Kamis, 02 Februari 2012

Demokrasi yang Sakit


Demokrasi yang Sakit
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 3Februari 2012


Wahai para politikus dan penguasa negeri, bukalah mata dan pikiran! Kerusuhan Sidomulyo dan Bima, gerakan separatis di Aceh, Papua, dan Ambon adalah ”hasil nyata” dari sinergi dua kekuatan destruktif—demokrasi sakit-sakitan dan pembangunan eksklusif—karya kalian.

Demokrasi sakit setelah ia diterapkan tidak langsung. Yang diderita adalah penyakit institusional, motivasional, dan mekanistis, disebut neurosis politis. Neurosis adalah kondisi yang bisa dialami siapa atau apa saja dalam mencapai tujuan.

Demokrasi punya tiga tujuan politis. Pertama (A), secara implisit dan dijadikan ideal, adalah menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Kedua (B), tidak dinyatakan secara eksplisit karena bersifat problematik, adalah menentang siapa atau apa pun yang mau menindas kepentingan rakyat.

Ketiga (C), kelihatannya tidak problematik: berdisiplin pada partai—dengan berpura-pura berpihak ke rakyat—melalui slogan ”demi kepentingan umum, ”atas nama rakyat”, ”vox populi vox dei”.

Demokrasi menderita neurosis apabila tujuannya yang riil, tetapi problematik (B) berbeda dengan yang resmi, tetapi tidak sungguhan, dan dibeberkan secara terbuka (C), begitu rupa hingga tujuan (B) diredam, terbengkalai. Begitu demokrasi terperangkap dalam kebingungan (neurosis) politis, ”logika” lebih banyak menghambat ketimbang membantu.

Apabila menganggap semakin ”logis” berusaha mencapai tujuan resmi, tetapi sebenarnya bohong-bohongan (C), semakin jauh ia dari tujuan riil dan problematik (B), semakin tidak berdaya ia memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan tujuan (B), jadi semakin tidak menjangkau tujuan riil yang didambakan (A).

Berarti, semakin logis demokrasi menganggap usaha mencapai tujuan yang dengan resmi dibeberkan (C), akan semakin gagal ia secara riil (A) dan (B). Maka, agar bisa sukses demokrasi perlu bertindak ”tidak logis” (illogic). Peredaman logika ini menghambat kemajuan sekaligus melecehkan logika human. Dengan kata lain, logika di sini menjadi penghambat dan bukan pembantu kemajuan, termasuk dalam urusan pelayanan kepada rakyat yang katanya pemilik negara berdemokrasi.

Kerdilkan Otonomi Warga

Selain cenderung meredam logika, demokrasi tak langsung mengerdilkan keotonomian warga dan menepis daya kritis anggota parpol. Para warga dimotivasi agar berkelompok dalam parpol dan organisasi yang dilembagakan inilah yang menetapkan calon-calon wakil. Baru sesudah itu warga ”dipersilakan” memilih di antara calon-calon itu, yang akan mendapat kepercayaan formal sebagai wakil mereka serta berlabel ”wakil rakyat” di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sesudah wakil terpilih, rakyat yang memilih kehilangan keotonomiannya dalam bertindak secara politis. Kehilangan ini oleh mekanisme pemilihan disulap hingga kelihatannya wajar-wajar saja.

Yang turut lenyap, tetapi tersembunyi dari penglihatan sebagai akibat bekerjanya mekanisme tersebut, adalah criticism yang justru diperlukan bagi kesehatan demokrasi. Ia lenyap setelah atribut rakyat selaku individu otonom diserahkan, padahal sang wakil yang menerima belum tentu menghayati. Sebab, dalam memfungsikan criticism, sang wakil masih punya rujukan lain, yaitu kehendak parpol yang telah ”mendudukkan” dia di kursi terhomat Dewan Perwakilan Rakyat.

Jadi, built-in mechanism institusional dan motivasional yang dimiliki oleh neurosis politis menyelubungi suatu kekeliruan faktual: bahwa organisasi politik tidak bisa melahirkan manusia otonom karena diskusi politik paling jauh hanya menggugah semangat mengkritik (the spirit to criticize). Semangat ini tidak berkembang menjadi semangat kritis (critical spirit) karena adanya disiplin partai. Semangat kritis terkait dengan keberanian untuk membedakan antara benar dan salah, bebas dari bujukan, resolusi rapat akbar, ataupun disiplin kepartaian.

Wakil rakyat dan politikus dibiasakan berdisiplin kepada partai, bukan kepada rakyat pemilih yang mengorbankan keotonomian dan kekritisannya. Mereka tidak mengimbangi pengorbanan rakyat itu dengan mengembangkan semangat kritisnya berhubung parpol sudah menjadi sumber nafkah yang pasti. Maka, dengan dalih ”disiplin partai”, para wakil rakyat dan politikus paling jauh mengkritik parpol dan politikus lain, bukan parpolnya sendiri dan kawan-kawan separtai. Sikap politis semacam ini semakin meracuni sosok demokrasi yang sudah sakit-sakitan.

Pembangunan nasional punya peluang untuk menyehatkan demokrasi. Pangkal kesehatan ini bukan eksistensi formal lembaga-lembaga, melainkan seberapa jauh suara yang berbeda dari berbagai lapisan rakyat didengar, jadi mengacu pada ”government by discussion”, yaitu kapasitas menggandakan reasoned engagement melalui peningkatan ketersediaan informasi dan kelayakan diskusi interaktif.

Hal ini justru dilecehkan oleh pemerintah, sebelum dan sesudah reformasi, dengan menyodorkan ke rakyat keputusan pemerintah yang serba jadi, ”take it or leave it”. Dengan mereduksi ”pembangunan nasional” menjadi hanya ”pembangunan ekonomi”, di tataran makro, kebiasaan ekstraktif meningkat ekstensif dan intensif. Akibatnya lebih runyam daripada zaman penjajahan. Kalau dulu luas tanah berhadapan dengan 70 juta penduduk, sekarang 230 juta manusia memperebutkan luas tanah yang sama dengan kandungan alam jauh berkurang. Penduduk dipasok kaum miskin, berhubung the poor gets children while the rich gets richer.

Pasar Kalahkan Aspirasi

Di tataran mikroekonomi, suasana produksi didikte oleh ”prinsip pasar” dari ajaran teori ekonomi pure and simple, bukan oleh aspirasi rakyat sewaktu revolusi dulu. Maka, mesin produksi tidak lagi membuat ”barang/jasa”, tetapi ”simbol” kemewahan dari orang-orang bertenaga beli tinggi.

Jadi, setelah dalam pembangunan demokrasi rakyat mengorbankan keotonomiannya tanpa imbalan sepadan, dalam pembangunan nasional rakyat pun menjadi ”penonton pasif”, tidak dianggap manusia bermartabat, tidak ”diwongke”. Rakyat hanyalah ”angka rata-rata”, suatu hal yang dikutuk oleh Disraelli dengan ungkapan ”lies, damned lies, and statistics”.

Tidak heran kalau rakyat jengkel dan gampang marah. Hal sepele mudah menyulut amuk massa karena stres. Ketika kekecewaan masih individual, rakyat kembali ke suku atau daerah asalnya. Jika kekecewaan meliputi suku atau daerah, rakyat akan serentak keluar dari NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar