Tampilkan postingan dengan label Daoed Joesoef. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daoed Joesoef. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Maret 2014

“Bapak Bangsa”

“Bapak Bangsa”

Daoed Joesoef  ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS,  19 Maret 2014
                            
                                                                                         
                                                                                                             
POPULIS orisinal Amerika, Andrew Jackson, mengatakan, ”Any American could fill any office.” Bapak revolusi Rusia, Lenin, berujar, ”Any cook can run the state.”  Kalau di Indonesia kelihatannya setiap politikus kepartaian punya voorecht, diutamakan lebih dahulu untuk menduduki kursi di jajaran trias-politica (sic).

Padahal, semua parpol mengesankan tidak lagi dipandu oleh ide politis, tetapi opini kondisional yang sama sekali tidak mengikat orang yang mengatakannya. Baik sidang kabinet maupun parlemen tidak lagi berupa diskusi serius dari ide-ide politik, yaitu pembahasan tentang bagaimana manusia berperilaku, bukan bagaimana pasar berperilaku.

Adapun semua dokumen asli kelahiran negara-bangsa Indonesia, terutama Konstitusi-45 dan diktum Pancasila, merupakan an immensely intricate judgement mengenai bagaimana seharusnya tingkah laku warga negara Indonesia, berdasarkan kondisi saat dokumen-dokumen itu ditulis. Berhubung diskusi ide-ide politik dielakkan di sidang-sidang tersebut tadi, menjadi sungguh tidak jelas apakah semua ketentuan dokumen kemerdekaan itu masih berlaku, berdasarkan kondisi kekinian yang ada.

Perlu spesialis

Suatu negara besar tidak mungkin diurus secara amatiran. Ada alam ide dan ada alam praktis. Universitas adalah contoh dari keberadaan alam ide. Adapun suasana tertentu di masyarakat, biasanya komunitas bisnis, yang berupa alam praktis. Namun, pemerintah tidak pantas menjadi salah satu dari kedua penampilan alami tadi. Ide, terutama ide politik, punya konsekuensi dan kontemplasi ide adalah suatu usaha yang betul-betul praktis.

Administrasi pemerintahan semakin intensif dan diniscayakan dikelola para spesialis. Progres memang memerlukan spesialisasi. Namun, menurut George F Will, guru besar filosofi politik, spesialisasi mengandung pengabaian banyak hal yang diniscayakan. Kekurangan ini membahayakan progres dan, akhirnya, mengganggu peradaban. Maka, perlu adanya kesadaran tentang bumi intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kontemporer.

Bagi sebagian orang, ide adalah penyuluh dunia (hidup dan kehidupan). Bagi yang lain, ia sekadar refleksi dari keadaan sesaat bermasyarakat. Kearifan mencari kebenaran di pertengahan kedua pendapat tersebut. Ide adalah unsur budaya dan budaya merupakan suatu fakta human, tak terpisahkan dari manusianya. Maka, ia tidak luput dari pengaruh milieu di mana tergolong makhluk penghayatannya.

Namun, pemikiran bukanlah produk dari konsumsi banal, buah dari suatu organisme sosial tertentu, disesuaikan pada tuntutan organisme ini. Jika budaya, di satu saat dari evolusi humanitas, memang tergantung pada evolusi tersebut, ia merupakan, melalui vokasi dan reaksi, sebuah ragi dari evolusi (baca revolusi). Berpikir adalah memberikan pertimbangan (judgement), bukan menerima begitu saja situasi yang mencetuskan pemikiran itu. Budaya bertujuan alami untuk mempertimbangkannya dan, sebagai konsekuensi, menyiapkan perubahan.

Tidak ada budaya yang tidak mempertanyakan ide dan pemikiran yang diterimanya. Berarti para intelektual menurut pembawaannya merupakan penentang. Pertarungan sengit memang sering terjadi atas nama pemikiran atau konsepsi lain dari budaya. Maka, orang-orang yang merasa terpanggil untuk menjadi ”penyambung lidah rakyat” dan, karena itu, merasa berhak berbicara ”atas nama rakyat”, harus mampu menjelaskan destiny yang pantas bagi hidup dan kehidupan rakyat di alam kemerdekaan bangsa.

Menjelang pileg dan pilpres, para caleg dan capres rata-rata bermaksud mengadakan perubahan dalam pembangunan ekonomi. Berdasarkan pokok-pokok uraian mereka ternyata yang dimaksudkan dengan ”perubahan” itu adalah mengubah angka pertumbuhan menjadi di atas 5 persen sambil meningkatkan pemerataan. Aspirasi ini senada dengan pendapat para pakar ekonomi asing.

Cara memicu pertumbuhan juga tetap seperti dulu, yaitu melalui konsep pembangunan ekonomiko-teknokratis yang sejalan dengan pikiran para pemodal internasional, Bank Dunia dan IMF. Kita ini menderita imbasnya, berupa kehancuran ekologis, polusi, penggundulan hutan, dan rayahan sumber daya alam oleh pebisnis asing. GDP yang menjadi ukuran pertumbuhan memang naik, di zaman Orba bahkan hingga 8 persen, tapi rakyat lokal hanya menjadi ”penonton” dan kita sebagai bangsa menjadi debitor besar di pasar modal/finansial internasional.

Tekno-nasionalisme

Para pakar nasional, selaku murid manis dari guru asingnya, tidak mau tahu bahwa yang kita perlukan adalah pembangunan nasional dan ia tidak identik dengan pembangunan ekonomi. Yang menjadi taruhan pembangunan bukan ekonomi, melainkan eksistensi negara-bangsa Indonesia. Tahun 60-an abad lalu para pakar ekonomi asing itu dan para ekonom-teknokrat kita mengejek gaya pembangunan RRC dan India yang tidak mau mengikuti ”nasihat” IMF dan Bank Dunia. Kedua negara ini, yang dulu membangun sesuai konsep kenasionalan masing-masing, kini tampil sebagai raksasa ekonomi dunia dengan ketahanan nasional relatif kuat. Mereka telah mampu mengembangkan tekno-nasionalisme.

Manusia berjangka hidup terbatas. Rakyat, sebaliknya, adalah abadi. Dalam dimensi waktu yang bergulir, keabadian rakyat terdiri atas generasi. Berarti, kita yang hidup sekarang secara fungsional bukan pewaris, bukan mewarisi kekayaan alam dari nenek moyang, generasi pendahulu, melainkan peminjam dari anak cucu, generasi mendatang. Kita bersalah kalau sampai melenyapkan peluang potensial mereka membangun di zamannya. Sebagai debitor, seharusnya kita bisa mengembalikan apa yang kita pinjam paling sedikit berkondisi sama dengan saat kita pinjam.

Maka, pertanyaan krusial di ”musim pemilu” sekarang bukanlah tentang sistem produktivitas dan efisiensi, melainkan cara/jalan kinerja sistem yang menetapkan pertimbangan aksinya sendiri, menentukan alamnya sendiri, independen, dan lepas sama sekali dari kebutuhan rakyat yang hidup dalam alam itu karena ketidaktahuannya. Jadi, dengan ”perubahan” di bidang pembangunan ini, di tengah-tengah maraknya kerusakan alam, para caleg dan capres seharusnya menanggapi maksud baiknya sebagai ”etika masa depan”.

Etika ini adalah etika yang harus dihayati sekarang untuk dan demi masa depan. Ia adalah yang diniscayakan memandu jalannya pembangunan nasional, bukan logika ekonomika pure and simple. Dengan kata lain, pembangunan tidak hanya bersifat futuristik, tetapi harus pula berpembawaan proaktif. Kita bukan anak-anak asing, justru di zaman globalisasi. Sumber daya alam bukan sesuatu suku, daerah, atau adat spesifik, melainkan milik rakyat, sebutan kolektif dari warga negara (citizen). Maka, mereka harus diajak bicara tentang paradigma pembangunan karena mereka yang akan menjadi penderita utama dari kerusakan lingkungan. Local wisdom mereka perlu didengar.

Orang yang merasa terpanggil untuk memimpin Indonesia, pemerintah yang dipilih untuk mengatur hidupnya, berkedudukan tak lain daripada juru kuasa yang menggunakan semua jenis sumber pembangunan. Adalah kewajiban mereka dalam fungsi tersebut bersikap selaku boni patres familias, selaku kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menyerahterimakan Tanah Air kepada generasi mendatang dalam keadaan yang sebisa mungkin masih berpotensi, terawat lebih baik. Bila tidak, kita, generasi sekarang yang masih berpeluang besar untuk membangun, akan dihadirkan di pengadilan sejarah bangsa sebagai tersangka penyalah guna kekuasaan. Di saat naas itu, penalaran economic’s textbook, yang dahulu mendorong kita untuk membuat kesalahan historis fatal tersebut, yakinlah, tidak akan mampu membela kita.

Lebih dari dua abad yang lalu, filosof politik Perancis, Alexis de Tocqueville, telah mengingatkan bahwa ”A democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources.”

Minggu, 19 Mei 2013

Hari Kebangkitan Nasional


Hari Kebangkitan Nasional
Daoed Joesoef ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 20 Mei 2013

Jika katak tercemplung ke dalam baskom berisi air mendidih, langsung melompat ke luar, maka ia selamat. Jika tercemplung ke dalam baskom berisi air dingin dan air berangsur-angsur dipanaskan, ia akan tetap berenang ria di baskom, merasa kebutuhan alaminya diperhatikan, sampai akhirnya mati sebagai rebusan konyol, sebab ketika sadar bahwa air semakin mendidih, ia tidak kuasa lagi melompat ke luar dari baskom karena kekuatannya sudah habis dikuras gerakan renang ria.

Nasib kita akan sama dengan keadaan katak dalam kasus kedua itu, terbuai oleh kekeliruan dari kebijakan penguasa negeri di hampir semua bidang kehidupan. Dampak kekeliruan itu mudah dipahami dalam konteks suhu yang berangsur-angsur memanas. Ia tak begitu tragis dari hari ke hari, tetapi beda antara prareformasi dan pascareformasi, bahkan antara sekarang dan masa depan, sungguh tragis.

Sisa-sisa kesadaran

Maka, mari bangkit di Hari Kebangkitan Nasional. Sebelum terlambat kumpulkan sisa-sisa kesadaran, jangan terus dibuai angka-angka tipuan yang meluncur dari mulut pemerintah, bahkan elite politik tak segan pakai atribut agama sebagai bungkus kebohongan. Ya ampun, lies, damned lies and income statistics alias GNP!

Tanggal 20 Mei diresmikan jadi Hari Kebangkitan Nasional berhubung pada hari itu, di tahun 1908, dibentuk organisasi Budi Utomo, dipelopori beberapa pemuda terdidik, antara lain R Soetomo dan R Goenawan Mangoenkoesoemo. Organi- sasi ini lahir sebagai hasil perpaduan antara semangat nasional dalam menentang penjajah dan kesadaran intelektual tentang kemajuan nasional melalui pengembangan pendidikan dan kebudayaan. Dari sepak terjangnya, jelas bahwa para pemuda terdidik dan tercerahkan itu mengarahkan pikiran dan perbuatan mereka secara organisatoris ke masa depan, satu masa depan yang bermuara pada pembentukan satu negara-bangsa.

Kita perlu bangkit bersama sebab (hendaknya) menyadari bahwa kita berada dalam satu perlombaan antara kesanggupan human yang terbatas dan bahaya yang kian meningkat dari lingkungan fisik dan teknologis. Saban kali kita mengintroduksi sistem, metode kerja, alat atau paradigma baru, saban kali kita mengadakan pembaruan kelembagaan atau keorganisasian, saban kali itu pula kita sebenarnya membuat lingkungan kita semakin kompleks.

Cara apa pun yang kita pakai menghadapi situasi seperti itu, terang kita masih jauh dari batas biologis, tetapi saya khawatir kita sudah membentur batas psikologis yang ada. Namun, ”masa depan” tetap jadi acuan berpikir dan bertindak. Perlu disadari bahwa ia tak dapat diramalkan atau diketahui secara tepat sebelumnya dengan menggunakan bola kristal apa pun.

Masa depan itu sulit diramalkan, mungkin karena masa depan itu tak kita siapkan dengan baik sejak sekarang. Maka, sikap logis yang harus kita ambil menghadapi masa depan bukan meramalkannya, melainkan membangunnya secara metodis dan sistematis melalui rangkaian kebijakan yang dilancarkan berturut-turut, berkesinambungan, demi terciptanya masa depan yang didambakan dan mencegah masa depan yang tidak dikehendaki.

Salah satu kebijakan pokok pemerintah demi membangun masa depan itu adalah kebijakan pendidikan dan kebudayaan, sebab salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan itu berupa kemajuan dan intelegensi manusia, dua unsur yang merupakan tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan par excellence untuk mengembangkannya di kalangan warga negara kita. Namun, sudah rahasia umum betapa kementerian ini tak menjalankan fungsinya sesuai dengan yang diharapkan, yaitu ideal kemerdekaan nasional dan termaktub dalam UUD 1945.

Nyaris semua konsep yang mendasari kebijakan kementerian ini ditolak Mahkamah Konstitusi. Berarti yang diporakporandakan oleh kebijakan pendidikan pemerintah adalah merusak masa depan melalui kebingungan yang ditimbulkannya di kalangan para peserta didik.

Tiga konsep

Pembangunan masa depan melalui kegiatan pendidikan dan kebudayaan tak hanya bertujuan menempa kemampuan anggota masyarakat membangun dirinya secara individual. Pendidikan dan pengembangan kebudayaan harus mampu memantapkan kesatuan sosial terhadap mana kita hendak hubungkan usaha pembangunan itu.

Setiap kali kita melangkah ke masa depan ketika bertekad membangun masa depan, kita tak boleh lupa berpaling sejenak ke masa lalu karena ia dalam dirinya merupakan koordinat yang mengingatkan apakah gerakan kita ke masa depan itu sudah melenceng atau tidak. Berarti kita, terutama para pengambil keputusan, perlu membaca sejarah perjuangan nasional kita yang serba unik.

Jadi, kesadaran yang kita bangkitkan di Hari Kebangkitan Nasional kita pakai untuk membenahi paling sedikit tiga konsep. Pertama, konsep pembangunan pendidikan dan kebudayaan selaku jalur pokok pemerataan dalam proses pembangunan negara-bangsa. Melalui pemerataan pendidikan, kita berupaya agar setiap warga negara, di mana pun dia berada, dapat memiliki kemampuan yang diperlukan guna berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, tidak hanya sebagai penonton.

Kedua, konsep pembangunan nasional selaku pengukuh tekad berbangsa. Bangsa pada asasnya adalah tekad hidup bersama. Jadi ia bukan menyatakan suatu fakta mapan, tidak pernah in actu, tetapi selalu in potentia. Dengan kata lain, ”bangsa” bu- kan menarasikan keadaan, melainkan suatu kemauan untuk bergerak bersama- sama, suatu usaha kolektif, yang bagi kita berupa ”pembangunan nasional”.

Ketiga, konsep pembangunan pertahanan dan keamanan nasional, guna menjaga apa-apa yang sudah kita peroleh dari pembangunan dan mempertahankan eksistensi kita selaku negara-bangsa maritim yang berposisi strategis, di antara dua benua dan dua samudra. Kita tidak boleh lenyap dari peta negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat di muka bumi.

Konsep itu diniscayakan karena ketiga jenis pembangunan tadi perlu bersinergi demi wujudnya masa depan yang kita dambakan sejak zaman prakemerdekaan.

Kamis, 02 Februari 2012

Demokrasi yang Sakit


Demokrasi yang Sakit
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 3Februari 2012


Wahai para politikus dan penguasa negeri, bukalah mata dan pikiran! Kerusuhan Sidomulyo dan Bima, gerakan separatis di Aceh, Papua, dan Ambon adalah ”hasil nyata” dari sinergi dua kekuatan destruktif—demokrasi sakit-sakitan dan pembangunan eksklusif—karya kalian.

Demokrasi sakit setelah ia diterapkan tidak langsung. Yang diderita adalah penyakit institusional, motivasional, dan mekanistis, disebut neurosis politis. Neurosis adalah kondisi yang bisa dialami siapa atau apa saja dalam mencapai tujuan.

Demokrasi punya tiga tujuan politis. Pertama (A), secara implisit dan dijadikan ideal, adalah menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Kedua (B), tidak dinyatakan secara eksplisit karena bersifat problematik, adalah menentang siapa atau apa pun yang mau menindas kepentingan rakyat.

Ketiga (C), kelihatannya tidak problematik: berdisiplin pada partai—dengan berpura-pura berpihak ke rakyat—melalui slogan ”demi kepentingan umum, ”atas nama rakyat”, ”vox populi vox dei”.

Demokrasi menderita neurosis apabila tujuannya yang riil, tetapi problematik (B) berbeda dengan yang resmi, tetapi tidak sungguhan, dan dibeberkan secara terbuka (C), begitu rupa hingga tujuan (B) diredam, terbengkalai. Begitu demokrasi terperangkap dalam kebingungan (neurosis) politis, ”logika” lebih banyak menghambat ketimbang membantu.

Apabila menganggap semakin ”logis” berusaha mencapai tujuan resmi, tetapi sebenarnya bohong-bohongan (C), semakin jauh ia dari tujuan riil dan problematik (B), semakin tidak berdaya ia memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan tujuan (B), jadi semakin tidak menjangkau tujuan riil yang didambakan (A).

Berarti, semakin logis demokrasi menganggap usaha mencapai tujuan yang dengan resmi dibeberkan (C), akan semakin gagal ia secara riil (A) dan (B). Maka, agar bisa sukses demokrasi perlu bertindak ”tidak logis” (illogic). Peredaman logika ini menghambat kemajuan sekaligus melecehkan logika human. Dengan kata lain, logika di sini menjadi penghambat dan bukan pembantu kemajuan, termasuk dalam urusan pelayanan kepada rakyat yang katanya pemilik negara berdemokrasi.

Kerdilkan Otonomi Warga

Selain cenderung meredam logika, demokrasi tak langsung mengerdilkan keotonomian warga dan menepis daya kritis anggota parpol. Para warga dimotivasi agar berkelompok dalam parpol dan organisasi yang dilembagakan inilah yang menetapkan calon-calon wakil. Baru sesudah itu warga ”dipersilakan” memilih di antara calon-calon itu, yang akan mendapat kepercayaan formal sebagai wakil mereka serta berlabel ”wakil rakyat” di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sesudah wakil terpilih, rakyat yang memilih kehilangan keotonomiannya dalam bertindak secara politis. Kehilangan ini oleh mekanisme pemilihan disulap hingga kelihatannya wajar-wajar saja.

Yang turut lenyap, tetapi tersembunyi dari penglihatan sebagai akibat bekerjanya mekanisme tersebut, adalah criticism yang justru diperlukan bagi kesehatan demokrasi. Ia lenyap setelah atribut rakyat selaku individu otonom diserahkan, padahal sang wakil yang menerima belum tentu menghayati. Sebab, dalam memfungsikan criticism, sang wakil masih punya rujukan lain, yaitu kehendak parpol yang telah ”mendudukkan” dia di kursi terhomat Dewan Perwakilan Rakyat.

Jadi, built-in mechanism institusional dan motivasional yang dimiliki oleh neurosis politis menyelubungi suatu kekeliruan faktual: bahwa organisasi politik tidak bisa melahirkan manusia otonom karena diskusi politik paling jauh hanya menggugah semangat mengkritik (the spirit to criticize). Semangat ini tidak berkembang menjadi semangat kritis (critical spirit) karena adanya disiplin partai. Semangat kritis terkait dengan keberanian untuk membedakan antara benar dan salah, bebas dari bujukan, resolusi rapat akbar, ataupun disiplin kepartaian.

Wakil rakyat dan politikus dibiasakan berdisiplin kepada partai, bukan kepada rakyat pemilih yang mengorbankan keotonomian dan kekritisannya. Mereka tidak mengimbangi pengorbanan rakyat itu dengan mengembangkan semangat kritisnya berhubung parpol sudah menjadi sumber nafkah yang pasti. Maka, dengan dalih ”disiplin partai”, para wakil rakyat dan politikus paling jauh mengkritik parpol dan politikus lain, bukan parpolnya sendiri dan kawan-kawan separtai. Sikap politis semacam ini semakin meracuni sosok demokrasi yang sudah sakit-sakitan.

Pembangunan nasional punya peluang untuk menyehatkan demokrasi. Pangkal kesehatan ini bukan eksistensi formal lembaga-lembaga, melainkan seberapa jauh suara yang berbeda dari berbagai lapisan rakyat didengar, jadi mengacu pada ”government by discussion”, yaitu kapasitas menggandakan reasoned engagement melalui peningkatan ketersediaan informasi dan kelayakan diskusi interaktif.

Hal ini justru dilecehkan oleh pemerintah, sebelum dan sesudah reformasi, dengan menyodorkan ke rakyat keputusan pemerintah yang serba jadi, ”take it or leave it”. Dengan mereduksi ”pembangunan nasional” menjadi hanya ”pembangunan ekonomi”, di tataran makro, kebiasaan ekstraktif meningkat ekstensif dan intensif. Akibatnya lebih runyam daripada zaman penjajahan. Kalau dulu luas tanah berhadapan dengan 70 juta penduduk, sekarang 230 juta manusia memperebutkan luas tanah yang sama dengan kandungan alam jauh berkurang. Penduduk dipasok kaum miskin, berhubung the poor gets children while the rich gets richer.

Pasar Kalahkan Aspirasi

Di tataran mikroekonomi, suasana produksi didikte oleh ”prinsip pasar” dari ajaran teori ekonomi pure and simple, bukan oleh aspirasi rakyat sewaktu revolusi dulu. Maka, mesin produksi tidak lagi membuat ”barang/jasa”, tetapi ”simbol” kemewahan dari orang-orang bertenaga beli tinggi.

Jadi, setelah dalam pembangunan demokrasi rakyat mengorbankan keotonomiannya tanpa imbalan sepadan, dalam pembangunan nasional rakyat pun menjadi ”penonton pasif”, tidak dianggap manusia bermartabat, tidak ”diwongke”. Rakyat hanyalah ”angka rata-rata”, suatu hal yang dikutuk oleh Disraelli dengan ungkapan ”lies, damned lies, and statistics”.

Tidak heran kalau rakyat jengkel dan gampang marah. Hal sepele mudah menyulut amuk massa karena stres. Ketika kekecewaan masih individual, rakyat kembali ke suku atau daerah asalnya. Jika kekecewaan meliputi suku atau daerah, rakyat akan serentak keluar dari NKRI.

Senin, 23 Januari 2012

Disiplin Budaya Ilmu Pengetahuan


Disiplin Budaya Ilmu Pengetahuan
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012


Kompas telah menurunkan tajuk (10/1) yang langsung membangkitkan kenangan indah selagi saya belajar di Sorbonne, Perancis. Tajuk ini membahas buah pikiran kimiawan Ilya Prigogine, peraih Nobel 1977, demi pemahaman keadaan Indonesia yang mengkhawatirkan dewasa ini.

Pemikiran teoretisnya tentang ”struktur disipatif”, creation of order through disorder, telah dielaborasi oleh sosiolog Edgar Morin jadi suatu metode berpikir antisipatif tentang (perkembangan) sesuatu kejadian: dari ”tata tertib” (order) ke ”kekacauan” (disorder) ke ”interaksi” dan ke ”tata tertib kembali” (organisasi).

Perbuatan sosiolog ini kiranya mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh matematikawan Laplace terhadap karya Newton tentang alam semesta. Dia menciptakan rumus-rumus matematika canggih sebagai penjelasan nalariah mengenai hal-hal yang belum terjelaskan Newton dengan alasan ”invisible hand”. Dengan rumusan matematikanya, Laplace mampu membilang tiap keadaan masa datang dan masa lalu dalam sistem alam semesta.

Dia menunjukkan karyanya kepada Napoleon. Setelah mempelajarinya, sang Kaisar menanyakan mana kehadiran Tuhan, pencipta alam semesta ini. Laplace menjawab dengan ungkapan, yang kemudian menjadi begitu ”historis”, berbunyi: Sire, je n’ai pas besoin de cet hypothese—Tuhan, saya tidak memerlukan hipotesis itu.

Saya pernah bertanya kepada Abdus Salam, fisikawan Pakistan, bagaimana pendapatnya tentang ungkapan ini. Dari jawabannya tentang hubungan antara kesalehan dan nalar (akal), saya simpulkan bahwa tak menyebut Tuhan dalam usaha merumuskan hukum alam bukan berarti tak beriman, justru karena mengagumi Sang Pencipta alam secara ex-nihilo. Setelah saya kembali ke Tanah Air, Abdus Salam meraih Nobel Fisika pada 1979.

Pembelajaran Sejarah

Tajuk rencana Kompas menyatakan betapa pemikiran Ilya Prigogine merupakan suatu jembatan antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial. Memang benar. Penjembatanan ini berupa suatu pembelajaran baru ilmu pengetahuan yang pernah dibahas Ortega Y Gasset, filosof Spanyol, awal abad XX. Dia adalah—menurut Albert Camus, peraih Nobel Sastra 1957 dari Perancis—penulis terbesar Eropa sesudah Nietzsche. Pembelajaran baru ini adalah pengkajian ilmu fisika selaku ”disiplin kebudayaan” di samping sebagai ”disiplin ilmiah”. Peruntukan ganda ini mengingatkan adanya perbedaan antara suatu ”disiplin kebudayaan” yang secara vital terkait pada hidup dan kehidupan dan the corresponding ”disiplin ilmiah” yang mengasuh ”disiplin kebudayaan” tadi.

Fisika dan metode kerja keilmuannya merupakan salah satu instrumen esensial dari berpikir dan berpenalaran modern. Ia adalah ciptaan yang diwarisi oleh seluruh humanitas. Ke dalam ilmu pengetahuan yang satu ini telah dipompakan disiplin intelektual selama hampir lima abad. Kajian fisika selaku ”disiplin kebudayaan” berusaha menggali ide vital yang dikandung doktrinnya tanpa terlalu menonjolkan teknikalitas khas (matematika canggih) dari penalaran fisika.

Doktrin fisika terkait erat dengan konsep manusia tentang Tuhan, ketuhanan dan masyarakat, tentang materi dan bukan-materi, bersama dengan semua esensial lain untuk suatu kehidupan yang mencerahkan. Melalui pemaparan asas-asas fisika dan penelusurannya, dapat dijelaskan jalannya evolusi historis dari asas-asas tersebut.

Ide itu dikatakan ”vital” karena ia adalah persepsi kita, makhluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita. Jadi, ia merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian aktif kita tentang natur dunia kita beserta sesama makhluk yang mendiaminya, keyakinan mengenai hierarki dari nilai sesuatu. Adapun sistem nilai yang dihayati, per definisi, adalah kebudayaan.

Ide vital mengenai hidup dan bagi kehidupan serta dunia yang diciptakan disiplin ilmiah jadi kian jelas melalui pemaparan tentang gerakan-gerakan besar dari sejarah yang telah mengantar humanitas kepemisahan jalan-jalan kehidupan selama ini. ”Disiplin kebudayaan” dari ilmu sejarah bisa membantu pengembangan penilaian manusia karena ia menunjuk rangkaian kasus pengambilan keputusan di saat-saat krusial atau apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kondisi tertentu.

Machiavelli dan Bismarck menyimpulkannya sebagai pembelajaran sejarah. Bukankah Bung Karno juga cenderung berpikir begitu dengan mengatakan ”jas merah”, jangan melupakan sejarah. Jenderal Vo Nguyen Giap mampu memimpin pasukannya mengusir Perancis dan Amerika dari Vietnam dengan pembelajaran ilmu sejarah selaku ”disiplin kebudayaan”. Di zaman kolonial, dia guru sejarah sekolah menengah di Saigon dan tak pernah dapat pendidikan formal kemiliteran. Kepiawaian berperang diperoleh dari mempelajari kiat berperang Napoleon dan Jomini, marsekal kesayangan sang Kaisar.

Diskusi yang Mencerahkan

Diskusi interaktif dalam kelas selalu lebih meriah dan mencerahkan jika kuliah mengenai ”disiplin kebudayaan” dari sesuatu ilmu pengetahuan karena diikuti oleh lebih banyak mahasiswa dari aneka disiplin spesialis, lebih-lebih kalau dipandu oleh Prof Edgar Morin. Dia sangat meminati gejala multidimensional dan bukan disiplin yang membelah satu dimensi dalam gejala ini. Menurut dia, segala yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Jadi, penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak dipisah-pisah, tetapi bergabung menuju visi poliokuler. Artinya, orang menyiapkan diri menjadi ”a specialist in the construction of the whole”, suatu kualitas yang diniscayakan bagi pemimpin, terutama di bidang ketatanegaraan dan politik.

Tak jarang diskusi dilanjutkan para mahasiwa di klub-klub studi, di trotoar kafe-kafe yang bertebaran di sekitar Sorbonne. Keunikan diskusi lanjutan ini adalah bahwa ia bisa diikuti siapa saja, termasuk turis yang sedang lewat, hanya bermodal secangkir kopi sebagai sewa kursi. Kalau cuaca sedang baik, diskusi kadang dilakukan di Taman Luxembourgi yang berlokasi tidak jauh dari Sorbonne. Para peserta diskusi duduk atau tiduran di rumput, tanpa bayaran.

Suatu ketika diskusi di taman ini berupa ”disiplin kebudayaan” dari ilmu biologi. Seperti biasa, ada saja orang-orang yang bukan mahasiswa turut bicara. Salah seorang di antaranya sangat mengesankan karena pembahasannya teratur, betul-betul mengena dan bermutu, tentang apa-apa yang sedang didiskusikan. Bahasa Perancisnya lancar dan sesekali, kelihatan tanpa disengaja, telontar ungkapan dalam kata-kata Belanda. Saya terpaksa menerjemahkannya ke bahasa Perancis untuk teman-teman mahasiswa.

Agak lama dia turut berdiskusi, kemudian pergi begitu saja. Para mahasiswa tak peduli karena orang boleh datang dan pergi sesuka hati. Diskusi berjalan terus. Setelah bubar, salah seorang peserta asing, bukan mahasiswa, mengatakan bahwa orang yang sangat mengesankan itu adalah seorang guru besar dari Universite Libre di Brussel, Belgia, dan sedang didesas-desuskan sebagai salah seorang calon laureat Nobel, bernama Ilya Prigogine.

Jumat, 30 Desember 2011

Puisi Getir dari Titik Nadir


Puisi Getir dari Titik Nadir
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011


Ketika dilantik menjadi pembesar, sang reformis membuat ikrar: ”Di negeri ini kami berniat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan untuk semua.”
Karena ikrar sepanjang ini di mana-mana diucapkan, dia lama-kelamaan kelelahan. Ada usul dihapus saja kata ”di negeri ini” berhubung dia toh bukan pembesar di tempat lain, melainkan di sini. Usul ini dia setujui.

Ada pendapat supaya kata ”kami” tidak diucapkan lagi, bisa-bisa dianggap menyombongkan diri. Pendapat ini pun dia akui. Ada pula orang yang mengingatkan bahwa kata ”berniat” sudah tak lagi tepat. Ini berlaku sebelum dia diangkat. Jadi, sekarang dia sudah beraksi, mewujudkan apa-apa yang dikehendaki. Dia rasa memang begitulah seharusnya, maka kata ”berniat” dicoreng saja.

Mengingat roda pemerintahan berjalan lamban, kata ”mewujudkan” mengundang kegelisahan. Rakyat menjadi semakin tak sabar, cepat marah, dan bertindak kasar. Untuk mengelakkan semua ini, kata ”mewujudkan” tak perlu diulang lagi. Dia sependapat dengan ide cemerlang ini.

Setelah berjalan beberapa waktu, ada bisikan bahwa kata-kata ”keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan” merupakan pleonasme yang sarat dengan harapan yang bukan-bukan. Kalau semua itu suatu keniscayaan, tidak perlu kiranya digembar-gemborkan. Takut disebut demagog belaka, itu pun tidak lagi dia ucapkan.

Jadi, dari rangkaian ikrar begitu panjang, tinggal kata ”untuk semua”. Apa yang perlu ia ulang-ulang? Bukankah kedua kata tersebut mengandung tanda tanya: semua yang mana? Semua dari kelompok siapa? Siapa dari parpol apa? Dari daerah pemilihan mana? Kan, tidak semua yang dulu memilih dia? Maka agar rakyat tidak curiga, pemilih tidak kecewa dan tidak terus teringat menagih janji, kata ”untuk semua” tak usah dibicarakan lagi.

Tanpa Ikrar

Sekarang di mana pun dia berada, ikrar yang dulu dia diamkan. Lagi pula untuk apa direkayasa? Rata-rata orang Indonesia adalah makhluk pelupa. Kini dia cukup mengumbar senyum ceria, menyebar santun dan pesona. Protokol kenegaraan toh membuat dia bagai raja yang tak tercela.

Jadi ke titik nadir dia mundur kembali, untuk nyepi menenteramkan diri. Dia merasa berhak melakukan itu karena toh sudah berupaya sepenuh hati.

Rakyat yang berjejal di titik nadir sejak dahulu, sudah terbiasa menunggu. Maka sungguh beruntung jika pembesar bersedia turun gunung. Wis piro-piro, jika sang pembesar bersedia datang. Pawang hujan diminta menolak hujan, sedangkan para pelajar, dengan bendera di tangan, dikerahkan berjejer di sepanjang jalan.

Kegiatan lain kecuali penyambutan segera dilarang. Spanduk pun sudah siap terpasang: selamat datang pembesar sayang! Ini bukan spanduk usang yang baru dikeluarkan dari gudang. Ini spanduk baru dibuat dengan dukungan proyek setempat. Walaupun kemakmuran dan kesejahteraan masih jauh panggang dari api, wajah rakyat diminta tetap berseri. Sampai kapan hidup bersandiwara?

Senandung puitis tentang kegagalan reformasi perlu dicermati secara analitis karena secara alami ia merupakan ouverture dari nada ganas bergejolak keras. Aneka kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bukan lagi indikasi reformasi bakal gagal, melainkan sudah merupakan kegagalan itu.

Analisis melihat kegagalan reformasi terkandung dalam kekeliruan awalnya. Kekeliruan, tepatnya dosa awal ini, berupa pretensi sang reformis berkeadaan lain daripada diri yang sebenarnya. Adalah suatu privilese untuk berusaha menjadi apa saja yang kita inginkan, tetapi adalah keliru berpretensi menjadi apa yang sebenarnya bukan kesejatian kita dan menipu diri sendiri dengan membiasakan hidup dengan asas palsu mengenai diri kita. 

Jika perilaku biasa diri seseorang, dari suatu lembaga, adalah palsu, langkah selanjutnya adalah demoralisasi. Lalu menyusul kemunduran sebab tidak mungkin seseorang membeberkan kepalsuan dirinya tanpa kehilangan self-respect.

Asas Palsu

Berarti suatu usaha atau lembaga atau usaha yang dilembagakan, yang berlagak memberi atau menuntut apa yang di luar kemampuan, adalah palsu dan demoralized. Walaupun begitu, asas kelancungan ini masih terus ditemukan di sepanjang perjalanan reformasi, dalam keseluruhan rencana dan struktur lembaganya.

Ada politikus yang tetap saja berpretensi reformis, padahal sebenarnya bukan. Mentalnya murni Orde Baru, bahkan ada karakter Orde Lama. Orang-orang seperti ini membuat kebijakan ala prareformasi yang mereka cela habis-habisan.

Mereka bukan tidak sadar karena yang mereka maksudkan dengan reformasi adalah sebenarnya ”gantian menjarah” kekayaan Ibu Pertiwi. Maka, di mana-mana terjadi korupsi. Merebak secara sistematik dan terencana. Tidak hanya di kalangan pejabat teknis-administratif, tetapi juga di lingkungan pembuat keputusan publik selaku wakil rakyat. Jika ada yang tertangkap, parpol induknya bukan memecat, melainkan membela mati-matian.

Maka terjadilah hal yang krusial: parlemen yang bermartabat ditunggangi anggota-anggota yang tidak bermartabat. Namun, rakyat tetap dituntut membahasakan mereka sebagai ”Yang terhormat Saudara...”. Mana disiplin parpol yang berpotensi mendukung pelaksanaan hasrat kedemokrasian reformasi?

Jadi, kesimpulan analisis yang tak terelakkan adalah bahwa para reformis supaya berhenti berpretensi menjadi orang yang bukan dirinya. Cintailah kebenaran. Be honest to and about yourself!

Inilah kiranya mengapa Leonardo da Vinci berkata: ”Chi non puo quel che voul, quel che puo voglia”—Siapa yang tak sanggup meraih apa yang dia inginkan, sebaiknya menginginkan apa yang dia sanggupi. Maxim Leonardo inilah yang seharusnya memandu reformasi sejak awal.