderal yang paling “jago” berhitung ini seolah tampak menyerah sehingga mulai menyebut-nyebut nama Tuhan, sesuatu yang sulit ditemukan dalam kamus SBY. “Untuk jadi presiden, sesungguhnya perlu dapat dukunganrakyat yang kuat dan berkah Allah SWT,” katanya.

Meskibegitu, kalau masih mungkin memilih, SBY menginginkan yang muda. Karena tak muda lagi, jelas ia tak menginginkan istrinya. Bukan Ani Yudhoyono, lalu siapa?  Anas Urbaningrum? Hampir mustahil. Ketua Umum DPP-PD ini kabarnya hanya kuat di inner circle-nya. Di kalangan senior, ia kabarnya sudah habis. Kekuatan di luar PD setali tiga uang. 

ARB Tak Diinginkan Partai Golkar telah menegaskan pencapresan Aburizal Bakrie. Tapi itu tak akan mudah. Selain masih adanya resistensi internal, di mata rakyat ARB—begitu Aburizal minta namanya disingkat, bukanlah tokoh yang diinginkan.

Dari sisi internal, Jusuf Kalla (JK), mantan Ketua Umum Partai Golkar dan mantan wapres, jelas tidak mungkin diabaikan. Kekuatannya melimpah, popularitasnya jelas di atas ARB. JK amat pintar menabung kekuatan politiknya. Partai Nasdem pun tak akan berat hati menawarkan jasanya. Nasdem plus sisa-sisa “laskar pajangnya” di Beringin akan sangat berarti bagi JK.

Jadi, yang diinginkan bukan ARB. Namun, jika ukurannya usia, JK juga bukan yang diinginkan, tapi ia cerdik.  Belakangan muncul wacana kongsi dua kekuatan: Beringin dan Banteng. Melalui rakernasnya di Bandung, Banteng tetap istiqamah untuk tak melepas ikonnya, Megawati.

Bahkan suaminya, M Taufiq Kiemas,  tak suka Megawati “mentas” lagi. Di kandang banteng, pengaruh Kiemas tak bisa diabaikan. Yang jelas, dari beberapa kekuatan internalnya saja, yang diinginkan bukan Megawati. Lalu siapa? Bagaimana dengan Puan Maharani? Dia jelas anak ideologis ”Banteng” sekaligus anak kandung Megawati.

Tapi aura politik Puan belum sejajar dengan tokoh-tokoh lain. Kiprahnya belum kelihatan, kecuali di dalam partainya sendiri. Di DPR, nama Puan berada di bawah bayang-bayang rekan separtai, Ganjar Pranowo atau Maruarar Sirait, misalnya. Apalagi dengan Pramono Anung yang kepak sayapnya sudah merentang jauh. Jadi, Puan juga bukan calon yang diinginkan.

Partai Menengah Bingung Beginilah gambaran sesungguhnya internal di tiga partai terbesar, PD, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan, dua tahun menjelang Pilpres 2014. Di luar ketiganya, masih ada kelompok menengah, seperti PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.

Dalam kancah perpolitikannasional dan peta pertarungan memperebutkan kursi RI-1 dan RI-2, mereka tidak berada dalam posisi determinan. Kehadiran mereka hanya untuk memperkuat fungsi dan posisi yang sudah dimiliki ketiga partai besar di atas. Kenapa? Karena partai kelas menengah ini tidak memiliki figur yang benar-benar melebihi kapasitas partai. 

Tidak ada tokoh semacam Gus Dur di PKB atau Amien Rais di PAN.  Muhaimin Iskandar jelas tak sekelas dengan Gus Dur. Meski begitu, Ketua Umum DPP-PKB itu berdiri berseberangan jalan dengan pamannya itu, hingga Gus Dur dijemput maut. Begitu pula M Hatta Radjasa. Saat partai matahari itudilahirkan, dia bukan siapa-siapa.

Hatta ada di bawah bayang-bayang tokoh lain, semisal Faisal Basri, sekjen pertama PAN. Apalagi dengan Goenawan Mohamad, AM Fatwa, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Heraty, Emil Salim, Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya. PAN menyodorkan nama Hatta. Seriuskah ? Bahkan, sebagai mahagurunya, Amien Rais tampak kurang “pede”.

Urusan akan kian berat, karena lumbung PAN, PP Muhammadiyah, menampik terlibat dalam urusan politik praktis. Bos Muhammadiyah, Din Syamsuddin, belum-belum sudah berteriak. Yang sejatinya berani mengusung nama Hatta Radjasa adalah para demonstran.

Mereka membawa gambar Hatta terkaitan kasus hibah 60 gerbong KA eks Jepang saat masih menjadi Menteri Perhubungan. Jadi, bukan Hatta yang diinginkan. Lalu siapa? Selain PAN, masih ada PKS. Tapi partai yang dikenal mempunyai sistem pangkaderan paling militan ini tengah dirundung masalah. Konflik internalnya sampai mencuat ke ranah publik.

