Kamis, 02 Februari 2012

Petani Bisa Kaya


Petani Bisa Kaya
Irman Gusman, KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA (DPD RI)  
Sumber : SINDO, 3Februari 2012



Judul tulisan ini memang sangat optimistis walaupun bagi sebagian orang sedikit tidak realistis.Judul ini diambil dari judul sebuah seminar di Kota Bandar Lampung “Petani Bisa Kaya”dalam rangkaian kunjungan kerja saya ke Provinsi Lampung (26–28 Januari).

Pertanyaannya, mungkinkah petani bisa kaya? Tentu bisa. Sebagai negara agraris, petani memang harus kaya.Angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian besar mencapai kurang lebih 30% dari seluruh komposisi jumlah tenaga kerja di Indonesia.Meskipun angkatan kerja di sektor pertanian begitu besar, kenyataannya sektor ini kurang menyumbang kesejahteraan bagi para petani itu sendiri. Mari kita sedikit berhitung mengenai rendahnya pendapatan mereka.

Sektor yang barang kali sering dihitung adalah pertanian padi. Pendapatan per kapita petani padi sangat rendah. Kita ambil contoh, bila petani memiliki lahan sawah 5 hektare, diperkirakan pendapatan per bulan mencapai sekitar Rp13,7 juta dan bila petani hanya memiliki 1 hektare,pendapatan per bulan hanya Rp2,7 juta. Permasalahannya, komposisi paling banyak sebenarnya pada petani dengan lahan 0,3–0,7 hektare dan petani penggarap (60%). Secara agregat, rata-rata petani Indonesia hanya punya tanah seluas 0,2 hektare. Jika pendapatan untuk 1 hektare adalah Rp2,7 juta per bulan, rata-rata petani Indonesia hanya mendapat penghasilan sebesar Rp540.000 per bulan.

Itu pun jika mereka tidak gagal panen. Belum lagi besarnya potensi kerugian karena perubahan iklim atau gagal panen yang dengan sekejap bisa melenyapkan semua usaha dan investasi. Dengan jumlah keluarga sekitar 4–5 orang saja,pendapatan itu tentu jauh dari mencukupi. Dalam kondisi seperti itu, para petani mengalami kebingungan. Pilihan yang realistis bagi mereka adalah beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan. Berbagai survei menunjukkan bahwa petani kita banyak yang beralih menjadi buruh pabrik, pedagang asongan, tukang ojek, dan berbagai profesi informal lainnya. Apa dampaknya jika petani miskin?

Tentu sangat besar. Petani adalah aktor utama penyumbang pangan. Semakin hari kita akan semakin rentan terhadap krisis pangan, apalagi untuk mencapai ketahanan dan swasembada pangan secara nasional jika kondisi para petani tidak semakin baik, kesejahteraan mereka tidak terangkat.Ini berbeda dengan di Selandia Baru di mana petani merupakan kelompok masyarakat yang sejahtera. Selandia Baru sukses menjadi negara petani dan peternak tingkat dunia. Jumlah domba dan biri-biri adalah 12 kali populasi manusia yang hidup di Selandia Baru.Terdapat kurang lebih 60 juta domba dan 30 juta biri-biri.

Padahal jumlah penduduknya 4,5 juta. Berarti kebijakan pertanian mereka berorientasi pemberdayaan petani. Di Selandia Baru, yang menikmati makanan di restoranrestoran mahal dan bermain golf adalah petani. Tidak seperti kita.Kebijakan pertanian kita justru membuat petani makin sulit meraih kesejahteraan. Petani menjadi kelompok masyarakat yang miskin. Mereka tidak punya akses kepada permodalan,kredit bank, taraf pendidikan yang rendah, tersandera dengan praktik lintah darat, dan berbagai persoalan lainnya.Inilah paradoks yang sampai sekarang kita lihat di Indonesia,negara yang selama ini kita klaim sebagai negara pertanian, tetapi petaninya justru miskin.

Mendorong Reformasi Kebijakan Pertanian

Pasti ada yang salah selama ini dengan kebijakan pertanian kita yang membuat petani sulit mendapatkan kesejahteraan. Dari aspek lahan, lahan untuk pertanian semakin hari semakin berkurang karena konversi peruntukan lahan ke sektor industri, permukiman dan sebagainya. Menurut data Fakultas Pertanian UGM tahun 2011, kecepatan alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lain diperkirakan mencapai 100.000–110.000 hektare per tahun.

Dalam pengelolaan sektor pertanian, terjadi ego lintas sektor di mana sektor pertanian menjadi sektor yang dikalahkan oleh sektor lain. Hal ini membuat pertanian di Indonesia makin menjadi tidak menarik bagi petani kecil dan mikro atau bahkan juga petani menengah dan besar.Pada saat yang sama,pemerintah seperti selalu kewalahan menjamin ketersediaan pupuk,bibit,obat pertanian, dan berbagai insentif pertanian lainnya. Perlu perbaikan kebijakan pertanian. Menurut saya, ada beberapa lingkup yang harus diperbaiki.

Di lingkup faktor produksi, diperlukan sebuah sistem yang menjamin kelangsungan hidup petani.Sengketa lahan akibat konversi lahan yang selama ini terjadi harus diselesaikan agar lahan pertanian dapat tercukupi untuk aktivitas para petani. Perlu juga jaminan distribusi bibit, pupuk, dan pembasmi hama yang terjangkau dan faktor teknologi pengelolaan produksi dan pascaproduksi. Kapasitas dan kemampuan para petani juga harus ditingkatkan.

Petani kita tidak hanya harus mengerti ilmu menanam, tapi yang penting juga mengerti manajemen pertanian,pengolahan pascaproduksi,dan manajemen distribusi.Akses modal harus dibuka dan disediakan pemerintah.Terlebih lagi para petani membutuhkan koperasi agar hasil-hasil produksi mereka dapat dikelola dengan lebih baik untuk menjamin kesejahteraan para petani. Dalam hal distribusi dan perdagangan, perlu langkah-langkah untuk menjamin penyerapan produk pertanian dengan harga yang pantas.

Diperlukan beberapa insentif baik berupa proteksi langsung maupun tak langsung untuk melindungi produksi pertanian domestik dari serbuan produk impor, insentif fiskal,insentif pembiayaan, insentif di bidang pergudangan, perbaikan infrastruktur dan sarana lainnya. Dengan perbaikan di berbagai lingkup tersebut, diharapkan ”Petani Bisa Kaya” bukan lagi sekadar slogan. Jika petani sejahtera, berarti sebagian dari persoalan bangsa ini dapat kita selesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar