Selasa, 18 Maret 2014

“Bapak Bangsa”

“Bapak Bangsa”

Daoed Joesoef  ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS,  19 Maret 2014
                            
                                                                                         
                                                                                                             
POPULIS orisinal Amerika, Andrew Jackson, mengatakan, ”Any American could fill any office.” Bapak revolusi Rusia, Lenin, berujar, ”Any cook can run the state.”  Kalau di Indonesia kelihatannya setiap politikus kepartaian punya voorecht, diutamakan lebih dahulu untuk menduduki kursi di jajaran trias-politica (sic).

Padahal, semua parpol mengesankan tidak lagi dipandu oleh ide politis, tetapi opini kondisional yang sama sekali tidak mengikat orang yang mengatakannya. Baik sidang kabinet maupun parlemen tidak lagi berupa diskusi serius dari ide-ide politik, yaitu pembahasan tentang bagaimana manusia berperilaku, bukan bagaimana pasar berperilaku.

Adapun semua dokumen asli kelahiran negara-bangsa Indonesia, terutama Konstitusi-45 dan diktum Pancasila, merupakan an immensely intricate judgement mengenai bagaimana seharusnya tingkah laku warga negara Indonesia, berdasarkan kondisi saat dokumen-dokumen itu ditulis. Berhubung diskusi ide-ide politik dielakkan di sidang-sidang tersebut tadi, menjadi sungguh tidak jelas apakah semua ketentuan dokumen kemerdekaan itu masih berlaku, berdasarkan kondisi kekinian yang ada.

Perlu spesialis

Suatu negara besar tidak mungkin diurus secara amatiran. Ada alam ide dan ada alam praktis. Universitas adalah contoh dari keberadaan alam ide. Adapun suasana tertentu di masyarakat, biasanya komunitas bisnis, yang berupa alam praktis. Namun, pemerintah tidak pantas menjadi salah satu dari kedua penampilan alami tadi. Ide, terutama ide politik, punya konsekuensi dan kontemplasi ide adalah suatu usaha yang betul-betul praktis.

Administrasi pemerintahan semakin intensif dan diniscayakan dikelola para spesialis. Progres memang memerlukan spesialisasi. Namun, menurut George F Will, guru besar filosofi politik, spesialisasi mengandung pengabaian banyak hal yang diniscayakan. Kekurangan ini membahayakan progres dan, akhirnya, mengganggu peradaban. Maka, perlu adanya kesadaran tentang bumi intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kontemporer.

Bagi sebagian orang, ide adalah penyuluh dunia (hidup dan kehidupan). Bagi yang lain, ia sekadar refleksi dari keadaan sesaat bermasyarakat. Kearifan mencari kebenaran di pertengahan kedua pendapat tersebut. Ide adalah unsur budaya dan budaya merupakan suatu fakta human, tak terpisahkan dari manusianya. Maka, ia tidak luput dari pengaruh milieu di mana tergolong makhluk penghayatannya.

Namun, pemikiran bukanlah produk dari konsumsi banal, buah dari suatu organisme sosial tertentu, disesuaikan pada tuntutan organisme ini. Jika budaya, di satu saat dari evolusi humanitas, memang tergantung pada evolusi tersebut, ia merupakan, melalui vokasi dan reaksi, sebuah ragi dari evolusi (baca revolusi). Berpikir adalah memberikan pertimbangan (judgement), bukan menerima begitu saja situasi yang mencetuskan pemikiran itu. Budaya bertujuan alami untuk mempertimbangkannya dan, sebagai konsekuensi, menyiapkan perubahan.

Tidak ada budaya yang tidak mempertanyakan ide dan pemikiran yang diterimanya. Berarti para intelektual menurut pembawaannya merupakan penentang. Pertarungan sengit memang sering terjadi atas nama pemikiran atau konsepsi lain dari budaya. Maka, orang-orang yang merasa terpanggil untuk menjadi ”penyambung lidah rakyat” dan, karena itu, merasa berhak berbicara ”atas nama rakyat”, harus mampu menjelaskan destiny yang pantas bagi hidup dan kehidupan rakyat di alam kemerdekaan bangsa.

Menjelang pileg dan pilpres, para caleg dan capres rata-rata bermaksud mengadakan perubahan dalam pembangunan ekonomi. Berdasarkan pokok-pokok uraian mereka ternyata yang dimaksudkan dengan ”perubahan” itu adalah mengubah angka pertumbuhan menjadi di atas 5 persen sambil meningkatkan pemerataan. Aspirasi ini senada dengan pendapat para pakar ekonomi asing.

Cara memicu pertumbuhan juga tetap seperti dulu, yaitu melalui konsep pembangunan ekonomiko-teknokratis yang sejalan dengan pikiran para pemodal internasional, Bank Dunia dan IMF. Kita ini menderita imbasnya, berupa kehancuran ekologis, polusi, penggundulan hutan, dan rayahan sumber daya alam oleh pebisnis asing. GDP yang menjadi ukuran pertumbuhan memang naik, di zaman Orba bahkan hingga 8 persen, tapi rakyat lokal hanya menjadi ”penonton” dan kita sebagai bangsa menjadi debitor besar di pasar modal/finansial internasional.

Tekno-nasionalisme

Para pakar nasional, selaku murid manis dari guru asingnya, tidak mau tahu bahwa yang kita perlukan adalah pembangunan nasional dan ia tidak identik dengan pembangunan ekonomi. Yang menjadi taruhan pembangunan bukan ekonomi, melainkan eksistensi negara-bangsa Indonesia. Tahun 60-an abad lalu para pakar ekonomi asing itu dan para ekonom-teknokrat kita mengejek gaya pembangunan RRC dan India yang tidak mau mengikuti ”nasihat” IMF dan Bank Dunia. Kedua negara ini, yang dulu membangun sesuai konsep kenasionalan masing-masing, kini tampil sebagai raksasa ekonomi dunia dengan ketahanan nasional relatif kuat. Mereka telah mampu mengembangkan tekno-nasionalisme.

Manusia berjangka hidup terbatas. Rakyat, sebaliknya, adalah abadi. Dalam dimensi waktu yang bergulir, keabadian rakyat terdiri atas generasi. Berarti, kita yang hidup sekarang secara fungsional bukan pewaris, bukan mewarisi kekayaan alam dari nenek moyang, generasi pendahulu, melainkan peminjam dari anak cucu, generasi mendatang. Kita bersalah kalau sampai melenyapkan peluang potensial mereka membangun di zamannya. Sebagai debitor, seharusnya kita bisa mengembalikan apa yang kita pinjam paling sedikit berkondisi sama dengan saat kita pinjam.

Maka, pertanyaan krusial di ”musim pemilu” sekarang bukanlah tentang sistem produktivitas dan efisiensi, melainkan cara/jalan kinerja sistem yang menetapkan pertimbangan aksinya sendiri, menentukan alamnya sendiri, independen, dan lepas sama sekali dari kebutuhan rakyat yang hidup dalam alam itu karena ketidaktahuannya. Jadi, dengan ”perubahan” di bidang pembangunan ini, di tengah-tengah maraknya kerusakan alam, para caleg dan capres seharusnya menanggapi maksud baiknya sebagai ”etika masa depan”.

Etika ini adalah etika yang harus dihayati sekarang untuk dan demi masa depan. Ia adalah yang diniscayakan memandu jalannya pembangunan nasional, bukan logika ekonomika pure and simple. Dengan kata lain, pembangunan tidak hanya bersifat futuristik, tetapi harus pula berpembawaan proaktif. Kita bukan anak-anak asing, justru di zaman globalisasi. Sumber daya alam bukan sesuatu suku, daerah, atau adat spesifik, melainkan milik rakyat, sebutan kolektif dari warga negara (citizen). Maka, mereka harus diajak bicara tentang paradigma pembangunan karena mereka yang akan menjadi penderita utama dari kerusakan lingkungan. Local wisdom mereka perlu didengar.

Orang yang merasa terpanggil untuk memimpin Indonesia, pemerintah yang dipilih untuk mengatur hidupnya, berkedudukan tak lain daripada juru kuasa yang menggunakan semua jenis sumber pembangunan. Adalah kewajiban mereka dalam fungsi tersebut bersikap selaku boni patres familias, selaku kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menyerahterimakan Tanah Air kepada generasi mendatang dalam keadaan yang sebisa mungkin masih berpotensi, terawat lebih baik. Bila tidak, kita, generasi sekarang yang masih berpeluang besar untuk membangun, akan dihadirkan di pengadilan sejarah bangsa sebagai tersangka penyalah guna kekuasaan. Di saat naas itu, penalaran economic’s textbook, yang dahulu mendorong kita untuk membuat kesalahan historis fatal tersebut, yakinlah, tidak akan mampu membela kita.

Lebih dari dua abad yang lalu, filosof politik Perancis, Alexis de Tocqueville, telah mengingatkan bahwa ”A democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar