|
SUARA KARYA, 14 Mei 2013
Menjelang Pemilu 2014, dapat dipastikan banyak tokoh yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah yang memasang wajah ramah, dan bergaya sok ramah pada wong cilik. Gaya dan perilaku yang sifatnya hanya sesaat demi keuntungan bagi dirinya sendiri itu sangat mirip dengan perilaku tokoh Sengkuni.
Sengkuni adalah salah satu tokoh wayang yang dikenal licik, culas, dan ahli strategi adu domba. Dialah yang menjadikan dunia wayang 'ramai dan hidup', sebab tanpa Sengkuni (dan Durna), dunia wayang sepi. Tak ada perkelahian, antran-antran, dan peperangan. Dunia pewayangan berjalan normal, bagai air mengalir dengan senandung musik berirama sendu, tenang, dan damai. Dan, seni wayang menjadi tidak menarik.
Jika Niccolo Machiavelli dikenal dengan ajaran yang memberikan keleluasaan pada penguasa untuk berbuat apa pun, asal untuk kepentingan negara, maka Sengkuni bukan saja mengajarkan, tetapi sekaligus telah mempraktikkan dalam dunia wayang.
Sesungguhnya dalam kehidupan nyata, sangat mudah ditemukan tokoh sekaliber Sengkuni, bahkan boleh dikatakan tokoh dengan kaliber mbahnya Sengkuni banyak ditemukan di jagad politik nasional. Tokoh Sengkuni itu bisa terbaca dan terlihat lewat perilaku yang sungguh-sungguh culas dan hanya mementingkan diri sendiri. Mereka yang mengkampanyekan hidup jujur, bersih, tetapi korupsi. Mereka yang bilang berjuang untuk rakyat dan berbicara anti korupsi tetapi ternyata menggerogoti keuangan negara.
Harus diwaspadai orang-orang semacam itu, yang kini sangat banyak dan tersebar di berbagai sektor. Di antara mereka kini mungkin getol berbicara anti korupsi, atau bahkan kelihatannya memperjuangkan demokrasi untuk kepentingan rakyat, namun sesungguhnya tidak lebih demi kepentingan diri pribadi, keluarga, golongan dan kelompoknya.
Demi maksud jahatnya itu, tokoh macam Sengkuni ini, sepanjang hidupnya bersedia melakukan apa pun, termasuk yang hina dengan cara berbohong, ataupun lewat tipu daya tertentu. Negara Indonesia yang sedang dilanda korupsi, dan di tengah kegaduhan perpolitikan yang tidak jelas arahnya, tidak mustahil, banyak bermunculan Sengkuni-Sengkuni dengan menggunakan topeng demokratisasi, populis, dan pekerja keras melalui pencitraan yang sangat terdukung oleh teknologi dan media.
Sengkuni akan lebih leluasa mempraktikkan kelicikannya, untuk menghasut kiri-kanan agar terjadi keresahan di masyarakat melalui berbagai cara. Misalnya, dengan menjadikan mahal harga-harga kebutuhan vital masyarakat, seperti bumbu-bumbu, bawang, cabe atau pun kedelai. Sengkuni akan terkekeh-kekeh bila tipu muslihatnya berhasil. Sebaliknya Sengkuni dengan mudah akan mencari kambing hitam atas kesalahan dan dosa yang dilakukannya.
Dengan gayanya yang sangat meyakinkan Sengkuni bisa menghasut rakyat agar melakukan perbuatan yang justru merunyamkan suasana. Ia dengan mudah bisa mengadu domba dengan berbagai cerita dan data mengenai kegagalan-kegagalan pemerintah untuk menggerakkan emosi massa agar berbuat brutal yang akibatnya rakyat jugalah yang menanggung.
Pada skala yang luas, Sengkuni bisa bermain di tingkat elite politik. Ia akan milang-miling siapa yang bisa dijadikan tempat untuk berteduh sekaligus mencari perlindungan atau untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan. Bila Sengkuni berada di suatu organisasi, dapat dipastikan tujuannya bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Pastilah sebelumnya ia telah mengkalkulasi untung dan ruginya bagi diri dan golongannya. Dengan berbagai argumentasi liciknya, Sengkuni dapat memberikan kejelasan mengapa ia memilih pada suatu organisasi tertentu, termasuk organisasi yang disebut parpol.
Secara demikian, bangsa dan rakyat ini mesti ekstra hati hati dalam menyikapi situasi yang terus bergerak sangat dinamis ini. Jika kurang hati-hati, dengan mudah masyarakat akan terbujuk oleh rayuan gombal para Sengkuni itu. Pada dasarnya memang teramat sulit untuk membedakan siapa yang Sengkuni dan siapa yang sesungguhnya Satria. Sebab, Sengkuni ddapat dengan mudahnya berubah wajah menjadi sosok Satria, meski keculasan, dan kelicikannya tetap melekat pada dirinya.
Menjelang pergantian pemimpin nasional tahun 2014 mendatang, dapat dipastikan Sengkuni telah memasang strategi dan manuver untuk mendapatkan keuntungan, baik secara ekonomi maupun politik. Sengkuni tidak akan rela segalanya berjalan secara aman sentosa. Ia akan iri hati bila ada pihak lain dapat melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan lancar.
Sesungguhnya sosok Sengkuni tidak mempunyai kapasitas untuk menjadi pemimpin, tetapi ia sangat berambisi untuk duduk di kursi pemimpin. Ia akan berlagak seolah yang paling mampu menjadi pemimpin dengan menjelek-jelekan dan mengumbar kegagalan pemimpin yang sedang berkuasa. Dengan kelicikannya, ia mampu menghasut untuk menentang, atau memprotes pemerintahan dengan berbagai cara.
Oleh sebab itu, marilah kita mewaspadai keberadaan Sengkuni-Sengkuni ini. Bila tidak waspada, bangsa ini akan dengan mudah terjerumus pada politik adu domba, saling curiga, dan bermusuhan yang merupakan keahlian sang Sengkuni itu.
Yang jelas, tokoh wayang bernama Sengkuni ini akhirnya tewas mengenaskan. Walau telah menyiram sekujur tubuhnya dengan minyak yang berkhasiat untuk memberikan kekebalan pada dirinya atas senjata tajam, namun karena kewaskitaan Prabu Kresna, Sengkuni akhirnya mengakhiri ajalnya. Kresna mengetahui bagian mana pada diri Sengkuni yang tidak terkena minyak berkhasiat itu dan memberitahukannya kepada Bima, musuhnya dari Pandawa. Berkat kedigdayaan Bima, matilah si Sengkuni ini dengan cara dikelupas kulitnya hingga terkoyak-koyak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar