Senin, 17 Maret 2014

Rumah Aspirasi Rakyat

Rumah Aspirasi Rakyat

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  16 Maret 2014
                       
                                                                                         
                                                                                                             
Ada sebuah buku baru, terbitan Gramedia, Jakarta. Judulnya menimbulkan pertanyaan: Say No, Thanks. Apakah gerangan yang harus ditolak di sini?. ”No, thanks” itu bahasa penolakan. Atau tanda kita tak mau menerima suatu tawaran.

Sifatnya bukan sekadar ungkapan jiwa bahwa kita tak mau menerimanya karena sudah cukup, melainkan karena kita tak memerlukannya sama sekali. Terkesan, ada sikap alergi, dan kita tak ingin diganggu oleh apa yang ditawarkan orang lain pada kita. Penulisnya Fahira Idris, dibantu dua temannya. Subjudulnya dimaksudkan untuk memberi penjelasan terhadap judul tadi: ”Wujudkan Mimpimu, Jauhi Dia”. Tapi penjelasan ini malah membuat kita bertanya lebih lanjut, dan bukannya membuat kita merasa telah memperoleh penjelasan yang kita inginkan.

Di sampul belakang, pelan-pelan kita memperoleh penjelasan, mengenai apa yang harus kita tolak tadi, dan apa yang harus kita jauhi sebagai langkah mewujudkan mimpi kita, yang sudah disebut di atas: ”Wow, ini buku bukan hanya keren, tapi keren banget. Ngejelasin bahaya miras dengan cara yang menyenangkan. Anak muda dan anak tua kudu baca nih buku”.

Satu pujian lagi, penting dikutip di sini: ”Terima kasih Uni. Itu yang ingin saya ceritakan setelah baca buku ini. Disajikan dengan bahasa yang detail dan menarik. (Tidak kaku, penuh animasi, anak muda banget). Sekarang mengertilah kita apa yang dimaksudkan oleh penulis buku ini.

Fahira, panggilannya Ira, orang baru. Di dunia penulisan buku, kira-kira ini buku pertamanya. Apakah dia ingin mengembangkan karier sebagai penulis? Penulis buku-buku sastra? Atau buku-buku kesenian lainnya? Atau buku ilmiah? Tidak. Kelihatannya bukan itu karier yang dituju. Dia pelaku bisnis. Kali ini ingin menapakkan kaki di dunia politik. Buku ini ada hubungan dengan langkah politiknya.

Melawan minuman keras (miras), bagi Ira, merupakan langkah politik yang tepat, dan relevan buat perbaikan kehidupan masyarakat kita. ”Langkah politik?” ”Ya, itu ”langkah politiknya”. Boleh juga, demi kejelasan, dia melawan miras sebagai program nyata, yang ditawarkan pada masyarakat, buat menandai komitmen politiknya.

Dia memasuki wilayah politik, untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta, dengan ajakan pada masyarakat, untuk bersama- sama melawan miras yang berbahaya bagi kesehatan manusia, kesehatan masyarakat kita. Ini tokoh baru, wajah baru, yang baru kali ini tampil, tapi strategi dan cara berpikirnya bukan baru. Ini langkah politik orang yang sudah matang, dunia dalamnya, baik jiwa, pemikiran politik, dan dasar filosofinya, sudah tertata.

Banyak tokoh, calon ini, calon itu, bahkan calon presiden, yang tampak tidak siap. Secara programatik kelihatan tidak menguasai persoalan bangsa dan negara kita. Dan dengan sendirinya tidak tahu bagaimana memilih atau menentukan prioritas. Secara jiwani, tidak matang. Secara intelek, tidak terlatih berpikir konsepsional. Fahira siap. Dia sudah mendirikan apa yang disebutnya ”Rumah Damai Indonesia” sejak tahun 2010, tempat ngumpul berbagai komunitas, untuk mempelajari persoalan-persoalan Jakarta. Rumah itu juga disebut ”Rumah Aspirasi Rakyat”, terletak di Jln H Saabun No 20, Jati Padang, Jakarta Selatan.

