Tampilkan postingan dengan label M Sobary. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label M Sobary. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Maret 2014

Memberi Vs Membeli Suara

Memberi Vs Membeli Suara

Mohamad Sobary  ;   Budayawan
SINAR HARAPAN,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Pemilihan umum adalah momentum rakyat menentukan suara, memilih partai yang dipercaya bakal mampu mewujudkan aspirasi politiknya, atau tokoh yang layak dipercaya. Dalam memilih, secara umum kita bebas. Kita boleh memilih tokoh dan partai politik mana yang bisa memperjuangkan kepentingan kita.

Ada mungkin sedikit konflik; memilih tokoh yang dipercaya dan suara diberikan padanya, boleh jadi tepat. Orang yang dipercaya itu dianggap tak mungkin menyimpang dari orientasi politiknya.

Namun, bagaimana bila orang yang dipercaya tak bakal menyimpang ini, kemudian ternyata tak berdaya dalam partainya karena berada dalam suatu partai politik yang haluan politiknya, program-program lapangan, dan garis perjuangannya sama sekali tak sejalan dengan orientasi politik sang tokoh?

Ini perkara ruwet. Tak mungkin kita mencari solusi yang nyaman secara sosial dan terakomodasi baik-baik secara politik. Ini zaman lain; zaman ketika politikus—terutama politikus baru—mencari perlindungan dari suatu partai politik, tak peduli apakah partai tersebut sesuai wawasan dan aspirasi politik sang politikus tadi.

Itu bagi politikus yang memiliki aspirasi politik dan idealisme tertentu. Banyak politikus yang pada prinsipnya hanya mencari pekerjaan. Titik. Begitu sederhana dan praktis. Pintar tapi dungu. Realistis tapi begitu absurd pandangan dunianya.

Ia bisa ikut partai politik mana pun, tertama yang kelihatan sejak awal memiliki potensi besar untuk menang. Ia hanya ikut pada partai politik yang kuat. Ia sendiri bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Lebih kurang, ia hanya orang yang begitu mudah kita temukan dalam daftar pencari pekerjaan, jika negara kita yang besar dan jaya ini memiliki daftar seperti itu.

Orang seperti ini bukan politikus yang layak diikuti. Apa gunanya memilih orang yang tak tahu-menahu haluan politik perjuangannya, serta tak mampu menyusun suatu rencana program lapangan untuk membantu kehidupan warga yang memilihnya, yang disebut basis konstituennya sendiri? Jangan-jangan ia pun tidak tahu apa makna konstituen, basis konstituen, dan pendidikan politik bagi konstituennya?

Kelihatannya, ini tidak mustahil. Jangankan bagi politikus yang baru sekali terjun ke dunia pemilihan legislatif, seperti yang bakal terjadi sebulan lagi. Politikus lama, yang sudah berpengalaman dan berkali-kali memasuki gelanggang politik seperti itu tapi tidak tahu haluan politik, pun bukan perkara aneh.

Kita memiliki begitu banyak partai politik yang semua haluan ideologi politik dan perjuangannya hampir sama. Simbol partai boleh berbeda, warna boleh menyolok dan masing-masing tidak sama. Tapi, siapa yang bisa membuat suatu basis ideologi politik yang khas, spesifik, eksklusif, berbeda tajam dari apa yang dimiliki partai politik yang lain?

Partai yang berbasis agama, dengan pijakan ideologi “langit” yang tak tersentuh debu, kenyataan sosiologisnya sama saja dengan partai lain yang berpijak di Bumi, dipandu orientasi politik kerakyatan, atau kebangsaan, yang tak menyebut dan tak ada sedikit pun sangkut pautnya dengan agama.

Dalam situasi macam ini, partai apa yang harus dijadikan kiblat politik, sungguh tidak jelas. Makin lama, dari partai mana pun mereka datang, tingkah laku, sikap, dan orientasi politik para politikus sama saja.

Kiblat Politik

Pada zaman Orde Lama, pemilihan umum memberikan suatu pedoman dasar, kiblat, dan orientasi politik yang jelas. Kita diminta “memberi” suara pada suatu partai karena ia tak sama dengan partai lain. Orang masih teringat “nyanyian pemandu pemilu” yang menggetarkan jiwa dan memberi semangat memilih, yaitu “memberi” suara pada yang “layak” diberi, dan yang “layak” itu ada. Kita punya pilihan.

Marilah, marilah, saudara-saudara/Marilah bersama “memberi” suara/Suara saudara sungguh kuasa/Menentukan dasar, tujuan bersama/Membela Negara, nasional yang mulia.

Kita tahu itu momentum eksperimen berpolitik multipartai yang hiruk-pikuk, gegap gempita, yang pada akhirnya memang membentur jalan buntu; kabinet jatuh-bangun, kabinet sibuk berpolitik sebagai tujuan politik paling utama, dan lupa membangun kehidupan yang nyaman dan makmur.

Satu hal begitu jelasnya pada masa itu, rakyat punya harga diri dan diberi kesempatan meraih harga diri dalam politik bersih. Politik yang punya basis ideologi yang jelas tadi, yang menawarkan orientasi perjuangan yang membuat kita merasa hidup ini berharga dan di dalamnya masih begitu banyak hal yang layak kita perjuangkan.  Jika mungkin—dan dan memang harus—sampai titik darah penghabisan pun kelihatannya tak begitu merepotkan. Kita mungkin bahkan menjadi bangga karenanya.

Ada yang perlu dibela dalam hidup ini. Ada yang masih terasa penting dan layak menerima pembelaan kita. Dalam pemilu itu kita “memberi” suara, kita memberikan trust pada suatu partai, pada seorang tokoh, karena mereka layak merimanya. Dalam pemilu zaman edan sekarang, ketika kita tahu para tokoh partai bermandikan duit.

Duit untuk mandi itu bukan hasil kerja keras mereka sendiri, melainkan hasil yang diraih dan dihimpun pihak lain. Duit dari kantong swasta atau dalam pemerintah sendiri, apa gunanya kita “memberi” mereka suara? Kita tak lagi sudi “memberi” mereka suara kita yang begitu berharga. Partisipasi politik dalam pemilu menurun.

Suara golput meningkat. Apatisme politik tak bisa lagi dibendung. Mereka yang apatis itu bukan warga negara yang tak mengerti politik, melainkan sebaliknya. Apatisme mereka bisa dipahami. Jika perlu, malah harus didukung.

Apatis itu sikap politik yang sehat, realistis, dan bertanggung jawab pada bangsa, agar kita tak dijarah para pemimpin serakah, penipu, dan pencoleng yang yang berpakaian rapi, bersuara lembut, berperilaku sopan. Tapi, pencoleng tetap pencoleng.

Kalau mereka tetap menang? Kita tahu mereka menang. Tapi kita tak mendukung kemenangan mereka. Ini satu cara, satu sikap, satu jalan keluar, yang mukin buruk.

Cara lain, sikap lain, jalan keluar lain? Kita tetap tak sudi “memberi” suara pada mereka. Tapi kita tidak tahu, tiba-tiba mereka bangkit dengan segenap kesrakahan politik, semua siap “membeli” suara.

“Memberi” suara, kesukarelaan politik yang sehat, telah dirusak dan kita mogok. Tapi mereka tak peduli. Saat kita mogok, mereka “membeli” suara. Harga setinggi apa pun tetap mereka “beli”. Duit ada, mereka bermandikan duit. Apa salahnya “membeli”?

Salahnya, kita mengubah roh kehidupan politik, bahkan kita membunuhnya. Politik “memberi” dulu itu tanda bahwa kita rakyat berdaulat, dengan jiwa mandiri dan otonom. Politik “membeli” itu menegaskan kedaulatan kita sebagai warga negara, sebagai pribadi, dengan jiwa mandiri dan otonom, diubah menjadi sekaleng susu bubuk, selembar kaus buruk, dan beberapa rupiah yang diperoleh tak harus dengan kerja keras seperti biasanya.

Pergeseran dari “memberi” ke “membeli” suara dalam pemilu demi pemilu akhir-akhir ini, selalu berarti sebagai momen penghancuran nilai warga negara dan kemanusiaan kita.

Senin, 17 Maret 2014

Rumah Aspirasi Rakyat

Rumah Aspirasi Rakyat

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  16 Maret 2014
                       
                                                                                         
                                                                                                             
Ada sebuah buku baru, terbitan Gramedia, Jakarta. Judulnya menimbulkan pertanyaan: Say No, Thanks. Apakah gerangan yang harus ditolak di sini?. ”No, thanks” itu bahasa penolakan. Atau tanda kita tak mau menerima suatu tawaran.

Sifatnya bukan sekadar ungkapan jiwa bahwa kita tak mau menerimanya karena sudah cukup, melainkan karena kita tak memerlukannya sama sekali. Terkesan, ada sikap alergi, dan kita tak ingin diganggu oleh apa yang ditawarkan orang lain pada kita. Penulisnya Fahira Idris, dibantu dua temannya. Subjudulnya dimaksudkan untuk memberi penjelasan terhadap judul tadi: ”Wujudkan Mimpimu, Jauhi Dia”. Tapi penjelasan ini malah membuat kita bertanya lebih lanjut, dan bukannya membuat kita merasa telah memperoleh penjelasan yang kita inginkan.

Di sampul belakang, pelan-pelan kita memperoleh penjelasan, mengenai apa yang harus kita tolak tadi, dan apa yang harus kita jauhi sebagai langkah mewujudkan mimpi kita, yang sudah disebut di atas: ”Wow, ini buku bukan hanya keren, tapi keren banget. Ngejelasin bahaya miras dengan cara yang menyenangkan. Anak muda dan anak tua kudu baca nih buku”.

Satu pujian lagi, penting dikutip di sini: ”Terima kasih Uni. Itu yang ingin saya ceritakan setelah baca buku ini. Disajikan dengan bahasa yang detail dan menarik. (Tidak kaku, penuh animasi, anak muda banget). Sekarang mengertilah kita apa yang dimaksudkan oleh penulis buku ini.

Fahira, panggilannya Ira, orang baru. Di dunia penulisan buku, kira-kira ini buku pertamanya. Apakah dia ingin mengembangkan karier sebagai penulis? Penulis buku-buku sastra? Atau buku-buku kesenian lainnya? Atau buku ilmiah? Tidak. Kelihatannya bukan itu karier yang dituju. Dia pelaku bisnis. Kali ini ingin menapakkan kaki di dunia politik. Buku ini ada hubungan dengan langkah politiknya.

Melawan minuman keras (miras), bagi Ira, merupakan langkah politik yang tepat, dan relevan buat perbaikan kehidupan masyarakat kita. ”Langkah politik?” ”Ya, itu ”langkah politiknya”. Boleh juga, demi kejelasan, dia melawan miras sebagai program nyata, yang ditawarkan pada masyarakat, buat menandai komitmen politiknya.

Dia memasuki wilayah politik, untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta, dengan ajakan pada masyarakat, untuk bersama- sama melawan miras yang berbahaya bagi kesehatan manusia, kesehatan masyarakat kita. Ini tokoh baru, wajah baru, yang baru kali ini tampil, tapi strategi dan cara berpikirnya bukan baru. Ini langkah politik orang yang sudah matang, dunia dalamnya, baik jiwa, pemikiran politik, dan dasar filosofinya, sudah tertata.

Banyak tokoh, calon ini, calon itu, bahkan calon presiden, yang tampak tidak siap. Secara programatik kelihatan tidak menguasai persoalan bangsa dan negara kita. Dan dengan sendirinya tidak tahu bagaimana memilih atau menentukan prioritas. Secara jiwani, tidak matang. Secara intelek, tidak terlatih berpikir konsepsional. Fahira siap. Dia sudah mendirikan apa yang disebutnya ”Rumah Damai Indonesia” sejak tahun 2010, tempat ngumpul berbagai komunitas, untuk mempelajari persoalan-persoalan Jakarta. Rumah itu juga disebut ”Rumah Aspirasi Rakyat”, terletak di Jln H Saabun No 20, Jati Padang, Jakarta Selatan.

Ira sudah belajar satu hal baru: miras, sejarahnya, peredarannya, bahayanya. Dia tak ingin bangsa ini ditelan mentah-mentah oleh miras. Dia tak ingin kita tenggelam dalam tsunami miras yang mengerikan. Programnya jelas. Nyata. Konkret. Tak diperlukan teori-teori. Tak diperlukan filsafat yang ruwet-ruwet. Pendeknya, dia memilih program nyata, bisa dilihat, bisa dirasakan. Sekali lagi, rakyat dilibatkan. Dan itulah bekalnya memasuki dunia politik.

Pemerintah sibuk mengatur kematian keretek dan usaha membunuhnya dengan hukum, seolah-olah pembunuhan itu legal, tapi terhadap miras, yang lebih berbahaya, pemerintah tak peduli. Terhadap ancaman berbahaya ini pemerintah tidur, dan diam seribu bahasa.

Para calon ini, calon itu, yang disebutkan diatas, hendak tampil sebagai pemimpin dalam masyarakat, dengan landasan pemikiran atau gagasan filosofis dan teoretis: ”akan”. Dengan langkah: ”akan”. Dan program: ”akan”. Ringkasnya, mereka ”akan begini””akan begitu”. Kalau saya terpilih, saya ”akan”. Fahira telah melakukannya. Dan bahasa komunikasi politiknya jelas: ”saya telah melakukan sesuatu”, dan sesuatu itu penting untuk menjadi komitmen politik saya, karena saya akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD DKI.

”Apa sebenarnya yang dilakukan Ira?” Dia membuat langkah kebudayaan yang menarik. Ini merupakan langkah kebudayaan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan moral di dalam masyarakat kita. Miras sebagai persoalan moral, tak bisa diserahkan semata pada agama, dan para tokoh agama, yang akan memandangnya dari sudut hukum agama, halal atau haram. Ini bukan lagi persoalan diskursus moral, melainkan persoalan sikap, cara pandang, dan tingkah laku sehari-hari dalam masyarakat kita, yang makin kering dan makin tandus. Dengan kata lain, ini urusan kebudayaan.

Tokoh muda ini putri Dr. Fahmi Idris, yang tak banyak bicara, tapi bekerja, bekerja, dan terus-menerus mewujudkan gagasan idealnya lewat kerja itu. Seperti sang ayah, Ira juga orang bisnis, yang melebarkan sayapnya ke dunia politik. Dunia pesantren memiliki banyak contoh mengenai cara menempuh langkah kebudayaan untuk menghadapi persoalan halal-haram seperti ini. Ira sendiri belum punya pengalaman sebelum ini. Tapi intuisinya yang terang-benderang membawanya ke arah ini. Tanpa banyak cakap.

Tanpa banyak diskusi. Kita telah belajar dari pengamatan dalam dunia pemikiran, bahwa gagasan-gagasan besar, di bidang teori dan filsafat, yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan tertentu, nasibnya hanya akan mengambang di udara, seperti burung-burung liar, jika kita tak mampu melengkapinya dengan sangkar, untuk menjadi ”rumah” baginya.

Sangkar itu adalah instrumen-instrumen praktis, sebagai petunjuk cara memainkannya dalam bahasa program, bahasa tindakan, yang diperlukan di dunia nyata, dalam hidup kita sehari-hari. Yang datang pada kita bukan renungan teori maupun filsafat, melainkan persoalan-persoalan sederhana, yang tak bisa diselesaikan dengan cara lain, selain dengan program, program dan program. Teori dan filsafat hanya baik, dan bisa ”berbunyi”, jika keduanya bisa dibikin praktis untuk kepentingan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Ira tahu menjawab persoalan tadi dengan caranya, dengan orientasi programatiknya.

Dia seolah berkata, bahwa ada momentum bagi kita untuk berteori, atau berfilsafat, ada pula momentum untuk meninggalkannya, demi perjuangan khusus, menghadapi persoalan khusus, dan bersifat teknis, yang tak memerlukan teori, atau filsafat. Rumah Aspirasi Rakyat itu menjelaskannya dengan gamblang.

Senin, 27 Mei 2013

Memilih Pemimpin dengan Agenda

Memilih Pemimpin dengan Agenda
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 27 Mei 2013


Dalam berbagai pilkada, di tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, bahkan sejak di tingkat desa dan kecamatan, kita dihadapkan dengan apatisme politik rakyat yang mengenaskan. Agenda para pada calon, betapa pun hebatnya, tak ada artinya kalau para calon tak membawa uang.

Dalam berbagai pilkada, di tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, bahkan sejak di tingkat desa dan kecamatan, kita dihadapkan dengan apatisme politik rakyat yang mengenaskan. Agenda para pada calon, betapa pun hebatnya, tak ada artinya kalau para calon tak membawa uang.

Tim pendukung calon, yang menyiapkan presentasi meyakinkan mengenai program yang bakal dilaksanakan bila sang calon menang, tak diperhatikan. Apatisme terhadap program dan sikap serakah memandang uang—bahkan uang yang bakal mematikan potensi kerakyatan dan nasib rakyat secara keseluruhan— tetap diterima dengan lahap. Ini potret sikap dan tingkah laku politik kita hari ini. Tak mengherankan bila apa yang disebut ”politik uang” berkembang subur dan menjamur di mana-mana di negeri kita.

Rakyat pada hakikatnya serakah terhadap uang? Tidak. Mentalitas rakyat dirusak oleh para politik busuk, ambisius, dan bermental bejat, yang menjual diri dengan sogokan uang yang mematikan jiwa rakyat Indonesia. Rakyat tahu hal itu buruk dan merupakan sikap yang harus dijauhi. Tapi, rakyat tak berdaya ketika mereka—terutama kaum miskin—disodori uang. Uang itu—sekali lagi— saran merusak kehidupan kita, dan perusakan dijalankan terus oleh politisi dengan mentalitas sebagaimana disebut di atas.

Kita tidak heran bila kemudian terjadi hal buruk dan aneh di masyarakat: calon yang muncul tanpa program, dan tidak tahu menahu mengenai program, tetapi dia mempunyai uang, dia pasti disambut gegap gempita. Begitulah kehidupan politik kita hari ini. Jika hal ini yang menjadi panduan hidup seluruh bangsa, bukan hanya kehidupan politik yang sedang terjerumus ke jurang yang dalam, melainkan juga kehidupan rohani bangsa kita.

*** Keserakahan para tokoh yang ditularkan kepada rakyat, dan pelan-pelan rakyat menerimanya sebagai barang lumrah, menjadi penyakit mengerikan. Ini psikopatologi yang berkembang luas di bidang politik, dan menggunakan arena politik yang dirusak dengan uang sebagai kekuatan penggoda. Kelihatannya hanya tingkah laku politik yang dirusak dengan uang.

Tapi sebenarnya, di sana mentalitas masyarakat dijerumuskan agar mereka jauh dari moralitas luhur, jauh dari agama, jauh dari kesehatan politik untuk menegakkan tata kehidupan rakyat yang mandiri secara politik dan mandiri secara ekonomi. Alhamdulillah, hal itu tak merusak warga masyarakat Jawa Tengah. Dalam pemilihan gubernur pada Minggu, 26 Mei 2013—dimenangkan orang baik, tokoh yang wawasan politiknya sehat, Ganjar Pranowo, yang berpasangan dengan Heru— rakyat Jawa Tengah menunjukkan kematangan politik yang hebat.

Mereka, terutama para petani tembakau, pasti juga senang kalau dikasih uang karena mereka pasti butuh uang— tapi mereka sama sekali tak peduli apakah calon gubernur punya uang atau tidak. Yang terpenting, dan mereka utamakan, apakah para calon memiliki program. Bila jawabnya punya, mereka teliti mendalam seperti apa program itu dengan seksama. Adakah program perlindungan kepada petani tembakau. Mereka telah belajar dari kesombongan pemimpin mereka sendiri yang melecehkan secara telak pertanian tembakau dan kesenian mereka, kuda lumping.

Tembakau dimusuhi oleh Gubernur Bibit Waluyo yang jelas menyerang kehidupan rakyatnya sendiri. Pertama, barang siapa mau beralih dari pertanian tembakau ke pertanian lain, mereka akan diberi bantuan gubernur. Kedua, Bibit Waluyo juga mengutuk kesenian rakyat setempat, kuda lumping, sebagai kesenian tak punya mutu seni. Padahal, kuda lumping itu pada zaman perang Diponegoro merupakanlatihankemiliteran tersembunyi agar tak diketahui dan tak ditumpas Belanda.

Kenapa yang memiliki sikap ”menumpas” malah gubernur mereka sendiri? Ini membuat Bibit Waluyo dijuluki oleh warga masyarakat Jawa Tengah sebagai Bibit Suloyo. Petani juga belajar dari kegetiran lain, yang membuat mereka berhati-hati sekali. Sikap untuk menghapuskan tembakau tadi menjadi bagian dari program yang dengan bangga didengungkan di Jawa Tengah: Kembali ke Desa, Membangun Desa. Apa kata para warga Jawa Tengah? Mereka melecehkan gagasan itu dan membuatnya menjadi plesetan menyenangkan: Kembali ke Desa, Merusak Desa.

Bibit juga sudah tahu corak perlawanan itu. Tapi, dia mencalonkan lagi dan kalah jauh melawan anak muda yang belum punya pengalaman. Tidak penting, apakah Bibit belajar dari sikapnya sendiri yang menimbulkan perlawanan telak itu. Tidak penting pula untuk diketahui, apakah dia berubah menjadi lebih bijaksana di dalam hidup, terutama di dalam politik. Bagi Bibit, semuanya sudah terlambat. Jika dia menyesal pun kita tahu, penyesalan itu tak ada lagi gunanya.

Kita juga tahu, karier politiknya sudah berakhir. Banyak jenderal yang karier politiknya berakhir manis di hati rakyat dan di sana sini dipuja dan tetap disayangi. Tapi di Jawa Tengah, wabil khusus di kalangan petani tembakau, nama Bibit mereka hapus dari kenangan. Secara umum, di mata para warga masyarakat Jawa Tengah, citra politiknya tidak manis. Apalagi secara khusus, di kalangan petani tembakau yang juga para seniman kuda lumping. *** Maka itu, mereka pun belajar berpolitik. Bukan uang yang mereka lihat, melainkan program dan kebesaran nama yang dianggap ”terhormat”.

Mereka tahu siapa yang punya nama ”terhormat” itu. Tiga pasang calon mereka teliti baik-baik. Ada Bibit-Sudiyono, ada Hadi Prabowo- Murdono, dan ada yang ketiga: Ganjar-Heru. Ini sudah mentereng sejak awal. Orang pun condong ke pasangan ini. Para petani tembakau pun bersemangat mendukung pasangan Ganjar-Heru dengan syarat, yang diatur di dalam suatu kontrak politik yang jelas.

Petani tembakau Jawa Tengah, diwakili Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), cabang Jawa Tengah akan memilih Ganjar dengan syarat; (1) Ganjar Pranowo harus mendukung dan memajukan perekonomian rakyat berbasis pertanian tembakau, (2) Ganjar Pranowo harus bersedia menjadi fasilitator yang bijak dan adil terhadap persoalan- persoalan yang menyangkut petani, pedagang, dan pabrikan, (3) Ganjar Pranowo akan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH-THC) untuk kemajuan pertanian tembakau dan industri keretek, (4) Ganjar Pranowo akan memberikan dukungan politik dan regulasi memajukan pertanian tembakau dalam konteks kemandirian bangsa, (5) Ganjar Pranowo hanya akan mengakui APTI Jateng sebagai satu-satunya wadah formal petani tembakau di daerah Jawa Tengah.

Catatan: hal ini untuk menegaskan bahwa organisasi lain yang kepentingannya tak sejalan—bahkan bertentangan dengan kepentingan petani tembakau—mohon tidak diakui sebagai wadah perjuangan petani tembakau. Inilah profil tingkah laku politik yang sehat, yang berorientasi pada ideologi kerakyatan, untuk melindungi kehidupan rakyat. Ini muncul dari kalangan rakyat yang sudah belajar banyak pengalaman getir, dan tidak sehat, dalam politik. Ketua APTI Jawa Tengah Wisnu Brata didukung tokoh-tokoh petani lainnya gigih berjuang membela petani tembakau.

Dia juga yang mendatangi para petani tembakau, dan menghidupkan partisipasi politik mereka. Di Desa Giri Mulyo, Kecamatan Windusari, Magelang, warga masyarakat sudah apatis terhadap politik. Mereka tak tertarik memilih gubernur. Tetapi, APTI mendatangi mereka dan meyakinkan bahwa kali ini ada kontrak politik antara petani, diwakili APTI dengan Ganjar Pranowo. Petani tembakau akan memperoleh perlindungan jika Ganjar menang. Banyak hal menguntungkan petani jika Ganjar yang dipilih. Kontrak itu diperlihatkan pada kelompok demi kelompok petani.

Maka itu, desa yang sudah apatis itu pun bangkit. Sebanyak 95% warga desa itu memilih pasangan Ganjar-Heru. Hebat sekali. Desa yang sudah ”mati” syaraf-syaraf politiknya bisa digerakkan secara meyakinkan. Selain itu, di daerah Kedu, sentra produksi tembakau, pasangan Ganjar-Heru memperoleh 68% dukungan politik rakyat. Dari pilkada ini kita belajar satu hal: rakyat yang memilih pemimpin dengan agenda yang jelas mampu membangun politik lokal secara meyakinkan.

”Partnership” antara APTI dan pasangan Ganjar-Heru menyemarakkan kehidupan politik lokal tadi. Wisnu dan kawan-kawannya di APTI bahkan mampu mengubah desa yang tak lagi memiliki harapan politik menjadi desa yang bisa bangkit dan 95% suara mereka didedikasikan pada pasangan terbaik. Kita belajar dari mereka tentang sikap memilih pemimpin dengan agenda yang secara politik mentereng dan sehat. 

Senin, 20 Mei 2013

Kerakyatan yang Membunuh Rakyat


Kerakyatan yang Membunuh Rakyat
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 20 Mei 2013

“Siapa yang mengatakan suara rakyat itu suara Tuhan?” “Orang-orang yang memuliakan rakyat di dalam politik agar rakyat tidak lagi diinjak-injak para tiran, yang berkuasa sesuka hati tanpa mengindahkan hak-hak rakyat.” “Siapakah para tiran itu?” 

“Di zaman dahulu mereka itu para kaisar, para raja diraja yang membikin kekuasaannya merajalela tanpa batas.” “Di manakah para kaisar itu sekarang?” “Mereka sudah mati.” “Apakah dengan demikian kini tiba saatnya rakyat yang ganti berkuasa, dan memegang kedaulatan di dalam kehidupan kenegaraan?” “Tidak otomatis seperti itu.” “Maksudnya?” “Tidak otomatis begitu karena sekarang—di negeri kita ini—bermunculan kaisar-kaisar baru yang kekuasaannya tak bisa dibatasi.” 

“Itu di zaman Orba dulu. Ini sudah zaman baru, ketika segala hal sudah direformasi. Tatanan sudah berubah. Rakyat kini menjadi raja, bukan?” “Raja kita bukan rakyat. Tapi wakil-wakil rakyat.” “Kurang ajar. Bagaimana bisa begitu?” “Begini kisahnya. Teorinya ya, rakyat yang memegang kedaulatan. Tapi, di negeri kita ini penguasa sebenarnya bukan rakyat, melainkan orang-orang partai. 

Orang-orang itu terbagi dua: satu, menempati posisi pelaksana tata pemerintahan, namanya eksekutif, dua, mereka yang berperan sebagai kekuatan kontrol, parlemen, yang merangkap pelaksana juga. Kekuasaan mereka mirip Kaisar Nero. Bedanya hanya sedikit: mereka tak punya ‘gladiator’. 

Tapi, diam-diam mereka suka punya pengawal. Ini ‘gladiator’ kecil-kecilan, merangkap asisten, staf ahli, atau konsultan.” “Apa makna suara rakyat suara Tuhan itu jadinya?” “ Itu aspirasi. Kenyataan politik berkata lain: suara rakyat ya suara rakyat. Suara kaum tertindas, yang tak punya pelindung, tak punya pengayom. Rakyat di negeri ini anak yatim piatu.” 

Yatim Piatu yang Dibunuh 

Pada mulanya, kita menjunjung tinggi prinsip berdemokrasi yang bukan asal demokrasi, melainkan demokrasi yang dipimpin oleh “hikmah kebijaksanaan”. Dengan kata lain, kehidupan demokrasi berkembang secara leluasa, dan sehat, seperti rerumputan yang hijau segar di suatu padang rumput maha luas karena dipimpin oleh watak, oleh sifat, dan sekaligus sikap “bijaksana” yang penuh “hikmah”. 

Watak, sifat, dan sekaligus sikap “bijaksana” yang penuh “hikmah” itu berbeda secara mencolok, dari demokrasi asal demokrasi, seperti yang kita laksanakan sekarang ini. Sekarang kita tak punya watak “bijaksana” dan sikap penuh “hikmah” macam itu karena kehidupan kita dipimpin oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang mengabaikan kepentingan “rakyat” dalam arti sebenarnya. 

Rakyat sudah dibunuh di meja judi politik yang kejam. Politik kita penuh keserakahan tak terbatas. Akibatnya rakyat yang tertindas terus-menerus. Tiap saat kita lihat keserakahan berhadapan dengan keserakahan yang lain, dan kehidupan politik kita menjadi sejenis papan catur sempit yang dikuasai para pembesar yang siap untuk saling membunuh. Di sana suara dan aspirasi rakyat tak terdengar dan tak boleh terdengar. Kelihatannya jelas bagi kita bahwa “demokrasi” hanya sebuah filsafat, dan aspirasi demi aspirasi, yang hanya berisi katakata. 

Aspirasi rakyat menjadi tidak relevan. Para penguasa tak pernah peduli apa itu aspirasi rakyat? Hak-hak rakyat telah dirampok oleh para wakil yang diberi hak untuk berkuasa. Hampir tak terasa, kehidupan bergulir begitu rupa, dengan kecepatan yang tak kita sadari, kedaulatan beralih ke tangan penguasa, untuk kepentingan penguasa sendiri. Rakyat—sekali lagi—anak yatim piatu yang telah dibunuh. 

Tak pernah ada yang menaruh peduli pada mereka. Apalagi dengan sungguh-sungguh memberi mereka perlindungan hukum dan politik agar mereka hidup dengan layak sebagai warga negara. Tidak ada satu pihak pun di dalam masyarakat yang menganggap hilangnya kepedulian itu sebagai ironi kehidupan politik. Ini dianggap perkara biasa dan sudah semestinya. Inilah tata pemerintahan yang bersandar pada kekuatan “kerakyatan” yang membunuh rakyat. 

Tiap pihak bicara mengenai ihwal ideal yang kelihatan hebat dan mulia dalam politik. Tiap pihak mengaku pembelaan demokrasi dan kepentingan rakyat. Ketika diam-diam sedang bersekongkol untuk melakukan tindak pidana korupsi, suatu “extra ordinary crime against humanity” pun, dengan wajah tanpa dosa masih bicara demokrasi dan hak-hak rakyat. Ini jenis democrat tulen? 

Atau tuyul berdarah dingin, pembunuh demokrasi dengan senyum, dan perasaan tanpa dosa? Mungkin banyak di antara para tokoh politik kita yang sebenarnya sakit, yang tak tahu, dan tak menyadari, bahwa diri merekasakit. Setidaknya mereka mungkin mengidap—sekali lagi tanpa menyadarinya— gejala “double personality” yang sudah akut. Di atas panggung, secara resmi, mereka bicara sebagai politisi yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. 

Tiap saat ukuran-ukuran tingkah lakunya berkiblat pada kepentingan bangsa. Sebentar-sebentar kepentingan bangsa. Dikiranya kebohongannya tak diketahui publik. Kebohongan itu dalam waktu pendek sudah terbuka. Boleh saja pura-pura saleh, pura-pura lembut dan sopan, dan gaya bicaranya dibuat— mungkin dibuat-buat—seolah dirinya suci dari banyak dosa politik. 

Tapi, sepandai-pandainyaorang membungkus, barang busuk tetap berbau dan ketahuan oleh publik, yang sudah tidak kaget lagi. Kita kehilangan kearifan politik yang bisa memberi rasa damai bagi semua pihak. Dulu setiap keputusan yang diambil di dalam setiap musyawarah selalu dipimpin oleh “hikmah kebijaksanaan”. Hikmah itu sudah mati. Kebijaksanaan pun sudah mati. 

Tapi, gantinya lebih anggun, lebih mendalam, dan adil tidak ada. Keputusan penting dan sensitif diambil berdasarkan kekuasaan orang-orang serakah. Kepentingan demi kepentingan yang tampil. Di balik tiap kepentingan itu muncul para tiran berwajah dingin dan kejam. Kerakyatan mati merana seperti tanaman dalam pot yang sengaja tak dipelihara. 

Minggu, 12 Mei 2013

Demokrasi Hidup, tapi Moral Mati


Demokrasi Hidup, tapi Moral Mati
Mohamad Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 13 Mei 2013


Politik tidak dengan sendirinya kotor. Dia hanya kotor di tangan mereka yang otaknya penuh kekotoran. Ketika kekuasaan dilaksanakan demi kekuasaan itu sendiri—dan diisi sesuka hati para penguasa— maka kekuasaan akan dengan sendirinya melahirkan politik kotor, jahat, dan penuh kekejaman. 

Kekuasaan yang diisi dengan tingkah laku politik seperti itu akan melahirkan penguasa otoriter. Pendeknya, para tiran yang kejam itu lahir dari gagasan dan struktur kehidupan politik yang melegalkan pemerkosaan terhadap moral masyarakat. Jika tekanan penguasa sangat besar, kontrol sosial dengan sendirinya menipis. Dalam tatanan politik seperti itu, warga masyarakat akan kehilangan pegangan moral. Moral hidup, dan terpelihara baik, di tangan penguasa. 

Tapi moral mati mengenaskan, juga di tangan penguasa. Penguasa mana yang menjadi pembunuh moral, dan mana yang menghidup-hidupi moral sosial kita, bukan pokok bahasan di esai ini. Ini satu cara pandang. Cara pandang lain bisa juga sebaliknya. Bila calon penguasa yang watak dasarnya sudah otoriter, dia akan dengan sendirinya menampilkan warna dan tingkah laku politik yang kotor, jahat, dan kejam seperti disebutkan di atas. 

Di sini politik menyimpang secara leluasa dari idealisme. Makin lama—perlahan-lahan— politik sama sekali tak ada hubungannya dengan idealisme. Dengan sendirinya politik berjalan tanpa moralitas yang diharapkan masyarakat. Ketakutan pada penguasa akan membuat warga masyarakat berpegang hanya pada keselamatan. Bagi kebanyakan orang, moral kalah penting dengan keselamatan jiwa. 

Sikap oportunis lahir: moral boleh ”mampus”, maaf, asal aku selamat. Kehidupan boleh kacau balau, yang penting aku selamat. Tak mengherankan bila mereka ”mengiyakan”—demi keselamatan tadi—apa pun tindakan penguasa. Ketika pada akhirnya moral sosial sudah mati, orang tak menyadari lagi kapan kematiannya dimulai. Orang juga tidak tahu, di mana moral yang sudah mati itu dimakamkan. 

Bahkan, kita tak lagi menyadari bahwa kita hidup tanpa moralitas lagi. Mungkin persis seperti kondisi kehidupan politik kita sekarang ini. Di mana-mana, pada akhirnya tampak jelas, para koruptor ”rebutan slamet”. Pengadilan, dengan segenap ”lawyer” nya yang gagah dan kaya, tak lebih dari tempat mencari ”slamet”, dan bukan lagi tempat membuktikan secara jujur, kebenaran hukum. 

Di Indonesia sekarang ini, orang yang tingkah laku politiknya diwarnai idealisme ditolak di mana pun. Di dalam birokrasi, jika ada tokoh yang bekerja atas dasar kejujuran, dan menolak diajak menyimpang, dia dicap tidak tahu mengenai apa yang disebut ”real politics”. Dia disebut—dengan sinis—idealis. Dan jangan lupa, ”idealis” ini konotasinya negatif, buruk, tidak tahu ”adat”. 

Maka jelas bagi kita, ”real politics” itu artinya ”menyimpang” dari apa yang luhur dan mulia. Tapi di lingkungan masyarakat politik, kaum birokrasi dan para penegak hukum—yang pelanpelan menjadi ”idiot”, dan dungu— semua penyimpangan itu diterima sebagai kewajaran. Polisi yang gajinya tidak besar, tapi memiliki sepuluh rumah dan aset dalam jumlah besar, yang tak masuk akal bila dihubungkan dengan gajinya, itu dianggap sudah ”lumrah”, dan ”wajar”. 

Pegawai negeri golongan A, belum lama bekerja, usianya baru tiga puluhan tahun tetapi memiliki simpanan di bank dalam jumlah luar biasa besar, itu tidak dianggap aneh. Seorang ”lawyer” terkemuka, dan disebut pejuang demokrasi di negeri ini, dengan sigap membelanya, seolah dia—orang muda yang dibelanya itu—orang mulia yang harus dimuliakan selamanya. 

Dan makin lama orang menganggap seolah apa yang disebut ”real politics”—artinya kotor, jahat dan kejam— itu menjadi sebuah kemuliaan tersendiri. Orang-orang baik di negeri ini, yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, yang mencintai negerinya seperti mencintai ibunya sendiri, frustrasi di tengah penyimpangan demi penyimpangan yang ”dirayakan” sebagai kemuliaan. Di mana-mana orang bicara demokrasi, tapi tak seorang pun peduli moral kita sudah mati. 

Disadari atau tidak, media turut ”merayakannya”. Para koruptor dan mantan koruptor, politisi busuk dan sejenisnya, yang masih selalu ”dipanggul” media ke sana kemari, dan dijadikan narasumber untuk membahas persoalan penting di dalam masyarakat, apa itu artinya bila bukan ”merayakan” suatu penyimpangan yang seharusnya dijauhi? 

Kecenderungan media yang mengiklankan tokoh-tokoh yang secara moral sangat tidak layak menjadi pemimpin, terasa mengenaskan. Demi uang—bayaran iklan, media meracuni warga masyarakat yang sedang bingung mencari siapa yang layak dipilih menjadi pemimpin. Tak semua orang mengerti latar belakang para tokoh Jakarta. Mereka itu besar jumlahnya. Dan jika jumlah besar itu termakan iklan, celakalah kehidupan bangsa kita. 

Rakyat dijerumuskan untuk memilih tokoh yang tak layak dipilih. Perusahaan-perusahaan ”demokrasi” yang seolah bersikap demokratis menjagoi para tokoh demi bayaran tinggi, akhirnya tak peduli juga jagonya becus atau tidak, demokrat atau tiran, yang penting duit, duit, duit. Ini juga bagian dari ”real politics” zaman sekarang. 

Media dan perusahaan ”demokrasi” macam itu memiliki saham yang besar dalam langkah-langkah mereka ”membimbing” warga masyarakat ke jalan kegelapan karena tokoh-tokoh yang terpilih, yang disebut ”pilihan rakyat” ternyata tokoh yang tak berbuat apa-apa, atau tokoh buruk, tiran, serta mengancam kenyamanan hidup berbangsa secara sehat. 

Watak ”idiot” dan dungu— yang mengiyakan apa saja, dan menerima apa saja yang datang dari penguasa, menular di lingkungan masyarakat berkat media yang cerewet, yang tidak bijaksana merumuskan politik pemberitaan dan penyiaran. Orang-orang yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, sudah pasti frustrasi menghadapi kenyataan hidup ini. 

Ya, betul, demokrasi kelihatannya hdup. ”Kelihatannya”, karena apa saja seolah dilakukan secara demokratis. Tapi bagaimana di dalam demokrasi, moral kok terbunuh, tanpa seorang pun yang bisa disebut ”terdakwa” atas pembunuhan itu?

Rabu, 08 Mei 2013

Katak dan Ular


Katak dan Ular
Mohamad Sobary   Budayawan
SINAR HARAPAN, 08 Mei 2013



Dalam sebuah cerita rakyat disebutkan, seekor ular menyergap katak yang tak menduga—dan tak tahu menahu—ada bahaya mengancam di belakangnya. Katak itu tertangkap, dan musuhnya yang tak mengenal ampun, siap menelannya.

Binatang celaka itu merasa sejarah hidupnya berakhir pagi itu. Tapi tak disangka-sangka, Kanjeng Sunan Kalijaga muncul pada detik-detik kritis itu. Tiba-tiba terdengar seruan keras, “huuu…” yang menggetarkan pohon-pohon dan bebatuan. Air telaga pun bergejolak tanpa embusan angin.

Ular terkejut mendengar suara itu. Sesaat mulutnya sampai ternganga sambil menoleh ke arah bayangan yang mendekat dari balik semak-semak.

Gerak naluriah yang tak dimengerti oleh katak itu mendorongnya keluar dari mulut si ular dengan loncatan panjang. Sambil menahan perasaan berdebar-debar dalam hatinya, sang katak  mensyukuri kesempatan berharga itu untuk segera bersembunyi.  

Momentum pendek yang belum tentu terulang dalam seribu tahun itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Katak  yang beruntung tak menduga di dalam mulut ular yang berbahaya perlindungan masih bekerja. Belum pernah terjadi, selain pengalamannya pagi itu, bahwa ada katak yang bisa selamat sesudah berada dalam mulut ular.

Mungkin itu merupakan hari paling sial bagi si ular. Maka, sang ular mendekati Kanjeng Sunan Kalijaga dan memprotes dengan agak marah.

“Kanjeng, katanya katak sudah ditakdirkan menjadi mangsa ular. Kenapa Kanjeng melarang?”
“Siapa yang melarangmu?”

“Kanjeng Sunan. Siapa lagi yang berseru ‘huuuu..’ tadi?”

“Memangnya ‘huuu…’ itu apa artinya?”

“Huculno (lepaskan), apa lagi? Maka, santapan yang sudah di mulut itu aku lepaskan.”

“Padahal bukan begitu. Kamu sendiri yang salah. ‘Huuu…’ itu artinya huntalen (caploklah).”

Si ular, yang kecewa, segera berbalik, untuk mengejar kembali mangsanya yang terlepas gara-gara “huuu…” yang menimbulkan salah paham itu. Namun, si katak sudah bersembunyi di tempat aman, di bawah sebongkah batu yang tak mungkin ditemukan sang ular. Maka ketika ular sudah tak ada, dia keluar dari persembunyian, dan dengan perasaan kecewa mendatangi Kanjeng Sunan.

“Kanjeng, di mana rasa belas kasihan dan perlindungan Kanjeng pada makhluk yang lemah seperti saya ini?”

“Belas kasihan apa maksudmu?”

“Kenapa Kanjeng  menyuruh si ular memangsa  saya?”

Dengan kalem Kanjeng Sunan menjawab, “Hei, sudah, pergi sana, yang penting kau selamat. Ayo, pergi, sebelum ular itu kembali lagi ke mari.”

Sang katak pun pergi sambil tetap bingung. Dia tak mengerti mengapa Kanjeng Sunan menyuruh ular mencaploknya, tapi mengapa ketika sang ular pergi dia bicara tentang penyelamatan?

Katak itu menuntut kejelasan dan sikap demokratis. Mengapa Wali itu tak mau bicara terus terang?

Sikap Kanjeng Sunan lain. Kata-kata tak begitu penting. Orientasi nilai yang dipegangnya jelas, yang penting si katak selamat dan bahagia.

Pemimpin yang baik boleh kelihatan kaku sesekali, tapi tindakannya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan.

Pemimpin tak perlu terlibat dalam diskursus yang tak ada ujung pangkalnya. Pemimpin, di depan atau di belakang, bahkan jika berada di tengah pun, harus mengemban tanggung jawab publik yang tak ringan. Dia tak boleh takut, tak boleh mengeluh, tak boleh menangis.

Tanggung jawab itu membuatnya cekatan, rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran. Bahkan, korban jiwa tak dihindarinya jika keadaan memerlukan pengorbanan seperti itu. Pemimpin harus memecahkan persoalan secara adil dan bijaksana. Hasilnya harus jelas. Yang lemah harus diselamatkan.

Tak selamanya sikap pemimpin kelihatan demokratis. Demokrasi memang penting. Dengan demokrasi kita menyelamatkan rakyat. Dengan demokrasi kita melindungi warga yang tertindas.

Kalau demokrasi hanya menjadi omongan “ngalor-ngidul” tanpa kejelasan, suatu tindakan boleh diambil tanpa konsultasi ke sana ke mari, jika sudah jelas konsultasi hanya basa basi.

Ini demokrasi yang tak ada hubungannya dengan rakyat, dan dengan sendirinya tak ada gunanya. Demokrasi yang tak mempermudah rakyat mencari pekerjaan, dan tak mengakibatkan harga beras lebih mudah dijangkau kaum miskin, mengapa harus dipuja-puja?  

Demokrasi yang tak membawa rasa bahagia harus dirumuskan kembali baik-baik dan bijaksana. Jika demokrasi justru mempersulit kehidupan, pemimpin harus mengambil inisiatif untuk menyelamatkanm kehidupan. Hidup jauh lebih berharga dibanding demokrasi, yang hanya berarti prosedur bertele-tele dan jauh dari semangat membela kehidupan.

Minggu, 05 Mei 2013

Membela Negara Jihad Sejati


Membela Negara Jihad Sejati
Mohamad Sobary ;  Budayawan
KORAN SINDO, 06 Mei 2013


Tembakau ya tembakau. Negara ya negara. Tak usah kita hubung-hubungkan keduanya. Tembakau bukan negara dan negara bukan tembakau. 

Boleh jadi tembakau dan negara tak ada hubungan apa pun. Sikap dan cara pandang ini jelas dan terang bagaikan siang. Maka itu, barang siapa berdiri di atas kejelasan ini niscaya dia atau mereka bekerja dalam ketulusan. ”Tanpa pamrih?” ”Tergantung apa maksudnya.” Di muka bumi yang makin panas ini kelihatannya sejak dulu selalu ricuh karena benturan pamrih demi pamrih yang hendak ditonjolkan sebagai kepentingan hidup. Jadi pamrih itu ada. Mencoba bekerja dengan sikap ikhlas itu juga pamrih. Tanpa pamrih, ikhlas, biar kerjanya menjadi ”ibadah” itu pamrih besar dan luar biasa. Akibatnya, andaikata hasil kerja orang-orang itu ternyata tidak untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa ya biarkan dia berlalu. 

”Hasil kerjanya menjadi barang percuma?” ”Go to helldengan kepercumaan.” Hal itu tak menjadi masalah. Apa boleh buat kalau kenyataannya memang hanya seperti itu. Jadi, sekali lagi, tembakau ya tembakau. Negara ya negara. Keduanya boleh jadi tak ada dan tak akan pernah ada hubungan. Tapi ketika tembakau dengan segenap jenis produknya yang menghidupi berjutajuta jiwa dan menyumbangkan pajak sangat besar kepada negara hendak dicaplok orang asing kita waspada. Nanti dulu. Di sini tembakau mendadak sontak menjadi bukan dan tak lagi sekadar tembakau. 

Dia sumber kehidupan kita di mana generasi kita dan generasi-generasi penerus menggantungkan hidup dan berharap tembakau masih menyambung nyawa tanpa bergantung pada negara. Ini perkara serius. Lagi pula, bila urusannya menyangkut kepentingan orang asing yang hendak merampok kita, tembakau bisa dalam sedetik langsung menjadi ideologi dan sikap politik. Dalam perkara ini kita tidak mainmain. Dengan sendirinya, kepentingan asing harus kita lihat dengan cermat. 

Kalau mereka sekadar berdagang, marilah berdagang dengan aturan dan prinsip dagang yang adil. Katanya, orang asing itu sumber keadilan? Katanya mereka jagoan dalam perkara berbuat baik demi keluhuran manusia dan kemanusiaan universal? Prinsip ini kita pegang dan kita sambut dengan sikap bersaudara, siapa pun mereka, dan apa pun makna asing di sini. Dia boleh orang Korea, China, orang Taiwan, Eropa, Amerika, dan boleh juga orang Jepang. Ini saudara tua kita karena pernah menjadi ”Pelindung Asia, Pemimpin Asia, dan Cahaya Asia”. 

Saudara tua tak mungkin kita terima dengan sikap tak menyenangkan. Tapi, kalau mereka yang kapitalnya besar dan kita sebut kapitalis itu ternyata sekaligus menampilkan sikap kolonialis, tunggu dulu. Saudara ya saudara. Sahabat yasahabat. Katanya dalam bisnis, tak ada saudara? Katanya dalam politik orang harus superwaspada, bahkan terhadap orang tua kita sendiri sekalipun? Kalau mereka dagang, kita juga bisa dagang. Kalau mereka berpolitik, kita jawab dengan diplomasi politik yang membuat mereka bingung. Apa sulitnya menghadapi sesama manusia? 

Bangsa kita ini ibaratnya menghadapi ”jin”, ”setan”, ”genderuwo”, ”wewe”, dan segenap ”lelembut” saja tak pernah risau. Kita tak gentar menghadapi mereka, bukan karena kita hebat, melainkan karena kita ini nekat. Belanda terbirit-birit karenaheran menghadapi bangsa nekat yang menghadapi meriam, bedil, pistol, dan mitraliur hanya dengan bambu runcing dan kita merdeka. Sekarang demi kedaulatan negara kita bisa lebih nekat. Kita lawan mereka dengan kalimat. 

Ini lebih nekat dibanding bambu runcing. Kita lawan mereka dengan puisi, dengan novel, dengan tari-tari, dengan pidato, dengan partai politik, dan dengan rapat raksasa. Dulu di negeri tiga gunung: Sumbing, Sindoro, dan Perahu, di Temanggung, terkenal ”Laskar Bambu Runcing”- nya. Sekarang mereka terkenal karena punya ”Laskar Tembakau, Laskar Kretek”. Ini kenekatan terkalkulasi dan ideologis sekali sifatnya. Kita siap berlaga. Apa lagi menghadapi PP No 109/2012 yang pada hakikatnya, kata demi kata dan kepentingan besar di baliknya, merupakan pesanan bangsa asing. 

Selebihnya pesanan ini dibayar duit asing, dengan harga mahal, karena jumlah dolarnya minta ampun. Hampir tak terhitung. ”Dibayar mahal?” ”Sebenar apa pun jumlahnya, untuk sebuah negara, tak ada, dan tak pernah boleh ada, kata mahal, karena harkat bangsa dan negara ini tak bisa dijual dengan sekadar kata ‘mahal’. Mahal di sini tidak relevan. Menteri kesehatan itu orang terhormat. Wakilnya terhormat, dirjen, sekjen, direktur-direktur, semua orang terhormat. Gubernur, terhormat. Bupati terhormat. Juga wali kota dan aparatnya.” Kalau negara dan bangsa, seluruhnya, masih digabung dengan para pejabat terhormat tadi, berapa nilai rupiahnya? Tak terhitung. 

Tak pernah ada kata ”terlalu mahal” untuk membeli semua itu. Negara, bangsa, dan para pejabat yang luhur derajatnya itu tak bisa dijual. Ada kata ”mahal” buat tokoh LSM, dokter, para profesional, penyair, dan para tokoh penting di republik ini? Tidak ada. ”Tapi, peraturan pemerintah yang disusun karena pesanan tadi sudah ditandatangani Presiden. Mau apa kita? Tidak ada masalah. Biar saja menjadi dokumen berdebu di perpustakaan. Kita tahu, sebenarnya orang asing itu bodoh sekali. Di negeri ini peraturan tinggal peraturan. Kenapa dibayar mahal?” Orang asing? Menjajah lagi? Ini zaman perjuangan jilid dua. Berjuang, membela negara, itu jihad sejati. Maka itu, dengan semampunya, seadanya, seikhlasnya, kita bekerja. 

”Kalau kalah?” Tidak. Jihad itu satu-satunya permainan yang tak mengenal kalah. Jihad itu satu-satunya bisnis yang tak pernah rugi. Apalagi buat bela negara.

Senin, 06 Februari 2012

Untuk Siapa Menteri Bekerja?


Untuk Siapa Menteri Bekerja?
M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
Sumber : SINDO, 6Februari 2012




Tempo hari,di zaman Orde Baru, ketika dengan kebanggaan kosong ada jenderal yang mengatakan bahwa ABRI berwarna kuning, kontan perdebatan terjadi di media, karena rasa tersinggung yang tak mungkin disembunyikan dengan diam-diam.

Tak dapat disangkal, sangat mungkin ada anggota ABRI sendiri yang merasa malu mendengar pernyataan itu. Orang dengan sendirinya berkata, ABRI ya ABRI. Identitas ke-ABRI-an itu sudah lebih dari cukup.Apalagi anggota ABRI yang pangkatnya jenderal. Di republik yang ABRI-nya sangat berkuasa, dan orang bisa mengatakan negeri ini terasa sangat militeristik, apa kurang hebatnya seorang jenderal? Tapi,cara pandang politik yang kedungu-dunguan selalu ada.Maka,entah bagaimana prosesnya waktu itu, orang bicara tentang komitmen dan loyalitas para anggota DPR.

Tak mengherankan, karena ABRI yang merasa dirinya kuning itu seorang jenderal yang sekaligus anggota DPR.Sebagai anggota DPR,dia mewakili sebuah kepentingan politik. “Kepada siapa loyalitas dan komitmen  diberikan?” begitu kira-kira pertanyaannya. Jawabnya, yang bisa disebut “kedungu-dunguan” tadi mengatakan,“kepada DPR dan kepada partai”. Andaikata jawaban itu diberikan di suatu forum diskusi, yang banyak audiensnya atau di suatu studio televisi yang ditonton bocah-bocah berjaket dari berbagai perguruan tinggi, niscaya jawabnya: “huuuuuuu”.

Sebuah “huuuuu” panjang, yang mengejek,dan meremehkan, bahwa orang dengan identitas seperti itu ternyata begitu naif kesadaran maupun pemikiran politiknya. Jangan heran bila sikap mereka— juga DPR hari ini—begitu elitis, dan tak peduli akan nasib rakyat,bukan hanya yang memilihnya, melainkan yang diwakilinya. Rakyat tak pernah mampir ke dalam kesadaran mereka. Sampai hari ini mereka bekerja untuk partai, dan untuk DPR karena setahu mereka,dua organisasi itu yang membuat mereka hidup dalam kelimpahan materi. Orientasi sangat berjangka pendek, dan kepada golongannya sendiri,begitu kuat.Mereka lupa, sekali lagi, pada rakyat.

Mereka tahu apa arti “consituence”, tapi itu hanya pengetahuan, yang hidup dalam dunia ideal mereka,dan bukan sesuatu yang melekat di dalam jiwa dan menjadi “suluh” dalam segenap langkah perjuangan mereka. Ini kalau mereka berjuang. Di masa itu, cendekiawan terkemuka kita, Dr Nurcholish Madjid atau Cak Nur, sangat gencar bicara bahwa orientasi kita, apa pun kedudukan kita, dan di wilayah mana pun kita berdomisili, bukan kelompok, bukan golongan,bukan partai, bukan DPR/MPR, melainkan nilai. Hidup dipandu oleh orientasi nilai, yaitu nilai keindonesiaan.

Kita tahu, Indonesia ini belum “jadi”, belum merupakan suatu kenyataan sosio-politik dan kultural yang solid. Indonesia ini masih rapuh. Atau masih “in the making”. Maka nilai itu dijaga dan diperhatikan dengan baik. Dalam kaitan dengan pemikiran yang lebih besar, dalam skala nasional, yang bersifat lintas kelompok,lintas golongan, lintas partai,dan lintas kekuatan apa pun, kita bicara mengenai rakyat. Maka, pertanyaan “kepada siapa loyalitas dan komitmen” anggota DPR diberikan,jawabnya jelas kepada rakyat.

Rakyat Indonesia. Orang-orang yang bekerja untuk rakyat dan atas nama rakyat sebagai mandat konstitusi, tapi dalam kehidupan sehari- hari mereka “membunuh” kata rakyat dan “makna”kata itu jelas bahwa mereka selingkuh dalam politik dan moral, yang konsekuensinya tak bisa dibayangkan betapa beratnya. “Kepada siapa komitmen dan loyalitas menteri diberikan? Atau lebih teknis: untuk siapa menteri bekerja?” Ini pertanyaan yang lahir sekarang, ketika kita melihat para menteri bergentayangan ke sana ke mari,tanpa mengingat rakyat dalam perilaku maupun dalam kebijakan yang dibuatnya.

Jawaban kedungu-dunguan pasti akan muncul juga. Ada saja yang kemungkinan besar menjawab: Menteri bekerja untuk presiden, karena menteri pembantu presiden.Dalam bahasa teknis organisasional hal itu bisa saja dianggap benar.Tapi,mari kita cek betapa konyolnya, kalau dilihat pada kenyataan bahwa presiden juga ketua suatu partai. Maukah para menteri dari banyak partai yang berbeda orientasi politiknya, mendukung satu partai, yang dipimpin sang presiden? Tafsir ini menjadi begini karena presiden juga hanya bekerja demi partainya.

Lalu sebuah “pemerintah” dengan begitu berarti bekerja untuk sebuah partai, yakni partai sang presiden tadi. Inilah wujud kekonyolan nasional kita karena memang begitu kenyataannya. Kalau mereka bekerja untuk rakyat dan tak peduli sang presiden menangis jejeritan karena orientasi politik mereka sudah benar––komitmen dan loyalitas mereka hanya diberikan kepada rakyat jadi jelas bukan kepada presiden, pertanyaannya,“apa buktinya menteri bekerja untuk rakyat? Ada bukti yang kuat mendukung omongan ini jika mereka tak mau disebut hanya omong kosong?” Tidak ada.

Menteri pertanian membela petani? Termasuk petani tembakau yang seharusnya dia bela? Menteri pertanian yang menguyo-nguyo petani tembakau agar berganti menanam jenis tanaman lain, tanpa melihat begitu banyak faktor yang tak memungkinkannya. Apa bedanya di sini antara menteri dan petugas penertiban kota, yang kerjanya menggusur pedagang kaki lima,yang mandiri dan tak pernah minta dukungan pemerintah? Pedagang kaki lima itu sektor informal yang sangat mandiri, dan sektor informal itu merupakan fenomena perekonomian Indonesia.Tapi, kedunguan kebijakan dan tindakan telah mengusirnya.

Apa bedanya menteri dan petugas penertiban yang bekerja hanya dengan otot dan kemarahan? Mereka sama persis dilihat dari segi mana pun. Menteri perdagangan membela petani tembakau? Tidak. Menteri bekerja untuk orang lain. Melindungi kepentingan bangsa lain. Di zaman Mari Pangestu mengimpor garam, lima tahun lamanya, pertanyaannya, untuk siapa Mari bekerja? Orang bisa kaku kejang-kejang dan step, karena tak bisa menjawab pertanyaan ini dengan baik.