Sekjen PKS HM Anis Matta dipaksa diam oleh tarik-menariknya kekuasaan. Sikap Anis yang mengendur adalah buah dari perombakan kabinet pertama KIB II. Sayang sekali PKSterlambat, kalau cerdik, tentu jatah kursi mereka di KIB IItak akan berkurang.

Kini, jangankan ikut meneriakkan kandidat presiden, mengurus diri sendiri bukan perkara mudah bagi partai yang lahir sebagai berkah reformasi itu. Praktis, PKS tidak memiliki tokoh sekuat HidayatNurwahid, sang mantan presiden. Tifatul Sembiring? Dia kalah kelas, sementara Didin Hafidhudin sudah lama mengundurkan diri.

Nur Mahmudi kelasnya turun menjadi Wali Kota Depok, Jawa Barat. Praktis PKS hanya mempunyai Hidayat. Nama-nama lain dari partai lain tinggal PPP dengan Suryadharma Ali-nya, Partai Gerindra yang masih setia dengan Prabowo Subianto-nya, dan Partai Hanura yang nyata-nyata sudah kehilangan gairah.

Bahkan, nama Wiranto, pendiri Hanura, sudah mulai lamat-lamat terdengar, berdiam di alam bawah sadar dunia politik. Khusus Hanura, performanya amat bergantung kepada kadernya di DPR, Akbar Faisal. Belakangan, Faisal yang merasa kesepian agak tenang setelah mentasnya Syarifuddin Sudding. Tapi Faisal pasti akan bersiap mencari kendaraan baru.

Praktis, tidak ada kandidat yang benar-benar menarik. Ternyata capres yang dicari bukan Ani, Anas, ARB, JK, Megawati, Puan, apalagi Hatta dan Prabowo, terlebih Wiranto. Mereka masuk kelompok “Bukan”. Yang dicari adalah calon yang bukan “Bukan”. Siapa mereka? Mungkinkah Sri Mulyani Indrawati, Moh Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, Jimly Asshiddiqie? Entahlah!

Capres 2014, Monopoli Parpol

Capres 2014, Monopoli Parpol
Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG
Sumber : KOMPAS, 19 Januari 2012


Dua tahun sebelum Pemilihan Umum Presiden 2014 mulai muncul sejumlah nama yang ingin maju sebagai calon presiden atau yang dianggap sebagai tokoh yang layak ditampilkan. Mereka datang dari dalam ataupun dari luar partai. Siapa yang betul-betul akan muncul menjadi calon?

Kita bisa belajar dari Pilpres 2004 dan 2009. Pada pertengahan 2003, Kompas memuat dua halaman foto puluhan tokoh yang dianggap punya potensi jadi capres/cawapres. Dari sepuluh capres dan cawapres, hanya satu nama yang tak tercantum dalam daftar itu. Dalam Pilpres 2009, jumlah calon berkurang jadi enam, empat di antaranya tokoh Pilpres 2004.

Tokoh baru adalah Prabowo dan Boediono. Dari 12 nama capres/cawapres, ada yang pernah jadi jenderal TNI AD, pernah jadi menteri, pernah jadi pejabat tinggi negara, dan ada tokoh ormas Islam.

Tiga Partai

Dalam Pilpres 2014 diperkirakan batas minimal perolehan suara untuk bisa mengajukan 
capres tetap 20 persen. Diduga tiga partai yang akan mendapat suara tinggi, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, dan PDI-P. Kalau dua dari tiga partai itu bergabung, hanya akan ada dua pasang calon. Peluang PD dan PDI-P bergabung amat kecil.

Kalau ambang batas minimal jumlah perolehan suara partai untuk masuk DPR dipatok lima persen, tidak banyak partai menengah yang bisa lolos, apalagi partai-partai kecil. Kalau ambang batas itu diturunkan menjadi empat persen, akan lebih banyak yang lolos.

Tampaknya partai-partai yang bisa mengajukan capres/cawapres tidak punya tokoh yang menjadi idaman masyarakat luas. Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar tampaknya akan menjadi capres dari partai berlambang pohon beringin ini. Masyarakat tidak banyak tahu apa prestasi Aburizal Bakrie yang menonjol untuk bangsa dan negara sehingga dapat diharapkan akan menjadi presiden yang memihak rakyat. Hal yang diingat oleh masyarakat adalah sikap tidak menepati janji terhadap korban Lapindo.

Megawati masih menjadi andalan PDI-P karena dalam jajak pendapat masih mendapat suara tertinggi kalau tidak ada Susilo Bambang Yudhoyono. Kita tidak mencatat prestasi yang menonjol selama Megawati menjadi presiden 2001-2004. Dengan usia yang meningkat, kita tidak banyak bisa berharap dari Megawati. Di dalam PDI-P ada sejumlah 
tokoh muda berpotensi, tetapi tidak bisa muncul karena adanya politik dinasti.

PD tidak punya tokoh internal yang layak ditampilkan. Anas Urbaningrum, walaupun secara hukum tidak atau belum terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi, secara politis sudah sulit menjadi capres/cawapres. Ada kelompok internal PD yang ingin mengajukan Ny Ani Yudhoyono, tetapi tampaknya Presiden Yudhoyono tidak mendukung. Mungkinkah PD mencari tokoh di luar partai yang layak menjadi capres dari berbagai segi: kemampuan, integritas, dan tingkat keterpilihan (elektabilitas)?

Calon dari Luar Partai

Di luar ketiga parpol itu, ada sejumlah tokoh parpol yang secara terbuka sudah menyatakan ingin jadi capres, yaitu Prabowo (Partai Gerindra), Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional), dan Suryadharma Ali (Partai Persatuan Pembangunan). Ketiganya akan mendapati hambatan dalam hal minimnya dukungan masyarakat terhadap partai dan pribadi. Mereka harus kerja keras dan cerdas meningkatkan dukungan masyarakat, tetapi tidak mudah bagi mereka untuk melakukannya.

Penting untuk dicatat bahwa di luar parpol ada tokoh yang oleh banyak pihak dianggap punya potensi menjadi cawapres, bahkan menjadi capres walaupun peluang untuk dicalonkan kecil. Tokoh itu ialah Jusuf Kalla (JK), Mahfud MD, Jenderal Pramono Edhie, dan yang terakhir muncul adalah Dahlan Iskan. Fenomena kemunculan Dahlan Iskan menegaskan pola 2004 dan 2009: bahwa untuk menjadi capres/cawapres harus menjadi menteri atau unsur pimpinan lembaga tinggi negara. Tanpa menjadi Menteri BUMN, tidak mungkin nama Dahlan Iskan melejit.

Tentu potensi itu akan tetap jadi potensi kalau tidak ada dasar kuat memunculkan mereka. Namun, yang paling penting adalah tingkat keterpilihan (elektabilitas) mereka yang perlu diukur secara berkala. Tiga dari empat tokoh itu dikenal luas oleh masyarakat dan sering tampil di media cetak dan elektronik. JK telah terbukti menjadi pemimpin yang efektif, tetapi punya kelemahan dalam masalah usia walaupun kesehatannya masih cukup baik. Dahlan Iskan perlu membuktikan dulu kinerjanya sebagai Menteri BUMN. Dari segi usia tidak terlalu tua, tetapi faktor kesehatannya perlu mendapat perhatian.

Jenderal Pramono Edhie yang mulai disebut-sebut sejumlah tokoh PD juga harus membuktikan dulu prestasinya. Rakyat tidak banyak mengenal tokoh ini karena jarang muncul di media. Keberadaan sebagai ipar Yudhoyono bisa bernilai positif, tetapi bisa juga sebaliknya. Mahfud MD sudah cukup baik menunjukkan kinerja sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia dikenal sebagai tokoh yang punya kemampuan, berani, dan berintegritas.

Mungkinkah Calon non-Partai?

Memang masih ada satu-dua tokoh yang menjanjikan. Namun, rasanya sulit untuk mengharap mereka muncul sebagai tokoh baru yang layak ditampilkan sebagai capres/cawapres. Berarti capres/cawapres yang bisa muncul adalah monopoli parpol besar. Kalau tidak ada hal-hal luar biasa atau adanya ”langkah kuda” sejumlah parpol menengah untuk berani menampilkan capres di luar partai, kita akan mempunyai pilihan yang tidak menyenangkan.

Besar kemungkinan kita terpaksa memilih capres yang belum jelas seberapa besar sumbangsihnya bagi rakyat, tetapi bisa menjadi capres hanya karena dia mempunyai dana besar untuk membuat dirinya terpilih sebagai ketua umum partai besar. Atau mungkin kita terpaksa memilih capres karena dia adalah ketua umum partai besar tetapi tidak jelas benar apa kemampuannya untuk bisa memikul tanggung jawab berat memimpin negara dengan 240 juta rakyat yang punya segudang masalah.

Semoga masih ada hati nurani di antara pemimpin partai-partai menengah untuk mau bersama-sama mencari calon yang memenuhi kriteria kemampuan, karakter, dan integritas, serta tingkat keterpilihan tinggi. Kalau mau membuka mata, pikiran, dan hati, masih cukup waktu untuk mencari tokoh tersebut. Kalau partai-partai itu lebih memikirkan kepentingan sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara, dikhawatirkan tidak akan mampu membawa rakyat kecil menuju kesejahteraan yang merata sesuai janji kemerdekaan.