Tampilkan postingan dengan label James Marihot Panggabean. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label James Marihot Panggabean. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 April 2014

Kala Janji Caleg Bagaikan Uap

Kala Janji Caleg Bagaikan Uap

James Marihot Panggabean  ;   Alumni Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro
HALUAN, 03 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pesta Demokrasi tiada terasa tak lama lagi akan dirayakan untuk memilih siapa yang layak untuk duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kita sebagai masyarakat memperhatikan bahwa telah banyaknya terjadi perubahan dalam pelaksanaan pesta demokrasi tahun 2014 ini dibandingkan dengan pesta demokrasi tahun 2009 silam.

Dimana kita melihat adanya suasana perbedaan seperti jumlah partai politik yang semakin sedikit dibandingkan dengan pemilu tahun 2009 seperti adanya bantuan dana kampanye dari pemerintah walaupun masih menjadi perdebatan mengenai pengawasannya, lebih memperhatikan kembali hak pilih kepada kaum perempuan dan sebagainya.

Apapun sesuatu hal yang baru tersebut dalam pemilu tahun 2014 ini kita harus patut memberikan apresiasi kepada pemerintah walaupun masih banyak kendala-kendala lainnya yang harus mampu diperbaiki untuk lebih baik kedepannya. Kembali kepada judul penulisan penulis saat ini mengenai “Menantang Pertanggungjawaban Caleg” yang sudah pasti akan berkaitan mengenai pemilihan calon anggota legislastif yang akan dipilih dan bakalan duduk menjadi wakil rakyat baik pusat dan daerah. Keterkaitan yang penulis maksud disini, kita sebagai masyarakat pasti sudah menjadi suatu hal yang tradisi lama dalam negara Indonesia apabila kita sebagai bangsa Indonesia merayakan pesta demokrasi dengan hadirnya calon legislatif yang akan dipilih dengan mempromosikan diri memberikan sebuah janji untuk menarik simpatisan masyarakat dalam memilih calon anggota legislatif tersebut.

Hal demikian sudah menjadi hal yang biasa apabila dilakukan oleh para calon anggota legislatif dalam pesta pemilu seperti saat ini di Indonesia. Namun, apakah ada calon Indonesia untuk mundur dari jabatannya apabila tidak mampu menjalankan tugasnya dengan apa yang kontrak politik tersebut? Walaupun terkadang apabila kita mencoba membandingkannya dengan budaya politik masyarakat yang ada di luar negeri, para wakil rakyat tanpa adanya kontrak politik pun berani dengan kesadaran yang ada dalam dirinya untuk mundur dari jabatannya apabila merasa tidak mampu dan melanggar janji yang pernah dijanjikannya dalam memajukan bangsanya. Lalu mengapa di negara Indonesia yang kita cinta ini yang memegang erat budaya belajar dari kesadaran dalam membangun suatu komitmen di setiap diri kita sendiri sebagai bangsa Indonesia untuk melakukan suatu tindakan yang dipandang berani dan membawa kemajuan lebih baik untuk berani tampil mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan mundur apabila tidak mampu membawa kebahagiaan pada rakyatnya?

Hal demikianlah menurut penulis merupakan sebuah langkah yang tepat yang harus patut kita pertimbangkan dan perhatikan kembali umtuk menantang keberanian dan pertanggungjawaban seorang calon anggota legislatif yang ingin duduk menjadi anggota dewan perwakilan rakyat baik tingkat pusat dan daerah. Mungkin saja hal ini akan menjadi perdebatan panjang yang mencoba melihat dari berbagai sudut pandang, namun hal ini mencoba mengajak kembali untuk membangun suatu komitmen dan bangunan pertanggungjawaban dalam diri setiap calon anggota legislatif dalam membangun bangsa Indonesia yang lebih baik kedepannya. Rakyat Indonesia sudah terlalu jenuh akan budaya politik dengan berkampanye yang dilakukan oleh calon legislatif bermodalkan sebuah janji tanpa adanya bukti yang jelas apabila kelak nantinya menjadi seorang anggota legislatif.

Penulis dalam hal ini mencoba mengajak kembali untuk berpikir dalam melakukan pembaharuan dalam pemilihan calon legislatif  yang benar-benar memiliki ilmu pengetahuan yang baik, moralitas, bertanggungjawab dan berjiwa nasionalis dalam mewakili aspirasi rakyat Indonesia. Melihat kondisi negeri ini yang kian hari terus dilanda dengan krisis moral membuat rasa kepercayaan masyarakat untuk turut serta dalam pesta demokrasi mengalami penurunan dan demikianlah penulis mencoba mengajak kepada para calon anggota legislatif tahun 2014 untuk membuktikan dirinya apakah mampu dan berani membuat suatu kontrak politik terhadap rakyat Indonesia, Partai Politik dan bangsa Indonesia untuk dapat mampu bertanggungjawab apabila tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini sudah pasti tidak akan terlepas dari peranan masyarakat baik itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  dan organisasi masyarakat lainnya yang konsen dan merindukan negara Indonesia lebih baik dalam mencapai tujuannya Republik Indonesia 1945 untuk mengawasi calong politik untuk bekerja dengan baik untuk rakyat dan kesadaran sendiri apabila tidak menjalankannya dengan baik.

Dan sudah seyogyanya juga hal ini sudah menjadi tugas partai politik yang sudah mempercayakan calon anggota legislatif untuk duduk menjadi anggota dewan. Terkadang kita pula menyadari bahwa partai politik dalam hal ini memperhatikan dalam melakukan proses seleksi anggota legislatif dengan melakukan tes baik secara kecerdasan rasional, spiritual dan emosional yang egislatif. Apabila hal ini dilaksanakan oleh partai politik justru akan memudahkan bagi rakyat pula untuk memilih dan lebih percaya akan adanya suatu bangunan Negara Hukum Indonesia yang akan lebih memperhatikan rakyatnya untuk lebih baik kedepannya.

Negara yang kita cintai ini sudah cukup rasanya dilanda oleh krisis Sumber Daya Manusia di lembaga legislatif yang mengalami kelamahan moral walaupun terkadang masih ada beberapa anggota dewan saat ini yang memiliki hal demikian. Namun terkadang yang sering muncul adalah bahwa beberapa anggota dewan sering memunculkan moral yang tidak baik dan tidak berkenan bagi bangsa ini yang membuat menurunnya kepercayaan rakyat Indonesia misalnya saja sebagian besar tersangka korupsi sepangjang 2009-2014 adalah anggota dewan. Hal inilah yang harus kita perbaiki kembali dalam membangun pondasi yang baik di dalam negeri dalam kemajuan bangsa. Kita sudah mengakui dan mempercayai apabila suatu pondasi dibangun dengan kekuatan yang baik maka akan menghasilkan suatu bangunan yang kokoh. Hal demikian pula dalam membangun bangsa Indonesia yang lebih baik alangkah indahnya apabila kita bersama membangun kembali pondasi bangsa Indonesia sebagai anggota dewan dengan membangun moralitas yang baik, menggali dan menerapkan nilai bangsa Indonesia dan mengembangkan ilmu pengetahuannya dalam memajukan negeri yang kita cintai ini lebih baik ke depannya.

Selasa, 18 Maret 2014

Hakim Konstitusi Terpilih dan Rakyat yang Rindu

Hakim Konstitusi Terpilih dan Rakyat yang Rindu

James Marihot Panggabean ;   Alumni Magister Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro
HALUAN,  19 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                                                                             
Di saat negara Indonesia yang kita cintai ini sedang diselimuti oleh suasana politik dalam perayaan pesta demokrasi bulan April nanti, ada suatu acara penting yang harus kita perhatikan yaitu terpilihnya Hakim Mahkamah Konstitusi yang akan menggantikan Akil Mochtar karena terkena kasus korupsi dan Harjono yang akan menjalani masa pensiun.

Sebelumnya izinkan pula penulis menyampaikan selamat atas terpilihnya dua orang Hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Wahiduddin Adams (Dosen Fakultas Hukum dan Syariah UIN) dan Aswanto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin).

Dan tidak ada salahnya apabila penulis mencoba melihat proses seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi yang berawal dari sebelas nama yang telah bertanding untuk menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi. Diantaranya adalah Aswanto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasa­nuddin), Ni’matul Huda (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia), Agus Santoso (Guru Besar Fakultas Hukum di Universitas Widya Gama Mahakam, Samarinda), Yohanes Usfunan (Guru Besar Fakul­tas Hukum Universitas Udayana, Bali), dan Atip Latipulhayati (Dosen di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan).

Selanjutnya, Edhie Toet (mantan Rektor Universitas Pancasila), Wahiduddin Adams (Dosen Fakultas Hukum dan Syariah UIN), Dimyati Natakusumah (Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP), Sugianto (Dosen Fakultas Hukum IAIN Syekh Nurjati Cirebon), Frans Asta­ni (Doktor Universitas Parahyangan dan Notaris) dan Atma Suganda (Dosen Koper­tis Wi­layah IV Jabar-Bandung.

Melihat sebelas calon Hakim Mahkamah Konsti­tusi yang sedang menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI  pada tanggal 3-5 Maret 2014 lalu, sebagai bagian dari rakyat Indonesia, penulis merasa bangga dengan hadirnya calon hakim di Mahkamah Konstitusi yang lebih banyak dari kalangan dosen atau akademisi dibandingkan dengan politisi yang hanya satu orang.

Di samping itu, suatu hal yang patut kita hargai atas kinerja DPR untuk saat ini dengan adanya progresifitas atas proses seleksi hakim di Mahkamah Konstitusi dengan membentuk tim pakar dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Mahkamah Konstitusi tahun ini, walaupun rekomendasi dari tim pakar nantinya tidak menjadi bahan pendukung bagi DPR untuk memilih calon.

Tim pakar tersebut diantaranya beranggotakan Syafii Maarif, Laica Marzuki, Zain Badjeber, Natabaya, Saldi Isra dan Musni Umar. Dengan adanya tim pakar ini, kita sebagai masyarakat Indonesia akan mampu melihat dari beberapa calon Hakim Mahkamah Konstitusi, yang manakah akan kita kategorikan sebagai calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang layak untuk menjadi pengawal konstitusi negara Indonesia yang kita cintai ini.

Suatu hal yang sangat dibanggakan oleh rakyat Indonesia saat ini adalah menantikan hadirnya Hakim Mahkamah Konstitusi yang mampu menjalankan tugasnya untuk mempertahankan bangsa dan negara yang lebih baik.

Kita patut mensyukuri bahwa saat ini telah banyak hadir calon-calon hakim Mahkamah Konstitusi yang berasal dari akademisi. Semoga mereka mampu mengembangkan segala keilmuan mereka untuk mempertahankan ideologi negara dan memberikan keadilan dalam penegakan konstitusi di negara ini.

Menurut penulis, di dalam proses seleksi hakim di Mahkamah Konstitusi bukan hanya mencari sosok yang berasal dari akademisi atau politisi saja. Melainkan bagaimana tim seleksi hakim Mahkamah Kons­titusi, dalam hal ini Komisi III DPR RI, mampu menemukan hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak hanya bisa mengeja pasal demi pasal dalam sebuah undang-undang melainkan halim Mahkamah Konstitusi yang mampu menemukan makna yang terdalam atau terpen­ting dalam pasal setiap undang-undang.

Patut kita sadari saat ini bahwa masih banyak para penegak hokum, dalam hal ini hakim di Indonesia, yang hanya mampu mengeja suatu pasal terhadap suatu kejadian, namun tidak mampu menerapkan sebuah pasal dengan menemukan suatu makna agar memberikan keadilan terhadap bangsa dan negara.

Di sam­ping dibutuhkan sosok hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak hanya mampu mengeja pasal-pasal dalam undang-undang, hakim Mahkamah Konstitusi juga harus memiliki suatu perkembangan pribadi dalam menjalankan roda hukum di Mahkamah Konstitusi nantinya.  Mereka tidak hanya harus berpikir secara rasional, melainkan juga mesti memperhatikan atau menggunakan perasaan dan menggunakan kecerdasan spiritual.

Selama ini, negara kita sudah banyak diselimuti oleh hakim-hakim yang hanya berpikir secara rasional dengan melihat suatu pasal dan dikaitkan dengan kejahatan, namun tidak mencoba mencari dan menemukan makna dalam pasal tersebut dengan menggunakan perasaan dan kecerdasan spritualnya untuk memberikan sebuah sanksi yang tepat terhadap tersangka.

Demikian pula halnya hakim Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan dan mengamalkan amanat dalam Pancasila sebagai dasar negara yang harus terus dipertahankan sampai bumi ini hancur.

Penulis menyatakan bahwa sudah sepatutnya kita terus mendoakan agar kedua Hakim Mahkamah Konstitusi yang sudah terpilih, yaitu Wahiduddin Adams (Dosen Fakultas Hukum dan Syariah UIN) dan Aswanto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)  memiliki jiwa negarawan yang mampu menjalankan makna yang terkandung dalam Pancasila saat menjalankan tugas menjadi hakim Mahkamah  Konstitusi.

Hadirnya Akil Mochtar sebagai mantan hakim Mahkamah Konstitusi dengan melakukan perbuatan korupsi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dapat terhenti bila kedua hakim Mahkamah Konstitusi yang baru, mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dengan mengedepankan moralitas, menjalankan tugas dengan memperhatikan Pancasila dan mampu menggunakan kecerdasan spritualnya.

Disadari atau tidak disadari, negara ini sudah banyak diselimuti berbagai permasalahan yang merusak ideologi bangsa. Sungguh sangat disayangkan bila nanti muncul sosok hakim Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi yang tidak mampu menjaga amanat para pendiri bangsa ini yang selalu mempertahankan ideologi bangsa yaitu Pancasila.

Semoga Wahiduddin Adams dan Aswanto mampu kembali memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa Mahkamah Konstitusi adalah Panglima Konstitusi yang akan memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia.

Senin, 17 Maret 2014

Pendidikan Hukum yang Membangun

Pendidikan Hukum yang Membangun

James Marihot Panggabean  ;   Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Anggota Satjipto Rahardjo Institute
OKEZONENEWS,  16 Maret 2014
                                           
                                                                                         
                                                                                                             
Tidak dapat kita pungkiri untuk saat ini wacana hukum memiliki posisi sangat dominan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Wacana hukum yang tidak hanya menjadi bahan perbincangan/diskusi mengenai permasalahan hukum melainkan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap eksistensi hukum dan adanya peninjauan kembali yang dilakukan oleh akademisi hukum terhadap wujud dan rupa negara hukum Indonesia saat ini. Sadar atau pun tidak kita sadari, dunia ilmu pengetahuan hukum Indonesia sampai saat ini telah mengalami masa-masa kritis. Dimensi sosial dari hukum dewasa ini sepanjang waktu tampak menonjol.

Keterlibatan hukum pada persoalan-persoalan sosial dan ekonomi bangsa serta tuntutan agar hukum mampu berperan sebagai sarana untuk memecahkan berbagai problem sosial menampilkan kisi-kisi lain dari hukum yang tidak hanya yuridis-dogmatis.

Alm. Prof. Sudarto menyatakan bahwa pada permulaaan tahun enam puluhan “Para Sarjana Hukum Tidak Dapat Diajak Berevolusi”, sedangkan pada permulaan tahun ketujuhpuluhan “Para Sarjana Hukum Tidak Dapat Diajak Membangun.” Dan penulis menyambung pernyataan dari beliau bahwa pada tahun dua ribu tiga belas ini, penulis menyatakan bahwa “Penegak Hukum Sangat Jarang Menggunakan Hati Nurani Dan Akal yang Sehat Untuk Membangun Hukum.” Hal ini dikarenakan praktisi/penegak hukum telah terjebak dalam sebuah kotak “Normatif” yang selalu fokus pada undang-undang dalam menerapkan sehingga terabaikannya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sebagai landasan negara Indonesia ini.

Dan di samping terjebaknya praktisi/penegak hukum dalam menerapkan hukum, dunia pendidikan hukum pun memiliki tempat yang sangat kurang mendidik/menuntut mahasiswa untuk berpikiran kritis dalam kondisi penegakan hokum misalnya melakukan penelitian.

Sebagaimana kita sering mendengar dan merasakan bahwa pendidikan hukum seolah hanya sebuah hafalan tanpa adanya makna sama sekali dan kurang menuntut mahasiswa untuk berpikiran kritis melihat kondisi penegakan hukum (Struktur hukum), Perundang-Undangan (Substansi Hukum) dan pengetahuan hukum (Kultur Hukum) saat ini dan untuk pembaharuan hukum kedepannya lebih baik. Identitas hukum yang tidak pernah didalami dari aspek filosofis dan sosiologis namun hanya cukup sebatas dari aspek yuridis normatif. Dan hal inilah yang membuat minimnya pengetahuan hukum dan proses hubungan hukum dengan kesejahteraan dan perlindungan masyarakat menjadi proses kelemahan sehingga apresiasi terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sangat minim untuk dihargai dan diimplementasikan.

Hal ini sangat logis karena dalam Ilmu Hukum dibahas dan dirumuskan secara mendalam mengenai filsafat dan maupun teori hukum yang kemudian menjadi landasan darimana hukum suatu negara akan lahir dan kemana hukum akan diarahkan. Sepertinya kita tidak dapat memungkiri apabila setiap teori dan mazhab hukum yang secara dominan dianut oleh suatu negara akan memiliki dampak kerap karakteristik sistem hukum yang berjalan dan berlaku di negara tersebut. Setiap hukum memiliki karakteristik sendiri-sendiri, setiap perbedaan teori dikecilkan oleh elemen tertentu yang menjadi dominan dalam sistem hukum yang digambarkan teori yang dimaksud. Perbedaan yang biasanya ditemukan pada penekanan menyangkut fungsi, kemanfaatan dan sumber yang mengisi setiap norma hukum. Pada titik inilah peran akademisi hukum sangat diperlukan bertolak dari kondisi dan karakteristik khas Indonesia. Para akademisi hukum harus mampu menggali dan menemukan paradigma mutakhir atas perkembangan ilmu hukum sehingga proses ilmu hukum mampu menyerap dan menelaah setiap kebutuhan bangsa dan menjawabnya dengan mempositifkan dalam menegakkan sistem hukum yang sesuai.
   
Dan saat ini kita diperlihatkan dan ditunjukkan oleh buruknya kondisi penegakan hukum di Indonesia yang sangat mempengaruhi kewibawaan hukum dan kepercayaan kepada masyarakat. Misalnya para aparat penegak hukum sendiri terjerat kasus hukum. Suatu hal yang sangat disayangkan terjadi di negeri ini, seseorang yang dipercayakan oleh Negara untuk menegakkan keadilan justru meruntuhkan keadilan.  Hal inilah yang membuat timbulnya rasa kurang percaya rakyat terhadap hukum dengan pertunjukan tidak berjalannya hukum sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif.

Oleh karena itu saat ini Indonesia memerlukan suatu pembangunan hukum yang lebih baik dengan menggunakan politik hukum dan hati nurani masyarakat Indonesia khususnya penegak hukum itu sendiri yang baik, demi terciptanya dan tercapainya tujuan negara Indonesia yang dicita-citakan.

Senin, 06 Mei 2013

Terpuruknya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat


Terpuruknya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
James Marihot Panggabean  Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Anggota Satjipto Rahardjo Institute
MEDIA INDONESIA, 07 Mei 2013


HARI demi hari masyarakat Indonesia selalu diberikan suatu pertunjukan yang sangat merusak pengetahuan. Selain itu, juga merusak kehidupan generasi muda dan masyarakat Indonesia dengan begitu banyaknya warga negara Indonesia baik warga sipil maupun aparat penegak hukum yang terjerat kasus hukum. Ada kasus korupsi yang dilakukan anggota legislatif, bentrokan oknum polisi dan TNI, seorang perwira TNI dan polisi menggunakan narkoba, dan sebagainya.

Suatu hal yang sangat aneh terjadi di negara hukum seperti Indonesia ini. Padahal sudah seharusnya aparat itu menegakkan dan menjalankan hukum dengan baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Apa yang salah sehingga hal demikian dapat terjadi?

Jika contoh-contoh yang disebutkan di atas, yang telah terjadi di negeri ini secara terus-menerus, bukankah hal itu akan memberikan pelajaran atau pengetahuan yang buruk kepada generasi muda? Dalam pandangan penulis, hal itu pula yang merupakan salah satu permasalahan mengapa tujuan dari hukum sampai saat ini tidak pernah tercapai di negeri ini. Penulis berpendapat permasalahan tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran hukum dalam menaati aturan hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis untuk mencapai tujuan bersama dalam perlindungan dan kesejahteraan.

Tidak beri perhatian

Sebenarnya itu hanya hal yang sangat kecil. Namun, aparat penegak hukum kurang memberi perhatian terhadap kesadaran masyarakat mengenai pemahaman hukum yang baik untuk menaati hukum. Kesadaran hukum itu terbagi menjadi dua jenis. Pertama, kesadaran hukum positif, yang diidentikkan dengan `ketaatan hukum'. Kedua, kesadaran hukum negatif, yang diidentikkan dengan `ketidaktaatan hukum'.

Kesadaran hukum selalu dipergunakan oleh para ilmuwan sosial untuk mengacu ke cara-cara ketika masyarakat dan institusi penegak hukum memaknakan hukum untuk memberikan makna yang baik kepada pengalaman dan tindakan masyarakat, dengan kesadaran hukum itu sendiri yang merupakan suatu bentuk dari tindakan.

Yang menjadi persoalan bahwa kesadaran hukum itu memiliki titik persoalan `hukum sebagai perilaku' dan bukan `hukum sebagai aturan'. Berbicara mengenai kesadaran hukum pasti akan berbicara bagaimana perilaku kita sebagai masyarakat dalam menaati hukum, dan bukan hukum itu hanya sebagai sebuah aturan.
Hal itulah yang menjadi titik perhatian yang sangat serius bagi kita sebagai masyarakat dan penegak hukum di Indonesia dalam memahami dan menjalankan hukum. Menurut Paul Scholten, “Kesadaran hukum (rechtsbewustzijn; legal consciousness) yang dimiliki warga masyarakat belum men jamin bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau aturan perundang-undangan.“ 

Kesadaran seseorang bahwa mencuri itu salah atau jahat, belum tentu menyebabkan orang itu tidak melakukan pencurian, jika pada saat ada tuntutan mendesak. Semisal, kalau dia tidak mencuri, anak satu-satunya yang sedang sakit keras akan meninggal karena tidak adanya biaya pengobatan.

Membangun kembali

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana hukum efektif, kita harus terlebih dahulu melihat sampai sejauh mana pula aturan hukum itu ditaati dan atau tidak ditaati. Hukum dapat dikatakan efektif bila suatu aturan hukum ditaati oleh masyarakat dan aparat penegak hukum itu sendiri.
Sekalipun hukum dapat dikatakan efektif, hal tersebut karena adanya ketaatan pada hukum yang bergantung pada kepentingannya.

Kepentingan yang bersifat compliance (hanya takut dikenai sanksi), identification, internalization (ketaatan pada hukum karena benar-benar sesuai dengan nilai intrinsik yang dianutnya), dan banyak jenis kepentingan lainnya.

Yang terjadi saat ini di Indonesia, bahwa ketaatan pada hukum yang dimiliki oleh masyarakat dan aparat penegak hukum bersifat compliance. Masyarakat hanya menaati aturan hukum yang berlaku karena takut dikenai sanksi. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat dan penegak hukum di Indonesia sampai saat ini memiliki derajat ketaatan yang sangat rendah dalam menaati aturan hukum. Dengan demikian hal itu membutuhkan pengawasan yang harus dilakukan secara terusmenerus.

Melihat seringnya fenomena terjadi di negeri ini yang mengakibatkan banyaknya kerugian, menandakan masyarakat dan bahkan penegak hukum kurang memiliki rasa tanggung jawab terhadap aturan hukum yang berlaku sampai saat ini. Hal itulah yang merupakan tugas kita, baik sebagai masyarakat maupun aparat penegak hukum, untuk menyadari kembali bahwa begitu pentingnya kesadaran akan ketaatan hukum demi tercapainya tujuan hukum.

Seharusnya, kesadaran hukum itu bukan bersifat compliance (takut dikenai sanksi), melainkan kesadaran yang bersifat internalization, yaitu ketaatan pada aturan hukum karena benar-benar sesuai dengan nilai-nilai kepribadian manusia dalam mematuhi aturan hukum tersebut dengan baik. Kesadaran itu yang seharusnya digunakan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum. Setiap lapisan masyarakat di Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat baik di dalam dirinya masing-masing.

Kebudayaan yang selalu mengajarkan untuk hidup yang baik tersebut merupakan perwujudan untuk mencapai tujuan hukum dengan kesadaran hukum dan ketaatan hukum.

Diketahui bersama bahwa kehidupan masyarakat tidak akan terlepas dari hukum yang mengaturnya. Hukum yang dibuat oleh bagian dari masyarakat dan digunakan untuk mengatur masyarakat agar tercapai ketertiban dan perlindungan. Sudah seharusnya untuk mewujudkan tujuan hukum tersebut, harus didukung pula dengan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat dan penegak hukum di negeri ini.
Kesadaran setiap lapisan masyarakat dalam menaati hukum terdapat pada diri setiap manusia yang mampu membedakan mana yang baik dan tidak.
Semua itu untuk kepentingan bersama yang harus dibangun kembali demi kepentingan bangsa ini ke depan.