Ira sudah belajar satu hal baru: miras, sejarahnya, peredarannya, bahayanya. Dia tak ingin bangsa ini ditelan mentah-mentah oleh miras. Dia tak ingin kita tenggelam dalam tsunami miras yang mengerikan. Programnya jelas. Nyata. Konkret. Tak diperlukan teori-teori. Tak diperlukan filsafat yang ruwet-ruwet. Pendeknya, dia memilih program nyata, bisa dilihat, bisa dirasakan. Sekali lagi, rakyat dilibatkan. Dan itulah bekalnya memasuki dunia politik.

Pemerintah sibuk mengatur kematian keretek dan usaha membunuhnya dengan hukum, seolah-olah pembunuhan itu legal, tapi terhadap miras, yang lebih berbahaya, pemerintah tak peduli. Terhadap ancaman berbahaya ini pemerintah tidur, dan diam seribu bahasa.

Para calon ini, calon itu, yang disebutkan diatas, hendak tampil sebagai pemimpin dalam masyarakat, dengan landasan pemikiran atau gagasan filosofis dan teoretis: ”akan”. Dengan langkah: ”akan”. Dan program: ”akan”. Ringkasnya, mereka ”akan begini””akan begitu”. Kalau saya terpilih, saya ”akan”. Fahira telah melakukannya. Dan bahasa komunikasi politiknya jelas: ”saya telah melakukan sesuatu”, dan sesuatu itu penting untuk menjadi komitmen politik saya, karena saya akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD DKI.

”Apa sebenarnya yang dilakukan Ira?” Dia membuat langkah kebudayaan yang menarik. Ini merupakan langkah kebudayaan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan moral di dalam masyarakat kita. Miras sebagai persoalan moral, tak bisa diserahkan semata pada agama, dan para tokoh agama, yang akan memandangnya dari sudut hukum agama, halal atau haram. Ini bukan lagi persoalan diskursus moral, melainkan persoalan sikap, cara pandang, dan tingkah laku sehari-hari dalam masyarakat kita, yang makin kering dan makin tandus. Dengan kata lain, ini urusan kebudayaan.

Tokoh muda ini putri Dr. Fahmi Idris, yang tak banyak bicara, tapi bekerja, bekerja, dan terus-menerus mewujudkan gagasan idealnya lewat kerja itu. Seperti sang ayah, Ira juga orang bisnis, yang melebarkan sayapnya ke dunia politik. Dunia pesantren memiliki banyak contoh mengenai cara menempuh langkah kebudayaan untuk menghadapi persoalan halal-haram seperti ini. Ira sendiri belum punya pengalaman sebelum ini. Tapi intuisinya yang terang-benderang membawanya ke arah ini. Tanpa banyak cakap.

Tanpa banyak diskusi. Kita telah belajar dari pengamatan dalam dunia pemikiran, bahwa gagasan-gagasan besar, di bidang teori dan filsafat, yang dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan tertentu, nasibnya hanya akan mengambang di udara, seperti burung-burung liar, jika kita tak mampu melengkapinya dengan sangkar, untuk menjadi ”rumah” baginya.

Sangkar itu adalah instrumen-instrumen praktis, sebagai petunjuk cara memainkannya dalam bahasa program, bahasa tindakan, yang diperlukan di dunia nyata, dalam hidup kita sehari-hari. Yang datang pada kita bukan renungan teori maupun filsafat, melainkan persoalan-persoalan sederhana, yang tak bisa diselesaikan dengan cara lain, selain dengan program, program dan program. Teori dan filsafat hanya baik, dan bisa ”berbunyi”, jika keduanya bisa dibikin praktis untuk kepentingan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Ira tahu menjawab persoalan tadi dengan caranya, dengan orientasi programatiknya.

Dia seolah berkata, bahwa ada momentum bagi kita untuk berteori, atau berfilsafat, ada pula momentum untuk meninggalkannya, demi perjuangan khusus, menghadapi persoalan khusus, dan bersifat teknis, yang tak memerlukan teori, atau filsafat. Rumah Aspirasi Rakyat itu menjelaskannya dengan gamblang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar